Sejarah Alkitab Indonesia

artikel/pekabaran injil di indonesia.htm

Bagikan ke Facebook

Dari Sejarah Alkitab Indonesia

Langsung ke: navigasi, cari
 
(2 revisi antara tak ditampilkan.)
Baris 1: Baris 1:
{{Kanan|{{Sejarah Gereja}}|{{Sejarah Alkitab di Indonesia}}}}
{{Kanan|{{Sejarah Gereja}}|{{Sejarah Alkitab di Indonesia}}}}
-
'''3. Pekerjaan beberapa pendeta. '''
 
 +
==Pekerjaan beberapa pendeta==
Untuk mendapat kesan tentang usaha pendeta-pendeta di pelbagai lapangan pekerjaan, marilah kita meninjau sepintas lalu beberapa di antara mereka, yang menjadi terkemuka karena jasanya.
Untuk mendapat kesan tentang usaha pendeta-pendeta di pelbagai lapangan pekerjaan, marilah kita meninjau sepintas lalu beberapa di antara mereka, yang menjadi terkemuka karena jasanya.
Baris 12: Baris 12:
Terjemahan Alkitab, Pengakuan Rasuli, Kesepuluh Hukum, kitab katekismus dan khotbah-khotbah dalam bahasa Melayu, sudah mulai dikerjakan oleh beberapa orang semenjak permulaan masuknya agama Protestan ke Indonesia. Pada akhir abad ke-XVII terasalah kebutuhan akan terjemahan sebuah Alkitab oleh ahli theologia yang pandai. Dua pendeta bersaingan dalam hal itu, Melchior Leidekker, pendeta di Jakarta (1678-1701) mengerjakan terjemahannya dengan memakai bahasa Melayu tinggi; sesampai kepada Efesus 6:6, ia meninggal. Pada waktu itu juga Francois Valentijn memimpin jemaat Ambon (dari 1686-1694 dan 1705-1713). Masyhurlah kitab sejarah Indonesia yang diterbitkannya pada tahun 1725 dalam delapan jilid besar. Valentijn telah menterjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Melayu-Maluku dan ia berdaya-upaya, sementara liburannya di Belanda, supaya Tuan-tuan XVII mencetaknya. Akan tetapi terjemahan Leidekkerlah yang dipilih dan diterbitkan untuk pertama kali pada tahun 1733. Sebagaimana dimaklumi di kemudian hari justru terjemahan Leidekker inilah yang amat dicintai suku bangsa Ambon.
Terjemahan Alkitab, Pengakuan Rasuli, Kesepuluh Hukum, kitab katekismus dan khotbah-khotbah dalam bahasa Melayu, sudah mulai dikerjakan oleh beberapa orang semenjak permulaan masuknya agama Protestan ke Indonesia. Pada akhir abad ke-XVII terasalah kebutuhan akan terjemahan sebuah Alkitab oleh ahli theologia yang pandai. Dua pendeta bersaingan dalam hal itu, Melchior Leidekker, pendeta di Jakarta (1678-1701) mengerjakan terjemahannya dengan memakai bahasa Melayu tinggi; sesampai kepada Efesus 6:6, ia meninggal. Pada waktu itu juga Francois Valentijn memimpin jemaat Ambon (dari 1686-1694 dan 1705-1713). Masyhurlah kitab sejarah Indonesia yang diterbitkannya pada tahun 1725 dalam delapan jilid besar. Valentijn telah menterjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Melayu-Maluku dan ia berdaya-upaya, sementara liburannya di Belanda, supaya Tuan-tuan XVII mencetaknya. Akan tetapi terjemahan Leidekkerlah yang dipilih dan diterbitkan untuk pertama kali pada tahun 1733. Sebagaimana dimaklumi di kemudian hari justru terjemahan Leidekker inilah yang amat dicintai suku bangsa Ambon.
 +
{{Sejarah Gereja|footer}}
{{Sejarah Gereja|footer}}
 +
{{DISPLAYTITLE:artikel/pekabaran injil di indonesia.htm}}

Revisi terkini pada 12:53, 1 Juli 2011

Sejarah Gereja
Sejarah Alkitab di Indonesia



Pekerjaan beberapa pendeta

Untuk mendapat kesan tentang usaha pendeta-pendeta di pelbagai lapangan pekerjaan, marilah kita meninjau sepintas lalu beberapa di antara mereka, yang menjadi terkemuka karena jasanya.

Sebastian Danckaerts bekerja di Ambon (1618-1622) dan Jakarta (1624-1634). Di Ambon ia berkhotbah dalam bahasa Belanda dan Melayu. Terutama ia mementingkan persekolahan; atas usulnya, tiap-tiap hari pemerintah memberi beras kepada anak-anak sekolah, sehingga banyak anak tertarik. Pun dibukanya sebuah sekolah guru untuk melatih penolong-penolong yang cakap bagi pekerjaan di jemaat dan di sekolah. Dengan karangannya tentang keadaan agama Kristen di Ambon, Danckaerts menghidupkan perhatian Gereja Belanda terhadap Pekabaran Injil. Tambahan pula, ia berusaha mendapat tatagereja yang teratur bagi jemaat-jemaat di Indonesia, tatkala ia berlibur di Belanda.

Permulaan pekerjaan Gereja di Jakarta kita kenal dari laporan-laporan tahunan yang panjang, oleh Adriaan Hulsebos (1616-1622). Atas ikhtiarnya, Gubernur-Jenderal Jan Pieterzoon Coen mengizinkan terbentuknya majelis-gereja dan perayaan Perjamuan Kudus (1621). Penatua-penatua dilantik dengan surat keputusan pemerintah di Jakarta. Sebelum pulang ke Belanda, Hulsebos diutus ke Maluku untuk mempelajari keadaan Gereja di sana. Di Banda diaturnya jemaat dan persekolahan dengan rapi, tetapi sayang kapalnya tenggelam dengan semua penumpangnya waktu masuk teluk Ambon.

Justus Heurnius adalah seorang pendeta yang sudah menunjukkan perhatian besar terhadap pertobatan kaum kafir, selagi ia di Belanda. Sebenarnya ia telah tamat pelajaran ketabiban ketika ia merasa dirinya terpanggil untuk mengabarkan Injil di Indonesia. Ia masuk sekolah tinggi lagi untuk menuntut ilmu theologia dan ia mengeluarkan sebuah karangan yang di dalamnya ia membangunkan perhatian jemaat-jemaat Belanda untuk mengusahakan tugas Pekabaran Injil. Pada tahun 1624 Heurnius tiba di Jakarta; dengan segera ia dapat membereskan suatu pertengkaran antara Gubernur-Jenderal dengan majelis-gereja. Sebuah tatagereja direncanakan dan ditetapkan, yang antara lain menentukan bahwa perpindahan pendeta-pendeta diurus oleh pemerintah, tetapi sesudah mendengar pendapat Gereja. Beberapa tahun lamanya Heurnius dapat bekerja dengan leluasa; teristimewa ia memperhatikan Pekabaran Injil di antara golongan Tionghoa. Kemudian timbullah rupa-rupa pokok perselisihan dengan pemerintah V.O.C. Surat-surat Gereja harus melalui kantor pemerintah, dan Gubernur-Jenderal Specx (1629) mulai campur tangan dalam perkara-perkara disiplin Gereja. Heurnius melawan tindakan Specx itu dengan menjelaskan hak Gereja atas disiplin dari mimbar. Akibatnya ialah bahwa Heurnius dihentikan untuk sementara waktu, dipenjarakan satu bulan, kemudian dipindahkan ke salah satu kantor perdagangan V.O.C. yang kecil di pantai Coromandel (India-Tenggara). Meskipun Heurnius harus segera dipanggil pulang ke Jakarta, tetapi sejak itu perlawanan Gereja terhadap penguasaan perkara-perkara Gereja oleh pemerintah telah patah. Persidangan majelis-gereja harus dihadiri oleh dua "komisaris-politik", yakni wakil-wakil pemerintah. (Kemudian, pada tahun 1643), Gubernur-Jenderal Van Diemen menyusun suatu tata-gereja pula, yang menetapkan, bahwa perlu ada izin pemerintah untuk segala perbuatan badan-badan Gereja). Oleh karena pengalamannya yang pahit di Jakarta, Heurnius senang menerima kepindahan ke Saparua pada tahun 1633. Dengan kegembiraan besar ia menyerahkan dirinya kepada pimpinan jemaat-jemaat, pelajaran bahasa daerah, latihan guru-guru, persekolahan dan terjemahan beberapa bagian Alkitab. Orang Islam meracun dia, tetapi sesudah sembuh, ia dengan setia bekerja terus di pulau-pulau Lease dan Ambon, sampai ia kembali ke Belanda pada tahun 1638.

Terjemahan Alkitab, Pengakuan Rasuli, Kesepuluh Hukum, kitab katekismus dan khotbah-khotbah dalam bahasa Melayu, sudah mulai dikerjakan oleh beberapa orang semenjak permulaan masuknya agama Protestan ke Indonesia. Pada akhir abad ke-XVII terasalah kebutuhan akan terjemahan sebuah Alkitab oleh ahli theologia yang pandai. Dua pendeta bersaingan dalam hal itu, Melchior Leidekker, pendeta di Jakarta (1678-1701) mengerjakan terjemahannya dengan memakai bahasa Melayu tinggi; sesampai kepada Efesus 6:6, ia meninggal. Pada waktu itu juga Francois Valentijn memimpin jemaat Ambon (dari 1686-1694 dan 1705-1713). Masyhurlah kitab sejarah Indonesia yang diterbitkannya pada tahun 1725 dalam delapan jilid besar. Valentijn telah menterjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Melayu-Maluku dan ia berdaya-upaya, sementara liburannya di Belanda, supaya Tuan-tuan XVII mencetaknya. Akan tetapi terjemahan Leidekkerlah yang dipilih dan diterbitkan untuk pertama kali pada tahun 1733. Sebagaimana dimaklumi di kemudian hari justru terjemahan Leidekker inilah yang amat dicintai suku bangsa Ambon.


Bibliografi
Artikel ini diambil dari:
Berkhof, Dr. H. dan Enklaar, Dr. I. H. 2001. Sejarah Gereja. PT BPK Gunung Mulia, Jakarta.
kembali ke atas