Sejarah Alkitab Indonesia

Hermeneutika atau Ilmu Tafsir

Bagikan ke Facebook

Dari Sejarah Alkitab Indonesia

Langsung ke: navigasi, cari
k (1 revisi)
 
(5 revisi antara tak ditampilkan.)
Baris 1: Baris 1:
-
'''Ilmu tafsir''' atau '''hermeneutika''' (Junani: hermeneuein = menafsirkan, menterdjemahkan) ialah ilmu jang menetapkan, prinsip, aturan dan patokan jang menolong untuk mengerti atau mengartikan salah satu karya atau dokumen dari djaman sekarang atau terutama dari djaman dahulu.
+
{{kanan|{{Buku Hijau}}|{{Doktrin Alkitab}}}}
-
Dengan pertolongan prinsip, aturan dan patokan jang ditetapkan itu para ahli mengartikan suatu karya (seni) dan begitu menghasilkan "tafsiran". Pengetrapan ilmu tafsir itu disebut "'''eksegese'''" (Junani: eks-egesthai=mengeluarkan, menerangkan). Meskipun ilmu tafsir dapat dan harus diterapkan pula untuk mengartikan suatu karya profan djuga, namun ilmu itu terutama diperkembangkan sehubungan dengan Alkitab. Dan hanja ilmu tafsir alkitabiah itu jang mendjadi pokok uraian ini. Adapun ilmu tafsir alkitabiah itu ialah: ilmu (prinsip, aturan , patokan) jang menolong untuk mengerti apa jang sesungguhnja dikatakan dan dimaksudkan oleh Kitab Sutji.
+
'''Ilmu tafsir''' atau '''hermeneutika''' (Yunani: hermeneuein = menafsirkan, menterjemahkan) ialah ilmu yang menetapkan, prinsip, aturan dan patokan yang menolong untuk mengerti atau mengartikan salah satu karya atau dokumen dari jaman sekarang atau terutama dari jaman dahulu.
 +
Dengan pertolongan prinsip, aturan dan patokan yang ditetapkan itu para ahli mengartikan suatu karya (seni) dan begitu menghasilkan "tafsiran". Pengetrapan ilmu tafsir itu disebut "'''eksegese'''" (Yunani: eks-egesthai=mengeluarkan, menerangkan). Meskipun ilmu tafsir dapat dan harus diterapkan pula untuk mengartikan suatu karya profan juga, namun ilmu itu terutama diperkembangkan sehubungan dengan Alkitab. Dan hanya ilmu tafsir alkitabiah itu yang menjadi pokok uraian ini. Adapun ilmu tafsir alkitabiah itu ialah: ilmu (prinsip, aturan , patokan) yang menolong untuk mengerti apa yang sesungguhnya dikatakan dan dimaksudkan oleh Kitab Suci.
-
# '''Perlunja ilmu tafsir alkitabiah.'''<br>  Sudah barang tentu Kitab Sutji membutuhkan tafsiran. Tidak dapat dikata, bahwa Alkitab begitu sadja djelas dan terang untuk para pendengar dan para pembatja. Memang Kitab Sutji adalah firman Allah (bdk. INSPIRASI), tetapi firman Allah jang berupa perkataan manusia. Dari sebab itu Alkitab ikut mengalami nasib perkataan manusia pula. Kitab Sutji ditulis sekian ratus, bahkan sekian ribu (bagian-bagian tertua) tahun jang lalu. Ia ditulis dalam bahasa (Ibrani/Aram, Junani) jang bukan bahasa kita dan bahasa-bahasa Alkitab bahkan sudah mendjadi bahasa mati, sehingga tidak lagi dipakai untuk hidup sehari-hari. Karena itu Kitab Sutji perlu "diterdjemahkan" kedalam bahasa jang masih hidup. Tetapi setiap "terdjemahan" sekaligus suatu "tafsiran". Sebab sipenterdjemah hanja (dapat) menterdjemahkan apa jang dimengertinja dan hanja sedjauh dimengertinja. Ketjuali itu para pengarang (manusia) Kitab Sutji menulis karangan-karangannja berdasarkan alam pikiran, kebudajaan dan keadaan historis tertentu jang bukan alam pikiran, kebudajaan dan keadaan para pembatja dan pendengar Alkitab didjaman kemudian dan dimasa sekarang. Djadi Alkitab membutuhkan tafsiran. Maksud sebenarnja dari Alkitab harus digali, lalu diterdjemahkan kedalam alam pikiran lain. Dan baiklah kalau ada dan disusun sedjumlah prinsip dan patokan jang mendjadi pegangan dalam menafsirkan Alkitab, supaja salah paham dan kekeliruan sedapat mungkin ditjegah. Dan djustru itulah maksud dan tudjuan ilmu tafsir atau hermeneutika.
+
==Perlunya ilmu tafsir alkitabiah==
-
# '''Patokan-patokan tafsiran Kitab Sutji.'''<br> Ada dua matjam patokan sehubungan dengan tafsir Alkitab. Kitab Sutji adalah suatu karya (sastera) insani. Karenanja semua aturan jang ada untuk mengarti suatu karya sastera dari djaman dahulu boleh, bahkan harus diterapkan dalam menafsirkan Kitab Sutji djuga. Akan tetapi Alkitab sekaligus firman Allah jang tertulis. Dari sebab itu tafsir Kitab Sutji harus memperhatikan djuga tjiri chas Alkitab dan tidak boleh mengartikannja hanja sebagai karya manusia belaka. Karena tjorak rangkap dua itu maka ada djuga dua matjam patokan jang harus dipakai dalam mengartikan Alkitab.
+
Sudah barang tentu Kitab Suci membutuhkan tafsiran. Tidak dapat dikata, bahwa Alkitab begitu saja jelas dan terang untuk para pendengar dan para pembaca. Memang Kitab Suci adalah firman Allah (bdk. [[Inspirasi]]), tetapi firman Allah yang berupa perkataan manusia. Dari sebab itu Alkitab ikut mengalami nasib perkataan manusia pula. Kitab Suci ditulis sekian ratus, bahkan sekian ribu (bagian-bagian tertua) tahun yang lalu. Ia ditulis dalam bahasa (Ibrani/Aram, Yunani) yang bukan bahasa kita dan bahasa-bahasa Alkitab bahkan sudah menjadi bahasa mati, sehingga tidak lagi dipakai untuk hidup sehari-hari. Karena itu Kitab Suci perlu "diterjemahkan" kedalam bahasa yang masih hidup. Tetapi setiap "terjemahan" sekaligus suatu "tafsiran". Sebab sipenterjemah hanya (dapat) menterjemahkan apa yang dimengertinya dan hanya sejauh dimengertinya. Kecuali itu para pengarang (manusia) Kitab Suci menulis karangan-karangannya berdasarkan alam pikiran, kebudayaan dan keadaan historis tertentu yang bukan alam pikiran, kebudayaan dan keadaan para pembaca dan pendengar Alkitab dijaman kemudian dan dimasa sekarang. Jadi Alkitab membutuhkan tafsiran. Maksud sebenarnya dari Alkitab harus digali, lalu diterjemahkan kedalam alam pikiran lain. Dan baiklah kalau ada dan disusun sejumlah prinsip dan patokan yang menjadi pegangan dalam menafsirkan Alkitab, supaya salah paham dan kekeliruan sedapat mungkin dicegah. Dan justru itulah maksud dan tujuan ilmu tafsir atau hermeneutika.
-
## Sebagai firman Allah maka Alkitab dapat ditafsirkan dengan wenang mutlak oleh Allah sendiri semata-mata. Tafsir berwenang sematjam itu dapat diberikan dalam Alkitab sendiri. Dan sesungguhnja terdjadi bahwa salah satu karangan jang ditulis kemudian mengartikan suatu karangan jang ditulis terlebih dahulu. Misalnja Jeh 18 menjadjikan suatu keterangan terhadap {{ayat|Jer 31:29-30}}. Kitab Sjemuel dan Radja-radja kemudian diinterprestasikan oleh Kitab Tawarich. Dalam Perdjandjian Baru {{ayat|1Tim 5:18}} menafsirkan {{ayat|Mat 10:10}}. Chususnja Perdjandjian Baru kerap kali mengartikan Perdjandjian Lama. Tidak sedikit ajat dan nas dari Perdjandjian Lama dikutip dan ditafsirkan oleh Perdjandjian Baru (misalnja: {{ayat|Yes 7:14}}; {{ayat|Mat 1:23}}; {{ayat|Mich 5:1,3}}; {{ayat|Mat 2:6}}; {{ayat|Jer 31:15}}; {{ayat|Mat 2:18}}; {{ayat|Yes 40:3}}; {{ayat|Mat 3:3}}; {{ayat|Yes 61:1-2}}; {{ayat|Luk 4:18}}; {{ayat|Mzm 16:8-11}}; {{ayat|Kis 2:25-28}}; {{ayat|Mzm 16:10}}; {{ayat|Kis 2:31}}; {{ayat|Mzm 110:1}}; {{ayat|Kis 2:34-34}} dll.) Harus diakui bahwa tafsiran Perdjandjian Baru terhadap Perdjandjian Lama bagi kita kerap kali sukar dimengerti, bahkan membingungkan. Sehubungan dengan itu perlu diingat bahwa Perdjandjian Baru kerap kali tidak hanja "mengartikan", tetapi djuga dan sekaligus melandjutkan dan mengembangkan makna Perdjandjian Lama jang aseli. Wahju Allah dalam Alkitab sendiri mengalami perkembangan dan kemadjuan. Perkembangan dan kemadjuan kerap kali tertjantum djustru dalam tafsiran jang diberikan Perdjandjian Baru terhadap Perdjandjian Lama. Dengan demikian terdjadi bahwa makna aseli dari salah satu nas dari Perdjandjian Lama diperintjikan dan diterapkan oleh Perdjandjian Baru dan sedikit banjak dirubah. Tafsiran serupa itu chususnja mengenai nubuat-nubuat Perdjandjian Lama jang oleh Perdjandjian Baru diterapkan pada Jesus Kristus dan pada umat kristen.Bagi orang katolik Allah tidak hanja dapat memberikan tafsirNja dalam Kitab Sutji sendiri tetapi djuga dengan perantaraan lembaga umat Allah, chususnja dengan perantaraan kuasa Gereja jang berwenang untuk mengadjar. Karena itu perlu diperhatikan pula bagaimana Alkitab diartikan oleh Geredja, baik dahulu (tradisi) maupun sekarang (kuasa mengadjar dan iman umat pada umumnja). Sehubungan dengan itu selalu perlu diperhatikan baik-baik apakah Geredja (tradisi, kuasa mengadjar) sungguh bermaksud memberikan suatu interprestasi jang "otentik", jaitu berwenang sehingga mengikat benar. Maksud itu kerap kali sukar ditetapkan dan dipastikan, chususnja berhubungan dengan tradisi. Pada umumnja boleh dikata bahwa belum ada banjak nas Alkitab jang diberikan tafsir otentik sematjam itu.Dari tjiri ilahi Alkitab diturunkan pula patokan, bahwa Kitab Sutji dalam adjarannja tidak dapat sesat dan keliru (bdk. BENARNJA KITAB SUTJI). Patokan itu hanja dapat (dan harus) diterapkan apabila ada kepastian bahwa Kitab Sutji sungguh bermaksud membenarkan sesuatu dan itupun setjara definitip. Kalau demikian suatu pertentangan didalam Alkitab sendiri tak mungkin lagi dan tafsir ilmiah tidak boleh menimbulkan pertentangan-pertentangan sematjam itu. Tetapi disini harus diingat lagi bahwa adjaran Alkitab sendiri mengalami perkembangan dan kemadjuan, sehingga tak perlu adjarannja selalu dan tetap sama sadja. Hanja dalam rangka itu suatu pertentangan benar dan langsung tidak dapat diterima lagi dan semua jang sungguh dibenarkan oleh Alkitab adalah benar djuga. Dalam suatu karya insani belaka orang dapat menerima sesatan, keliruan dan pertentangan tetapi dalam Alkitab tidak.
+
 
-
## Dalam rangka patokan (teologis) tersebut Alkitab sebagai karya insani boleh dan harus ditafsirkan dan diartikan sesuai dengan prinsip dan patokan-patokan umum jang harus dipergunakan untuk mengerti suatu karya sastera dari djaman dahulu. Patokan-Patokan jang paling penting ialah :
+
==Patokan-patokan tafsiran Kitab Suci==
-
### Teks jang ditafsirkan haruslah teks aseli. Djadi teks sebagaimana ditulis oleh pengarang sutji (terachir) harus mendjadi titik tolak bagi tafsiran. Karena itu orang wadjib menggunakan teks dalam bahasa aseli (Ibrani/Aram dan Junani) dan bukanlah salah satu terdjemahan, meski paling baik sekalipun. Hanja apa jang dikatakan dan apa jang dimaksudkan oleh teks aseli itulah jang adalah makna Kitab Sutji. Kalau sepandjang sedjarah teks aseli itu mengalami kerusakan maka terlebih dahulu teks aseli harus sedapat-dapatnja dipulihkan dengan pertolongan ilmu Kritik teks.
+
Ada dua macam patokan sehubungan dengan tafsir Alkitab. Kitab Suci adalah suatu karya (sastera) insani. Karenanya semua aturan yang ada untuk mengarti suatu karya sastera dari jaman dahulu boleh, bahkan harus diterapkan dalam menafsirkan Kitab Suci juga. Akan tetapi Alkitab sekaligus firman Allah yang tertulis. Dari sebab itu tafsir Kitab Suci harus memperhatikan juga ciri khas Alkitab dan tidak boleh mengartikannya hanya sebagai karya manusia belaka. Karena corak rangkap dua itu maka ada juga dua macam patokan yang harus dipakai dalam mengartikan Alkitab.
-
### Perkataan teks aseli harus diartikan sebagaimana dimaksudkan oleh pengarang sutji. Adakalanja perkataan dipakai menurut arti biasa dan sehari-hari, lain kali pengarang sutji menggunakan bahasa kiasan atau bahasa penghebat jang bermatjam ragam. Semua kemungkinan penggunaan bahasa perlu diperhatikan untuk menetapkan apa jang dimaksudkan pengarang. Sepandjang sedjarah bahasa itu perkataan-perkataan kerap kali berubah artinja dan perubahan sematjam itu harus diperhatikan dan diketahui oleh ahli tafsir pula.
+
<cl>
-
### Untuk mengenal maksud si pengarang perkataan tidak boleh diartikan tersendiri-sendiri sadja, melainkan dalam hubungannja dengan kata- kata lain. Hubungan sematjam itu disebut konteks. Konteks itu dapat lebih kurang luas. Perkataan-perkataan harus dimengerti dalam konteks kalimatnja, tetapi djuga dalam konteks seluruh pasal, bahkan seluruh karangan/kitab. Adakalanja karangan-karangan lain dari tangan pengarang jang sama harus diikutsertakan semua, supaja arti perkataan-perkataan dan ungkapan tertentu dapat dipahami. Setiap pengarang mempunjai kosakata serta peristilahannja sendiri. Dan arti istilah dan ungkapannja harus ditetapkan dahulu. Umpamanja istilah "daging" dan "badan" dalam karangan-karangan Paulus mempunjai makna jang chas. Demikianpun halnja dengan istilah "dunia" dalam karangan-karangan Johanes dan Paulus (dan Perdjandjian Baru pada umumnja). Kalau istilah-istilah dan ungkapan serupa itu dimengerti setjara biasa, nistjaja sipenafsir tidak lagi mengerti maksud pengarang sutji.
+
1. Sebagai firman Allah maka Alkitab dapat ditafsirkan dengan wenang mutlak oleh Allah sendiri semata-mata. Tafsir berwenang semacam itu dapat diberikan dalam Alkitab sendiri. Dan sesungguhnya terjadi bahwa salah satu karangan yang ditulis kemudian mengartikan suatu karangan yang ditulis terlebih dahulu. Misalnya Yeh 18 menyajikan suatu keterangan terhadap {{ayat|Yer 31:29-30}}. Kitab Syemuel dan Raja-raja kemudian diinterprestasikan oleh Kitab Tawarikh. Dalam Perjanjian Baru {{ayat|1Tim 5:18}} menafsirkan {{ayat|Mat 10:10}}. Khususnya Perjanjian Baru kerap kali mengartikan Perjanjian Lama. Tidak sedikit ayat dan nas dari Perjanjian Lama dikutip dan ditafsirkan oleh Perjanjian Baru (misalnya: {{ayat|Yes 7:14}}; {{ayat|Mat 1:23}}; {{ayat|Mikh 5:1,3}}; {{ayat|Mat 2:6}}; {{ayat|Yer 31:15}}; {{ayat|Mat 2:18}}; {{ayat|Yes 40:3}}; {{ayat|Mat 3:3}}; {{ayat|Yes 61:1-2}}; {{ayat|Luk 4:18}}; {{ayat|Mzm 16:8-11}}; {{ayat|Kis 2:25-28}}; {{ayat|Mzm 16:10}}; {{ayat|Kis 2:31}}; {{ayat|Mzm 110:1}}; {{ayat|Kis 2:34-34}} dll.) Harus diakui bahwa tafsiran Perjanjian Baru terhadap Perjanjian Lama bagi kita kerap kali sukar dimengerti, bahkan membingungkan. Sehubungan dengan itu perlu diingat bahwa Perjanjian Baru kerap kali tidak hanya "mengartikan", tetapi juga dan sekaligus melanjutkan dan mengembangkan makna Perjanjian Lama yang aseli. Wahyu Allah dalam Alkitab sendiri mengalami perkembangan dan kemajuan. Perkembangan dan kemajuan kerap kali tercantum justru dalam tafsiran yang diberikan Perjanjian Baru terhadap Perjanjian Lama. Dengan demikian terjadi bahwa makna aseli dari salah satu nas dari Perjanjian Lama diperincikan dan diterapkan oleh Perjanjian Baru dan sedikit banyak dirubah. Tafsiran serupa itu khususnya mengenai nubuat-nubuat Perjanjian Lama yang oleh Perjanjian Baru diterapkan pada Yesus Kristus dan pada umat kristen.
-
### Untuk mengerti karangan-karangan Kitab Sutji maka harus ditempatkan pula dalam konteks historisnja. Maksudnja ialah: karangan itu baru dapat dimengerti apabila orang tahu sedikit banjak tentang latar belakang historisnja, sedjarah politik, kebudajaan dan keagamaan. Pendek kata situasi konkrit pengarang sutji ikut menentukan apa jang dimaksudkannja dengan perkataan dan karangannja. Sehubungan dengan itu penting sekali "djenis sastera" jang dipergunakannja sesuai dengan adat kebiasaan pada djamannja.
+
 
-
# '''Makna-makna Kitab Sutji.'''<br> Dengan pertolongan semua patokan tersebut ditetapkanlah apakah makna dan arti (sensus) Alkitab. Arti dan makna Alkitab ialah apa jang sungguh dikatakan dan dimaksudkan oleh Kitab Sutji.
+
Bagi orang katolik Allah tidak hanya dapat memberikan tafsirNya dalam Kitab Suci sendiri tetapi juga dengan perantaraan lembaga umat Allah, khususnya dengan perantaraan kuasa Gereya yang berwenang untuk mengajar. Karena itu perlu diperhatikan pula bagaimana Alkitab diartikan oleh Gereja, baik dahulu (tradisi) maupun sekarang (kuasa mengajar dan iman umat pada umumnya). Sehubungan dengan itu selalu perlu diperhatikan baik-baik apakah Gereja (tradisi, kuasa mengajar) sungguh bermaksud memberikan suatu interprestasi yang "otentik", yaitu berwenang sehingga mengikat benar. Maksud itu kerap kali sukar ditetapkan dan dipastikan, khususnya berhubungan dengan tradisi. Pada umumnya boleh dikata bahwa belum ada banyak nas Alkitab yang diberikan tafsir otentik semacam itu.
-
## Makna atau arti Alkitab jang pertama dan utama ialah makna atau arti harfiah (sensus literalis). Jang dimaksudkan dengan istilah itu ialah: apa (pikiran, perasaan, kenjataan) jang langsung diungkapkan oleh perkataan-perkataan Kitab Sutji menurut konteksnja. Itulah jang pertama-tama dimaksudkan oleh pengarang (insani-ilahi) dengan perkataan, kalimat-kalimat dan seluruh karangannja. Perkataan-perkataan dapat dipakai baik dengan arti biasa maupun dengan arti kiasan/penghebat dan sebagainja. Djadi makna harfiah langsung tertjantum didalam perkataan-perkataan sendiri. Makna harfiah itu adalah bidang chas tafsir ilmiah Kitab Sutji. Tafsiran ilmiah sesuai dengan patokan-patokan insani tidak dapat melewati makna harfiah itu. Seluruh Kitab Sutji maupun semua bagiannja mempunjai makna harfiah sematjam itu dan makna ini selalu harus diutamakan.
+
 
-
## Suatu keistimewaan Alkitab ialah "makna tipologis". "Typos" ialah salah satu realitas/historis (baik realitas sebagaimana ternjata ada maupun realitas sebagaimana dan sedjauh digambarkan oleh Kitab Sutji), jaitu salah satu kedjadian, lembaga atau tokoh dalam sedjarah penjelamatan jang melambangkan dan mengantipasikan ditingkat lebih rendah suatu realitas historis lain jang kemudian tampil dalam sedjarah penjelamatan ditingkat lebih luhur dan lebih tinggi. Realitas historis jang dilambangkan dan diantipasikan oleh "typos" itu disebut "anti-typos". Dari sebab itu "makna tipologis" langsung tertjantum didalam realitas historis itu sendiri jang disebutkan dan dimaksudkan oleh perkataan-perkataan Kitab Sutji (makna harfiah). Hanja tak langsung boleh dikatakan makna typologis tertjantum dalam perkataan-perkataan kitab Sutji sendiri. Makna typologis itu kerap kali disebutkan djuga "makna rohani". Tetapi istilah itu masih mempunjai beberapa arti lain djuga. Dasar makna typologis ialah sedjarah penjelamatan, sedjauh tahapan jang lebih dahulu dalam sedjarah itu dapat melambangkan, mengantipasikan tahapan jang kemudian serta menundjuk kepadanja. Makna typologis sematjam itu terutama diketemukan dalam Perdjandjian Lama, dan boleh djadi dalam Perdjandjian Baru pula. Oleh karena hanja Allah dapat mengarahkan realitas jang satu menudju realitas jang baru kemudian tampil, maka "makna tipologis" hanja dapat diketahui apabila diberitahukan oleh Allah sendiri, baik dan terutama dalam Kitab Sutji, maupun dengan perantaraan lembaga-lembaga kegeredjaan jang berwenang (tradisi sedjati). Djadi bukanlah tafsir ilmiah belaka jang dapat menetapkan realitas manakah dari Perdjandjian Lama (dan Perdjandjian Baru) adalah merupakan suatu "typos". Oleh karena "makna typologis" tertjantum dalam realitas dan bukannja dalam perkataan maka tak perlu pengarang sutji sadar akan makna typologis itu. Dalam Kitab Sutji Perdjandjian Baru diketemukan agak banjak tafsiran tipologis sematjam itu (bdk. {{ayat|1Kor 10:1-5}}; {{ayat|Rom 5:14-21}}; {{ayat|Joh 19:36; 19:37; 3:14}}; {{ayat|Gal 4:31-32}}; {{ayat|Hbr 7}}; {{ayat|Wah 15:3-4}}; {{ayat|1Ptr 3:20-21}}).
+
Dari ciri ilahi Alkitab diturunkan pula patokan, bahwa Kitab Suci dalam ajarannya tidak dapat sesat dan keliru (bdk. [[Benarnya Kitab Suci]]). Patokan itu hanya dapat (dan harus) diterapkan apabila ada kepastian bahwa Kitab Suci sungguh bermaksud membenarkan sesuatu dan itupun secara definitip. Kalau demikian suatu pertentangan didalam Alkitab sendiri tak mungkin lagi dan tafsir ilmiah tidak boleh menimbulkan pertentangan-pertentangan semacam itu. Tetapi disini harus diingat lagi bahwa ajaran Alkitab sendiri mengalami perkembangan dan kemajuan, sehingga tak perlu ajarannya selalu dan tetap sama saja. Hanya dalam rangka itu suatu pertentangan benar dan langsung tidak dapat diterima lagi dan semua yang sungguh dibenarkan oleh Alkitab adalah benar juga. Dalam suatu karya insani belaka orang dapat menerima sesatan, keliruan dan pertentangan tetapi dalam Alkitab tidak.
-
## Achir-achir ini para ahli kitab memperdebatkan adanja (dan apa tepat artinja) suatu "makna penuh" (sensus plenior, plenary sense, full sense) dalam Kitab Sutji. Tentang pengertian itu sendiripun para ahli tidak/belum sependapat. Pada umumnja boleh dikata sebagai berikut: Makna penuh ialah suatu makna jang oleh Allah langsung ditaruh didalam perkataan-perkataan jang dipakai pengarang sutji, dengan tidak sepengetahuan (atau pengetahuan samar-samar dan kabur sadja) si pengarang insani. Dengan perkataan-perkataan itu dan menurut maksud pengarang insani langsung diutjapkan sesuatu (pikiran, perasaan, kenjataan) tetapi dengan perkataan-perkataan jang sama diungkapkan pula menurut maksud Allah suatu realitas lain di djaman masehi. Makna kedua itu melandjutkan makna pertama dan dengan perkataan-perkataan jang sama sekaligus dua hal dimaksudkan. Perbedaan dengan "makna tipologis" ialah: bukan realitas jang dimaksudkan oleh perkataan menundjuk kepada realitas jang lain, melainkan perkataan-perkataan sendiri menundjukkan kedua hal sekaligus, meskipun letaknja ditingkat jang berbeda. Makna penuh sematjam itu tidak termasuk kedalam wilajah tafsir ilmiah, tetapi hanja dapat diberitahukan oleh Allah sendiri dalam perkembangan wahju selandjutnja. Makna penuh jang mula-mula tersembunji sama sekali kemudian disingkapkan oleh Tuhan. Dengan pertolongan "makna penuh" itu, para ahli mengharap dapat lebih baik mengerti tafsiran jang diberikan Perdjandjian Baru terhadap Perdjandjian Lama.
+
 
-
## Makna allegoris tidak boleh dikatakan "makna Alkitab" lagi. Menurut tafsir "allegoris": maka apa jang sesungguhnja dimaksudkan oleh perkataan-perkataan Kitab Sutji bukanlah apa jang diungkapkan melainkan sesuatu jang lain, sesuatu jang tersembunji sama sekali. Seluruh Kitab Sutji diartikan sebagai suatu lambang belaka dari pelbagai realitas-realitas rohani dan semua dipindahkan kedalam bidang lain jaitu bidang rohani. Meskipun dahulu beberapa pudjangga Geredja (chususnja Origenes) suka sekali akan "tafsir allegoris" sematjam itu, namun tafsir itu tidak boleh dikatakan tafsir Kitab Sutji lagi. Dengan pertolongan tafsir itu hanja diungkapkan matjam-matjam gagasan dan pengertian abstrak dan niskala sadja jang sama sekali tidak dimaksudkan oleh Kitab Sutji. Dan disini letaknja perbedaan besar antara "makna allegoris" dan "makna tipologis". Makna tipologis tertjantum didalam realitas historis, sedangkan maksud allegoris mengenai gagasan dan pengertian abstrak jang diluar pandangan Kitab Sutji.
+
* Dalam rangka patokan (teologis) tersebut Alkitab sebagai karya insani boleh dan harus ditafsirkan dan diartikan sesuai dengan prinsip dan patokan-patokan umum yang harus dipergunakan untuk mengerti suatu karya sastera dari jaman dahulu. Patokan-Patokan yang paling penting ialah :
-
## Bukan "makna Alkitab" pulalah apabila seseorang mengungkapkan pikiran dan perasaannja sendiri dengan perkataan jang diambil dari Alkitab serta hanja dipindjam sadja. Penggunaan Kitab Sutji jang sedemikian dahulu kala sangat laku (terutama dalam chotbah-chotbah) tetapi tidak boleh diandjurkan. Sebelum Kitab Sutji dipakai, orang harus tahu apa jang sungguh dikatakan dan dimaksudkan oleh Alkitab. Firman Allah djangan dipakai sebagai perhiasan belaka.
+
 
 +
1. Teks yang ditafsirkan haruslah teks aseli. Jadi teks sebagaimana ditulis oleh pengarang suci (terakhir) harus menjadi titik tolak bagi tafsiran. Karena itu orang wajib menggunakan teks dalam bahasa aseli (Ibrani/Aram dan Yunani) dan bukanlah salah satu terjemahan, meski paling baik sekalipun. Hanya apa yang dikatakan dan apa yang dimaksudkan oleh teks aseli itulah yang adalah makna Kitab Suci. Kalau sepanjang sejarah teks aseli itu mengalami kerusakan maka terlebih dahulu teks aseli harus sedapat-dapatnya dipulihkan dengan pertolongan ilmu Kritik teks.
 +
 
 +
* Perkataan teks aseli harus diartikan sebagaimana dimaksudkan oleh pengarang suci. Adakalanya perkataan dipakai menurut arti biasa dan sehari-hari, lain kali pengarang suci menggunakan bahasa kiasan atau bahasa penghebat yang bermacam ragam. Semua kemungkinan penggunaan bahasa perlu diperhatikan untuk menetapkan apa yang dimaksudkan pengarang. Sepanjang sejarah bahasa itu perkataan-perkataan kerap kali berubah artinya dan perubahan semacam itu harus diperhatikan dan diketahui oleh ahli tafsir pula.
 +
 
 +
* Untuk mengenal maksud si pengarang perkataan tidak boleh diartikan tersendiri-sendiri saja, melainkan dalam hubungannya dengan kata- kata lain. Hubungan semacam itu disebut konteks. Konteks itu dapat lebih kurang luas. Perkataan-perkataan harus dimengerti dalam konteks kalimatnya, tetapi juga dalam konteks seluruh pasal, bahkan seluruh karangan/kitab. Adakalanya karangan-karangan lain dari tangan pengarang yang sama harus diikutsertakan semua, supaya arti perkataan-perkataan dan ungkapan tertentu dapat dipahami. Setiap pengarang mempunyai kosakata serta peristilahannya sendiri. Dan arti istilah dan ungkapannya harus ditetapkan dahulu. Umpamanya istilah "daging" dan "badan" dalam karangan-karangan Paulus mempunyai makna yang khas. Demikianpun halnya dengan istilah "dunia" dalam karangan-karangan Yohanes dan Paulus (dan Perjanjian Baru pada umumnya). Kalau istilah-istilah dan ungkapan serupa itu dimengerti secara biasa, niscaya sipenafsir tidak lagi mengerti maksud pengarang suci.
 +
 
 +
* Untuk mengerti karangan-karangan Kitab Suci maka harus ditempatkan pula dalam konteks historisnya. Maksudnya ialah: karangan itu baru dapat dimengerti apabila orang tahu sedikit banyak tentang latar belakang historisnya, sejarah politik, kebudayaan dan keagamaan. Pendek kata situasi konkrit pengarang suci ikut menentukan apa yang dimaksudkannya dengan perkataan dan karangannya. Sehubungan dengan itu penting sekali "jenis sastera" yang dipergunakannya sesuai dengan adat kebiasaan pada jamannya.
 +
</cl>
 +
==Makna-makna Kitab Suci==
 +
Dengan pertolongan semua patokan tersebut ditetapkanlah apakah makna dan arti (sensus) Alkitab. Arti dan makna Alkitab ialah apa yang sungguh dikatakan dan dimaksudkan oleh Kitab Suci.
 +
<cl>
 +
1. Makna atau arti Alkitab yang pertama dan utama ialah makna atau arti harfiah (sensus literalis). Yang dimaksudkan dengan istilah itu ialah: apa (pikiran, perasaan, kenyataan) yang langsung diungkapkan oleh perkataan-perkataan Kitab Suci menurut konteksnya. Itulah yang pertama-tama dimaksudkan oleh pengarang (insani-ilahi) dengan perkataan, kalimat-kalimat dan seluruh karangannya. Perkataan-perkataan dapat dipakai baik dengan arti biasa maupun dengan arti kiasan/penghebat dan sebagainya. Jadi makna harfiah langsung tercantum didalam perkataan-perkataan sendiri. Makna harfiah itu adalah bidang khas tafsir ilmiah Kitab Suci. Tafsiran ilmiah sesuai dengan patokan-patokan insani tidak dapat melewati makna harfiah itu. Seluruh Kitab Suci maupun semua bagiannya mempunyai makna harfiah semacam itu dan makna ini selalu harus diutamakan.
 +
 
 +
* Suatu keistimewaan Alkitab ialah "makna tipologis". "Typos" ialah salah satu realitas/historis (baik realitas sebagaimana ternyata ada maupun realitas sebagaimana dan sejauh digambarkan oleh Kitab Suci), yaitu salah satu kejadian, lembaga atau tokoh dalam sejarah penyelamatan yang melambangkan dan mengantipasikan ditingkat lebih rendah suatu realitas historis lain yang kemudian tampil dalam sejarah penyelamatan ditingkat lebih luhur dan lebih tinggi. Realitas historis yang dilambangkan dan diantipasikan oleh "typos" itu disebut "anti-typos". Dari sebab itu "makna tipologis" langsung tercantum didalam realitas historis itu sendiri yang disebutkan dan dimaksudkan oleh perkataan-perkataan Kitab Suci (makna harfiah). Hanya tak langsung boleh dikatakan makna typologis tercantum dalam perkataan-perkataan kitab Suci sendiri. Makna typologis itu kerap kali disebutkan juga "makna rohani". Tetapi istilah itu masih mempunyai beberapa arti lain juga. Dasar makna typologis ialah sejarah penyelamatan, sejauh tahapan yang lebih dahulu dalam sejarah itu dapat melambangkan, mengantipasikan tahapan yang kemudian serta menunjuk kepadanya. Makna typologis semacam itu terutama diketemukan dalam Perjanjian Lama, dan boleh jadi dalam Perjanjian Baru pula. Oleh karena hanya Allah dapat mengarahkan realitas yang satu menuju realitas yang baru kemudian tampil, maka "makna tipologis" hanya dapat diketahui apabila diberitahukan oleh Allah sendiri, baik dan terutama dalam Kitab Suci, maupun dengan perantaraan lembaga-lembaga kegerejaan yang berwenang (tradisi sejati). Jadi bukanlah tafsir ilmiah belaka yang dapat menetapkan realitas manakah dari Perjanjian Lama (dan Perjanjian Baru) adalah merupakan suatu "typos". Oleh karena "makna typologis" tercantum dalam realitas dan bukannya dalam perkataan maka tak perlu pengarang suci sadar akan makna typologis itu. Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru diketemukan agak banyak tafsiran tipologis semacam itu (bdk. {{ayat|1Kor 10:1-5}}; {{ayat|Rom 5:14-21}}; {{ayat|Yoh 19:36; 19:37; 3:14}}; {{ayat|Gal 4:31-32}}; {{ayat|Hbr 7}}; {{ayat|Wah 15:3-4}}; {{ayat|1Ptr 3:20-21}}).
 +
 
 +
* Akhir-akhir ini para ahli kitab memperdebatkan adanya (dan apa tepat artinya) suatu "makna penuh" (sensus plenior, plenary sense, full sense) dalam Kitab Suci. Tentang pengertian itu sendiripun para ahli tidak/belum sependapat. Pada umumnya boleh dikata sebagai berikut: Makna penuh ialah suatu makna yang oleh Allah langsung ditaruh didalam perkataan-perkataan yang dipakai pengarang suci, dengan tidak sepengetahuan (atau pengetahuan samar-samar dan kabur saja) si pengarang insani. Dengan perkataan-perkataan itu dan menurut maksud pengarang insani langsung diucapkan sesuatu (pikiran, perasaan, kenyataan) tetapi dengan perkataan-perkataan yang sama diungkapkan pula menurut maksud Allah suatu realitas lain di jaman masehi. Makna kedua itu melanjutkan makna pertama dan dengan perkataan-perkataan yang sama sekaligus dua hal dimaksudkan. Perbedaan dengan "makna tipologis" ialah: bukan realitas yang dimaksudkan oleh perkataan menunjuk kepada realitas yang lain, melainkan perkataan-perkataan sendiri menunjukkan kedua hal sekaligus, meskipun letaknya ditingkat yang berbeda. Makna penuh semacam itu tidak termasuk kedalam wilayah tafsir ilmiah, tetapi hanya dapat diberitahukan oleh Allah sendiri dalam perkembangan wahyu selanjutnya. Makna penuh yang mula-mula tersembunyi sama sekali kemudian disingkapkan oleh Tuhan. Dengan pertolongan "makna penuh" itu, para ahli mengharap dapat lebih baik mengerti tafsiran yang diberikan Perjanjian Baru terhadap Perjanjian Lama.
 +
 
 +
* Makna allegoris tidak boleh dikatakan "makna Alkitab" lagi. Menurut tafsir "allegoris": maka apa yang sesungguhnya dimaksudkan oleh perkataan-perkataan Kitab Suci bukanlah apa yang diungkapkan melainkan sesuatu yang lain, sesuatu yang tersembunyi sama sekali. Seluruh Kitab Suci diartikan sebagai suatu lambang belaka dari pelbagai realitas-realitas rohani dan semua dipindahkan kedalam bidang lain yaitu bidang rohani. Meskipun dahulu beberapa pujangga Gereja (khususnya Origenes) suka sekali akan "tafsir allegoris" semacam itu, namun tafsir itu tidak boleh dikatakan tafsir Kitab Suci lagi. Dengan pertolongan tafsir itu hanya diungkapkan macam-macam gagasan dan pengertian abstrak dan niskala saja yang sama sekali tidak dimaksudkan oleh Kitab Suci. Dan disini letaknya perbedaan besar antara "makna allegoris" dan "makna tipologis". Makna tipologis tercantum didalam realitas historis, sedangkan maksud allegoris mengenai gagasan dan pengertian abstrak yang diluar pandangan Kitab Suci.
 +
 
 +
* Bukan "makna Alkitab" pulalah apabila seseorang mengungkapkan pikiran dan perasaannya sendiri dengan perkataan yang diambil dari Alkitab serta hanya dipinjam saja. Penggunaan Kitab Suci yang sedemikian dahulu kala sangat laku (terutama dalam khotbah-khotbah) tetapi tidak boleh dianjurkan. Sebelum Kitab Suci dipakai, orang harus tahu apa yang sungguh dikatakan dan dimaksudkan oleh Alkitab. Firman Allah jangan dipakai sebagai perhiasan belaka.
 +
 
 +
 
 +
:Catatan: ''dialihaksarakan ke ejaan baru oleh SABDA''
 +
{{Buku Hijau|footer}}
 +
{{DISPLAYTITLE:Hermeneutika atau Ilmu Tafsir}}

Revisi terkini pada 11:04, 30 Juni 2011

Buku Hijau
Sejarah Alkitab di Indonesia
Sejarah Alkitab Daerah Indonesia
Sejarah Alkitab di Luar Indonesia
Biblika
Doktrin Alkitab
Pengantar dan Garis Besar Kitab
Studi Kata Alkitab



Ilmu tafsir atau hermeneutika (Yunani: hermeneuein = menafsirkan, menterjemahkan) ialah ilmu yang menetapkan, prinsip, aturan dan patokan yang menolong untuk mengerti atau mengartikan salah satu karya atau dokumen dari jaman sekarang atau terutama dari jaman dahulu.

Dengan pertolongan prinsip, aturan dan patokan yang ditetapkan itu para ahli mengartikan suatu karya (seni) dan begitu menghasilkan "tafsiran". Pengetrapan ilmu tafsir itu disebut "eksegese" (Yunani: eks-egesthai=mengeluarkan, menerangkan). Meskipun ilmu tafsir dapat dan harus diterapkan pula untuk mengartikan suatu karya profan juga, namun ilmu itu terutama diperkembangkan sehubungan dengan Alkitab. Dan hanya ilmu tafsir alkitabiah itu yang menjadi pokok uraian ini. Adapun ilmu tafsir alkitabiah itu ialah: ilmu (prinsip, aturan , patokan) yang menolong untuk mengerti apa yang sesungguhnya dikatakan dan dimaksudkan oleh Kitab Suci.

Perlunya ilmu tafsir alkitabiah

Sudah barang tentu Kitab Suci membutuhkan tafsiran. Tidak dapat dikata, bahwa Alkitab begitu saja jelas dan terang untuk para pendengar dan para pembaca. Memang Kitab Suci adalah firman Allah (bdk. Inspirasi), tetapi firman Allah yang berupa perkataan manusia. Dari sebab itu Alkitab ikut mengalami nasib perkataan manusia pula. Kitab Suci ditulis sekian ratus, bahkan sekian ribu (bagian-bagian tertua) tahun yang lalu. Ia ditulis dalam bahasa (Ibrani/Aram, Yunani) yang bukan bahasa kita dan bahasa-bahasa Alkitab bahkan sudah menjadi bahasa mati, sehingga tidak lagi dipakai untuk hidup sehari-hari. Karena itu Kitab Suci perlu "diterjemahkan" kedalam bahasa yang masih hidup. Tetapi setiap "terjemahan" sekaligus suatu "tafsiran". Sebab sipenterjemah hanya (dapat) menterjemahkan apa yang dimengertinya dan hanya sejauh dimengertinya. Kecuali itu para pengarang (manusia) Kitab Suci menulis karangan-karangannya berdasarkan alam pikiran, kebudayaan dan keadaan historis tertentu yang bukan alam pikiran, kebudayaan dan keadaan para pembaca dan pendengar Alkitab dijaman kemudian dan dimasa sekarang. Jadi Alkitab membutuhkan tafsiran. Maksud sebenarnya dari Alkitab harus digali, lalu diterjemahkan kedalam alam pikiran lain. Dan baiklah kalau ada dan disusun sejumlah prinsip dan patokan yang menjadi pegangan dalam menafsirkan Alkitab, supaya salah paham dan kekeliruan sedapat mungkin dicegah. Dan justru itulah maksud dan tujuan ilmu tafsir atau hermeneutika.

Patokan-patokan tafsiran Kitab Suci

Ada dua macam patokan sehubungan dengan tafsir Alkitab. Kitab Suci adalah suatu karya (sastera) insani. Karenanya semua aturan yang ada untuk mengarti suatu karya sastera dari jaman dahulu boleh, bahkan harus diterapkan dalam menafsirkan Kitab Suci juga. Akan tetapi Alkitab sekaligus firman Allah yang tertulis. Dari sebab itu tafsir Kitab Suci harus memperhatikan juga ciri khas Alkitab dan tidak boleh mengartikannya hanya sebagai karya manusia belaka. Karena corak rangkap dua itu maka ada juga dua macam patokan yang harus dipakai dalam mengartikan Alkitab.

  1. Sebagai firman Allah maka Alkitab dapat ditafsirkan dengan wenang mutlak oleh Allah sendiri semata-mata. Tafsir berwenang semacam itu dapat diberikan dalam Alkitab sendiri. Dan sesungguhnya terjadi bahwa salah satu karangan yang ditulis kemudian mengartikan suatu karangan yang ditulis terlebih dahulu. Misalnya Yeh 18 menyajikan suatu keterangan terhadap Yer 31:29-30. Kitab Syemuel dan Raja-raja kemudian diinterprestasikan oleh Kitab Tawarikh. Dalam Perjanjian Baru 1Tim 5:18 menafsirkan Mat 10:10. Khususnya Perjanjian Baru kerap kali mengartikan Perjanjian Lama. Tidak sedikit ayat dan nas dari Perjanjian Lama dikutip dan ditafsirkan oleh Perjanjian Baru (misalnya: Yes 7:14; Mat 1:23; Mikh 5:1,3; Mat 2:6; Yer 31:15; Mat 2:18; Yes 40:3; Mat 3:3; Yes 61:1-2; Luk 4:18; Mzm 16:8-11; Kis 2:25-28; Mzm 16:10; Kis 2:31; Mzm 110:1; Kis 2:34-34 dll.) Harus diakui bahwa tafsiran Perjanjian Baru terhadap Perjanjian Lama bagi kita kerap kali sukar dimengerti, bahkan membingungkan. Sehubungan dengan itu perlu diingat bahwa Perjanjian Baru kerap kali tidak hanya "mengartikan", tetapi juga dan sekaligus melanjutkan dan mengembangkan makna Perjanjian Lama yang aseli. Wahyu Allah dalam Alkitab sendiri mengalami perkembangan dan kemajuan. Perkembangan dan kemajuan kerap kali tercantum justru dalam tafsiran yang diberikan Perjanjian Baru terhadap Perjanjian Lama. Dengan demikian terjadi bahwa makna aseli dari salah satu nas dari Perjanjian Lama diperincikan dan diterapkan oleh Perjanjian Baru dan sedikit banyak dirubah. Tafsiran serupa itu khususnya mengenai nubuat-nubuat Perjanjian Lama yang oleh Perjanjian Baru diterapkan pada Yesus Kristus dan pada umat kristen.

    Bagi orang katolik Allah tidak hanya dapat memberikan tafsirNya dalam Kitab Suci sendiri tetapi juga dengan perantaraan lembaga umat Allah, khususnya dengan perantaraan kuasa Gereya yang berwenang untuk mengajar. Karena itu perlu diperhatikan pula bagaimana Alkitab diartikan oleh Gereja, baik dahulu (tradisi) maupun sekarang (kuasa mengajar dan iman umat pada umumnya). Sehubungan dengan itu selalu perlu diperhatikan baik-baik apakah Gereja (tradisi, kuasa mengajar) sungguh bermaksud memberikan suatu interprestasi yang "otentik", yaitu berwenang sehingga mengikat benar. Maksud itu kerap kali sukar ditetapkan dan dipastikan, khususnya berhubungan dengan tradisi. Pada umumnya boleh dikata bahwa belum ada banyak nas Alkitab yang diberikan tafsir otentik semacam itu.

    Dari ciri ilahi Alkitab diturunkan pula patokan, bahwa Kitab Suci dalam ajarannya tidak dapat sesat dan keliru (bdk. Benarnya Kitab Suci). Patokan itu hanya dapat (dan harus) diterapkan apabila ada kepastian bahwa Kitab Suci sungguh bermaksud membenarkan sesuatu dan itupun secara definitip. Kalau demikian suatu pertentangan didalam Alkitab sendiri tak mungkin lagi dan tafsir ilmiah tidak boleh menimbulkan pertentangan-pertentangan semacam itu. Tetapi disini harus diingat lagi bahwa ajaran Alkitab sendiri mengalami perkembangan dan kemajuan, sehingga tak perlu ajarannya selalu dan tetap sama saja. Hanya dalam rangka itu suatu pertentangan benar dan langsung tidak dapat diterima lagi dan semua yang sungguh dibenarkan oleh Alkitab adalah benar juga. Dalam suatu karya insani belaka orang dapat menerima sesatan, keliruan dan pertentangan tetapi dalam Alkitab tidak.

  2. Dalam rangka patokan (teologis) tersebut Alkitab sebagai karya insani boleh dan harus ditafsirkan dan diartikan sesuai dengan prinsip dan patokan-patokan umum yang harus dipergunakan untuk mengerti suatu karya sastera dari jaman dahulu. Patokan-Patokan yang paling penting ialah :

    1. Teks yang ditafsirkan haruslah teks aseli. Jadi teks sebagaimana ditulis oleh pengarang suci (terakhir) harus menjadi titik tolak bagi tafsiran. Karena itu orang wajib menggunakan teks dalam bahasa aseli (Ibrani/Aram dan Yunani) dan bukanlah salah satu terjemahan, meski paling baik sekalipun. Hanya apa yang dikatakan dan apa yang dimaksudkan oleh teks aseli itulah yang adalah makna Kitab Suci. Kalau sepanjang sejarah teks aseli itu mengalami kerusakan maka terlebih dahulu teks aseli harus sedapat-dapatnya dipulihkan dengan pertolongan ilmu Kritik teks.

    2. Perkataan teks aseli harus diartikan sebagaimana dimaksudkan oleh pengarang suci. Adakalanya perkataan dipakai menurut arti biasa dan sehari-hari, lain kali pengarang suci menggunakan bahasa kiasan atau bahasa penghebat yang bermacam ragam. Semua kemungkinan penggunaan bahasa perlu diperhatikan untuk menetapkan apa yang dimaksudkan pengarang. Sepanjang sejarah bahasa itu perkataan-perkataan kerap kali berubah artinya dan perubahan semacam itu harus diperhatikan dan diketahui oleh ahli tafsir pula.

    3. Untuk mengenal maksud si pengarang perkataan tidak boleh diartikan tersendiri-sendiri saja, melainkan dalam hubungannya dengan kata- kata lain. Hubungan semacam itu disebut konteks. Konteks itu dapat lebih kurang luas. Perkataan-perkataan harus dimengerti dalam konteks kalimatnya, tetapi juga dalam konteks seluruh pasal, bahkan seluruh karangan/kitab. Adakalanya karangan-karangan lain dari tangan pengarang yang sama harus diikutsertakan semua, supaya arti perkataan-perkataan dan ungkapan tertentu dapat dipahami. Setiap pengarang mempunyai kosakata serta peristilahannya sendiri. Dan arti istilah dan ungkapannya harus ditetapkan dahulu. Umpamanya istilah "daging" dan "badan" dalam karangan-karangan Paulus mempunyai makna yang khas. Demikianpun halnya dengan istilah "dunia" dalam karangan-karangan Yohanes dan Paulus (dan Perjanjian Baru pada umumnya). Kalau istilah-istilah dan ungkapan serupa itu dimengerti secara biasa, niscaya sipenafsir tidak lagi mengerti maksud pengarang suci.

    4. Untuk mengerti karangan-karangan Kitab Suci maka harus ditempatkan pula dalam konteks historisnya. Maksudnya ialah: karangan itu baru dapat dimengerti apabila orang tahu sedikit banyak tentang latar belakang historisnya, sejarah politik, kebudayaan dan keagamaan. Pendek kata situasi konkrit pengarang suci ikut menentukan apa yang dimaksudkannya dengan perkataan dan karangannya. Sehubungan dengan itu penting sekali "jenis sastera" yang dipergunakannya sesuai dengan adat kebiasaan pada jamannya.

Makna-makna Kitab Suci

Dengan pertolongan semua patokan tersebut ditetapkanlah apakah makna dan arti (sensus) Alkitab. Arti dan makna Alkitab ialah apa yang sungguh dikatakan dan dimaksudkan oleh Kitab Suci.

  1. Makna atau arti Alkitab yang pertama dan utama ialah makna atau arti harfiah (sensus literalis). Yang dimaksudkan dengan istilah itu ialah: apa (pikiran, perasaan, kenyataan) yang langsung diungkapkan oleh perkataan-perkataan Kitab Suci menurut konteksnya. Itulah yang pertama-tama dimaksudkan oleh pengarang (insani-ilahi) dengan perkataan, kalimat-kalimat dan seluruh karangannya. Perkataan-perkataan dapat dipakai baik dengan arti biasa maupun dengan arti kiasan/penghebat dan sebagainya. Jadi makna harfiah langsung tercantum didalam perkataan-perkataan sendiri. Makna harfiah itu adalah bidang khas tafsir ilmiah Kitab Suci. Tafsiran ilmiah sesuai dengan patokan-patokan insani tidak dapat melewati makna harfiah itu. Seluruh Kitab Suci maupun semua bagiannya mempunyai makna harfiah semacam itu dan makna ini selalu harus diutamakan.

  2. Suatu keistimewaan Alkitab ialah "makna tipologis". "Typos" ialah salah satu realitas/historis (baik realitas sebagaimana ternyata ada maupun realitas sebagaimana dan sejauh digambarkan oleh Kitab Suci), yaitu salah satu kejadian, lembaga atau tokoh dalam sejarah penyelamatan yang melambangkan dan mengantipasikan ditingkat lebih rendah suatu realitas historis lain yang kemudian tampil dalam sejarah penyelamatan ditingkat lebih luhur dan lebih tinggi. Realitas historis yang dilambangkan dan diantipasikan oleh "typos" itu disebut "anti-typos". Dari sebab itu "makna tipologis" langsung tercantum didalam realitas historis itu sendiri yang disebutkan dan dimaksudkan oleh perkataan-perkataan Kitab Suci (makna harfiah). Hanya tak langsung boleh dikatakan makna typologis tercantum dalam perkataan-perkataan kitab Suci sendiri. Makna typologis itu kerap kali disebutkan juga "makna rohani". Tetapi istilah itu masih mempunyai beberapa arti lain juga. Dasar makna typologis ialah sejarah penyelamatan, sejauh tahapan yang lebih dahulu dalam sejarah itu dapat melambangkan, mengantipasikan tahapan yang kemudian serta menunjuk kepadanya. Makna typologis semacam itu terutama diketemukan dalam Perjanjian Lama, dan boleh jadi dalam Perjanjian Baru pula. Oleh karena hanya Allah dapat mengarahkan realitas yang satu menuju realitas yang baru kemudian tampil, maka "makna tipologis" hanya dapat diketahui apabila diberitahukan oleh Allah sendiri, baik dan terutama dalam Kitab Suci, maupun dengan perantaraan lembaga-lembaga kegerejaan yang berwenang (tradisi sejati). Jadi bukanlah tafsir ilmiah belaka yang dapat menetapkan realitas manakah dari Perjanjian Lama (dan Perjanjian Baru) adalah merupakan suatu "typos". Oleh karena "makna typologis" tercantum dalam realitas dan bukannya dalam perkataan maka tak perlu pengarang suci sadar akan makna typologis itu. Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru diketemukan agak banyak tafsiran tipologis semacam itu (bdk. 1Kor 10:1-5; Rom 5:14-21; Yoh 19:36; 19:37; 3:14; Gal 4:31-32; Hbr 7; Wah 15:3-4; 1Ptr 3:20-21).

  3. Akhir-akhir ini para ahli kitab memperdebatkan adanya (dan apa tepat artinya) suatu "makna penuh" (sensus plenior, plenary sense, full sense) dalam Kitab Suci. Tentang pengertian itu sendiripun para ahli tidak/belum sependapat. Pada umumnya boleh dikata sebagai berikut: Makna penuh ialah suatu makna yang oleh Allah langsung ditaruh didalam perkataan-perkataan yang dipakai pengarang suci, dengan tidak sepengetahuan (atau pengetahuan samar-samar dan kabur saja) si pengarang insani. Dengan perkataan-perkataan itu dan menurut maksud pengarang insani langsung diucapkan sesuatu (pikiran, perasaan, kenyataan) tetapi dengan perkataan-perkataan yang sama diungkapkan pula menurut maksud Allah suatu realitas lain di jaman masehi. Makna kedua itu melanjutkan makna pertama dan dengan perkataan-perkataan yang sama sekaligus dua hal dimaksudkan. Perbedaan dengan "makna tipologis" ialah: bukan realitas yang dimaksudkan oleh perkataan menunjuk kepada realitas yang lain, melainkan perkataan-perkataan sendiri menunjukkan kedua hal sekaligus, meskipun letaknya ditingkat yang berbeda. Makna penuh semacam itu tidak termasuk kedalam wilayah tafsir ilmiah, tetapi hanya dapat diberitahukan oleh Allah sendiri dalam perkembangan wahyu selanjutnya. Makna penuh yang mula-mula tersembunyi sama sekali kemudian disingkapkan oleh Tuhan. Dengan pertolongan "makna penuh" itu, para ahli mengharap dapat lebih baik mengerti tafsiran yang diberikan Perjanjian Baru terhadap Perjanjian Lama.

  4. Makna allegoris tidak boleh dikatakan "makna Alkitab" lagi. Menurut tafsir "allegoris": maka apa yang sesungguhnya dimaksudkan oleh perkataan-perkataan Kitab Suci bukanlah apa yang diungkapkan melainkan sesuatu yang lain, sesuatu yang tersembunyi sama sekali. Seluruh Kitab Suci diartikan sebagai suatu lambang belaka dari pelbagai realitas-realitas rohani dan semua dipindahkan kedalam bidang lain yaitu bidang rohani. Meskipun dahulu beberapa pujangga Gereja (khususnya Origenes) suka sekali akan "tafsir allegoris" semacam itu, namun tafsir itu tidak boleh dikatakan tafsir Kitab Suci lagi. Dengan pertolongan tafsir itu hanya diungkapkan macam-macam gagasan dan pengertian abstrak dan niskala saja yang sama sekali tidak dimaksudkan oleh Kitab Suci. Dan disini letaknya perbedaan besar antara "makna allegoris" dan "makna tipologis". Makna tipologis tercantum didalam realitas historis, sedangkan maksud allegoris mengenai gagasan dan pengertian abstrak yang diluar pandangan Kitab Suci.

  5. Bukan "makna Alkitab" pulalah apabila seseorang mengungkapkan pikiran dan perasaannya sendiri dengan perkataan yang diambil dari Alkitab serta hanya dipinjam saja. Penggunaan Kitab Suci yang sedemikian dahulu kala sangat laku (terutama dalam khotbah-khotbah) tetapi tidak boleh dianjurkan. Sebelum Kitab Suci dipakai, orang harus tahu apa yang sungguh dikatakan dan dimaksudkan oleh Alkitab. Firman Allah jangan dipakai sebagai perhiasan belaka.


    Catatan: dialihaksarakan ke ejaan baru oleh SABDA
    Artikel ini diambil dari:
    Judul belum diketahui, tapi kami menyebutnya sebagai buku hijau.