Sejarah Alkitab Indonesia

Organisasi, Ajaran, dan Kehidupan Gereja Pada Zaman VOC

Bagikan ke Facebook

Dari Sejarah Alkitab Indonesia

Langsung ke: navigasi, cari
 
(7 revisi antara tak ditampilkan.)
Baris 1: Baris 1:
{{kanan|{{Sejarah Gereja di Indonesia}}|{{Sejarah Alkitab di Indonesia}}}}
{{kanan|{{Sejarah Gereja di Indonesia}}|{{Sejarah Alkitab di Indonesia}}}}
 +
Tidaklah perlu diuraikan lebih lanjut, bahwa pada zaman ini VOC Gereja di Belandalah yang merupakan ibu-gereja bagi Gereja di Indonesia. Memang sebenarnya ia tak berkewibawaan apapun atas Gereja di Indonesia itu. Sudah kita lihat bahwa pemerintah VOC sama sekali tak meluaskannya dan hampir-hampir tak memberikan suatu kebebasan yang sesungguhnya kepada Gereja di Indonesia. Mereka juga tidak banyak memperdulikan protes-protes serta peringatan-peringatan yang dikeluarkan oleh synode-synode propinsi di Belanda, yang sekali-sekali mengeluarkan suaranya yang tegas. Tambahan pula, VOC-lah yang menanggung segala ongkos pengeluaran Gereja dan juga tak mengizinkan bahwa oleh pihak lain, misalnya oleh "ibu-gereja", disediakan wang bagi Gereja di Indonesia. Segala-galanya harus datang dari pihak pemerintah, ya sebenarnyalah ia ingin berkuasa atas segala hal. Namun demikian besar juga pengaruh rohani dari Gereja di Belanda. Bentuk-bentuk organisasinya, dasar-dasar pengakuan imannya, ketentuan-ketentuan siasat gerejanya, corak-corak kehidupan gerejanya, dengan sendirinya menjadi juga contoh dan ukuran di Indonesia. Dan pengaruh ini berlaku seberapa hal itu sesuai dengan maksud-maksud pemerintah serta di dalam keadaan-keadaan yang memungkinkannya di Indonesia. Orang tidak menghendaki apapun melainkan supaya Gereja di Indonesia ini dibangun "sesuai dengan aturan jemaat gereformeerd (menurut ajaran Calvin) di tanah air", sebagaimana dinyatakan oleh wakil pemerintah pada sidang am pertama di Jakarta tahun 1642. Dikatakan harus sesuai dengan bentuk Gereja-gereja kalvinis di Belanda, tetapi bagaimanakah harus melaksanakan suatu tata-gereja presbyterial di daerah-daerah ini? Sebab, bukankah pertama-tama harus ada jemaat yang berdiri sendiri lengkap dengan majelis-majelis gerejanya yang dipilih sendiri, berhak untuk memanggil serta meneguhkan pendeta-pendetanya sendiri, memiliki kebebasan serta kemerdekaan untuk memimpin jemaat-jemaat setempat. Dan selanjutnya, sama seperti di tanah tumpah darah, jemaat-jemaat ini akan digabungkan di dalam klasis-klasis, dan klasis-klasis ini di dalam suatu badan synodal. Akan tetapi sebenarnya maksud ini gagal di Indonesia. Memang ada terdapat beberapa jemaat, tetapi betapa berjauhan satu daripada yang lain! Betapa lemahnya, betapa tergantung kepada pendudukan orang-orang Eropa, atas faktor-faktor di Banda, Kupang, Ternate ataupun Ambon dan tempat-tempat lain! Betapa sukarnya bagi jemaat-jemaat ini untuk membentuk suatu kelompok yang tetap di dalam masyarakat yang selalu berubah itu. Dan betapa berjauhan tinggalnya golongan-golongan, yang terhisab pada jemaat ini. Lagipula, tidaklah dibentuk jemaat Indonesia tersendiri di samping jemaat-jemaat Eropa, sungguhpun sudah barang tentu diadakan kebaktian-kebaktian tersendiri menurut golongan-golongan bahasa. (Di Jakarta misalnya terdapat satu bagian jemaat khusus untuk orang-orang "mardeika" yang berbahasa Portugis dan yang berbahasa Melayu. Di Ambon terdapat satu jemaat, yang di dalamnya termasuk juga jemaat-jemaat kampung dari seluruh pulau itu, ya bahkan dari Saparua dan Haruku). Dengan sendirinya terdapat lebih banyak penatua-penatua serta syamas-syamas bangsa Eropa. Bahkan di Jakarta hanya terdapat orang-orang Eropa di dalam majelis gereja. Akan tetapi juga dimana ada orang-orang Indonesia menjadi anggota, hampir-hampir mereka tiada bersuara apapun. Perbedaan tingkat dan perbawa demikian besar di dalam masyarakat kolonial, sehingga sukar untuk bekerja-sama secara menguntungkan. Tambahan pula majelis-majelis gereja itu seluruhnya berbahasa Belanda. Orang-orang Kristen Indonesia yang ribuan banyaknya itu sebenarnya tiada bersuara di dalamnya, bukannya pertama-tama oleh sebab mereka disendirikan, melainkan oleh sebab dasar-dasar tata-gereja presbyterial dari negeri Belanda tersebut kurang sesuai dalam masyarakat kolonial ini untuk suatu perkembangan yang subur bagi orang-orang Kristen Indonesia.
 +
Soal lain pula ialah hak untuk memanggil pendeta-pendeta. Bagaimanakah hal itu bisa dilaksanakan sedangkan jarak-jarak yang begitu jauh tidak memungkinkah untuk mengenal dan dapat memilih pendeta yang akan dipanggil itu. Dapatlah dikatakan, bahwa mengingat keadaan-keadaan geografi maka perlu diadakan semacam pusat pimpinan Gereja. Artinya bahwa hak jemaat untuk memanggil setidak-tidaknya harus ditempatkan pada suatu instansi Gereja yang tertinggi. Sebenarnya pemerintah VOC telah merampas begitu saja hak ini. Biarpun para pendeta dan juga "ibu-gereja" di Belanda memajukan keberatan-keberatannya dengan tegas, namun para penguasa di Indonesia tetap berpegang keras pada haknya untuk menempatkan serta memindahkan pendeta-pendeta menurut kebijaksanaan mereka.
-
Tidaklah perlu diuraikan lebih landjut, bahwa pada zaman ini VOC Geredja di Belandalah jang merupakan ibu-geredja bagi Geredja di Indonesia. Memang sebenarnja ia tak berkewibawaan apapun atas Geredja di Indonesia itu. Sudah kita lihat bahwa pemerintah VOC sama sekali tak meluaskannja dan hampir-hampir tak memberikan suatu kebebasan jang sesungguhnja kepada Geredja di Indonesia. Mereka djuga tidak banjak memperdulikan protes-protes serta peringatan-peringatan jang dikeluarkan oleh synode-synode propinsi di Belanda, jang sekali-sekali mengeluarkan suaranja jang tegas. Tambahan pula, VOC-lah jang menanggung segala ongkos pengeluaran Geredja dan djuga tak mengizinkan bahwa oleh pihak lain, misalnja oleh "ibu-geredja", disediakan wang bagi Geredja di Indonesia. Segala-galanja harus datang dari pihak pemerintah, ja sebenarnjalah ia ingin berkuasa atas segala hal. Namun demikian besar djuga pengaruh rohani dari Geredja di Belanda. Bentuk-bentuk organisasinja, dasar-dasar pengakuan imannja, ketentuan-ketentuan siasat geredjanja, tjorak-tjorak kehidupan geredjanja, dengan sendirinja mendjadi djuga tjontoh dan ukuran di Indonesia. Dan pengaruh ini berlaku seberapa hal itu sesuai dengan maksud-maksud pemerintah serta didalam keadaan-keadaan jang memungkinkannja di Indonesia. Orang tidak menghendaki apapun melainkan supaja Geredja di Indonesia ini dibangun "sesuai dengan aturan djemaat gereformeerd (menurut adjaran Calvin) ditanah air", sebagaimana dinjatakan oleh wakil pemerintah pada sidang am pertama di Djakarta tahun 1642. Dikatakan harus sesuai dengan bentuk Geredja-geredja kalvinis di Belanda, tetapi bagaimanakah harus melaksanakan suatu tata-geredja presbyterial di-daerah-daerah ini? Sebab, bukankah per-tama-tama harus ada djemaat jang berdiri sendiri lengkap dengan madjelis-madjelis geredjanja jang dipilih sendiri, berhak untuk memanggil serta meneguhkan pendeta-pendetanja sendiri, memiliki kebebasan serta kemerdekaan untuk memimpin djemaat-djemaat setempat. Dan selandjutnja, sama seperti ditanah tumpah darah, djemaat-djemaat ini akan digabungkan didalam klasis-klasis, dan klasis-klasis ini didalam suatu badan synodal. Akan tetapi sebenarnja maksud ini gagal di Indonesia. Memang ada terdapat beberapa djemaat, tetapi betapa berdjauhan satu daripada jang lain! Betapa lemahnja, betapa tergantung kepada pendudukan orang-orang Eropa, atas factor-factor di Banda, Kupang, Ternate ataupun Ambon dan tempat-tempat lain! Betapa sukarnja bagi djemaat-djemaat ini untuk membentuk suatu kelompok jang tetap didalam masjarakat jang selalu berubah itu. Dan betapa berdjauhan tinggalnja golongan-golongan, jang terhisab pada djemaat ini. Lagipula, tidaklah dibentuk djemaat Indonesia tersendiri disamping djemaat-djemaat Eropa, sungguhpun sudah barang tentu diadakan kebaktian-kebaktian tersendiri menurut golongan-golongan bahasa. (Di Djakarta misalnja terdapat satu bagian djemaat chusus untuk orang-orang "mardeika" jang berbahasa Portugis dan jang berbahasa Melaju. Di Ambon terdapat satu djemaat, jang didalamnja termasuk djuga djemaat-djemaat kampung dari seluruh pulau itu, ja bahkan dari Saparua dan Haruku). Dengan sendirinja terdapat lebih banjak penatua-penatua serta sjamas-sjamas bangsa Eropa. Bahkan di Djakarta hanja terdapat orang-orang Eropa didalam madjelis geredja. Akan tetapi djuga dimana ada orang-orang Indonesia mendjadi anggota, hampir-hampir mereka tiada bersuara apapun. Perbedaan tingkat dan perbawa demikian besar didalam masjarakat kolonial, sehingga sukar untuk bekerdja-sama setjara menguntungkan. Tambahan pula madjelis-madjelis geredja itu seluruhnja berbahasa Belanda. Orang-orang Kristen Indonesia jang ribuan banjaknja itu sebenarnja tiada bersuara didalamnja, bukannja pertama-tama oleh sebab mereka disendirikan, melainkan oleh sebab dasar-dasar tata-geredja presbyterial dari negeri Belanda tersebut kurang sesuai dalam masjarakat kolonial ini untuk suatu perkembangan jang subur bagi orang-orang Kristen Indonesia.
+
Dan hanya dalam satu hal Gereja di Belanda dapat melaksanakan hak-gerejanya, yaitu bahwa synode-synode provinsi dari Noord-ataupun Zuid-Holland ataupun Zeeland -- artinya provinsi-provinsi pantai yang banyak sangkut-pautnya dengan VOC -- dapat memilih pejabat-pejabat Gereja sendiri, meneguhkannya serta mengutusnya, biarpun memang hal itu terjadi dengan persetujuan tuan-tuan XVII. Akan tetapi jelaslah, bahwa hal ini tidak mempunyai arti apapun bagi pertumbuhan, serta kemerdekaan Gereja-gereja di Indonesia. Ternyata bahwa suatu tata-gereja presbyterial tidak dapat dijalankan begitu saja.
-
Soal lain pula ialah hak untuk memanggil pendeta-pendeta. Bagaimanakah hal itu bisa dilaksanakan sedangkan djarak-djarak jang begitu djauh tidak memungkinkah untuk mengenal dan dapat memilih pendeta jang akan dipanggil itu. Dapatlah dikatakan, bahwa mengingat keadaan-keadaan geografi maka perlu diadakan sematjam pusat pimpinan Geredja. Artinja bahwa hak djemaat untuk memanggil se-tidak-tidaknja harus ditempatkan pada suatu instansi Geredja jang tertinggi. Sebenarnja pemerintah VOC telah merampas begitu sadja hak ini. Biarpun para pendeta dan djuga "ibu-geredja" di Belanda memadjukan keberatan-keberatannja dengan tegas, namun para penguasa di Indonesia tetap berpegang keras pada haknja untuk menempatkan serta memindahkan pendeta-pendeta menurut kebidjaksanaan mereka.
+
Lebih-lebih jika mengingat organisasi Gereja maka hal tadi jelas pula. Bagaimanakah dapat membentuk klasis-klasis sedangkan jarak-jarak antara jemaat yang satu dengan lainnya itu sangat jauh sekali? Bahkan bagaimanakah dapat mengadakan suatu rapat synodal biarpun hanya sekali dalam tiga tahun, sedangkan perjalanan pulang-pergi dari beberapa utusan sekurang-kurangnya memakan waktu setengah tahun! Keadaan-keadaan geografis memang memaksa orang untuk mengurus segala sesuatu dari atas. Dan siapa lagi yang dapat memegang pimpinan selain daripada Jakarta, yaitu jemaat di ibukota yang dekat pada pemerintah? Beralaskan dasar-dasar gereformeerd maka "ibu-gereja" telah melawan tindakan-tindakan itu sekeras-kerasnya. Akan tetapi orang-orang Kristen di Indonesia memang mengerti, bahwa mau tak mau hal itu harus terjadi demikian. Jakarta ialah pusat segala sesuatu. Pemusatan kekuasaan di ibukota mengakibatkan juga suatu pemusatan organisasi Gereja. Jadi maksud untuk menyesuaikan organisasi Gereja di Indonesia dengan Gereja di negeri Belanda boleh dikatakan hampir tidak terlaksana. Pada hakekatnya sia-sialah usaha Ds. Danckaerts yang mencoba untuk menyusun tata gereja baru yang sesuai dengan tata gereja yang ditetapkan oleh synode Dordrekht.
-
Dan hanja dalam satu hal Geredja di Belanda dapat melaksanakan hak-geredjanja, jaitu bahwa synode-synode provinsi dari Noord-ataupun Zuid-Holland ataupun Zeeland - artinja provinsi-provinsi pantai jang banjak sangkut-pautnja dengan VOC - dapat memilih pedjabat-pedjabat Geredja sendiri, meneguhkannja serta mengutusnja, biarpun memang hal itu terdjadi dengan persetudjuan tuan-tuan XVII. Akan tetapi djelaslah, bahwa hal ini tidak mempunjai arti apapun bagi pertumbuhan, serta kemerdekaan Geredja-geredja di Indonesia. Ternjata bahwa suatu tata-geredja presbyterial tidak dapat didjalankan begitu sadja.
+
Lebih mudahlah persoalan mengenai pengakuan dan ajaran Gereja. Ketiga pasal keesaan, ialah pasal-pasal ajaran Synode Dordrekht, pengakuan iman Belanda, dan Katekismus Heidelberg merupakan dasar-dasar yang kuat bagi Gereja di Indonesia pada waktu itu. Tiap "agama" lain tidak diperbolehkan, termasuk tentunya Gereja RK, akan tetapi juga konfesi-konfesi Reformasi yang lain, misalnya Remonstran, Lutheri dsb. Baru pada tahun 1745 Gubernur Jenderal Imhoff membolehkan didirikannya suatu jemaat Lutheri di Jakarta disebabkan adanya pasukan sewaan Jerman. Ajaran diawasi dengan tegas supaya tetap murni dan tidak boleh dinodai. Akan tetapi rupa-rupanya jaranag ada alasan untuk bertengkar tentang perbedaan-bedaan ajaran ataupun untuk menyelidiki ajaran-ajaran sesat. Jadi dalam hal ajaran ada tercapai persesuaian dengan "ibu-gereja". Makanya sejak mulanya diusahakan untuk memperoleh terjemahan-terjemahan dari Katekismus Heidelberg, formulir-formulir tentang baptisan dan perjamuan kudus dsb. Juga terjemahan buku pertanyaan karangan Marnix sejak permulaan memainkan peranan yang penting. VOC telah menerbitkan dan menyiarkan beribu-ribu buku kecil itu.
-
Lebih-lebih djika mengingat organisasi Geredja maka hal tadi djelas pula. Bagaimanakah dapat membentuk klasis-klasis sedangkan djarak-djarak antara djemaat jang satu dengan lainnja itu sangat djauh sekali? Bahkan bagaimanakah dapat mengadakan suatu rapat synodal biarpun hanja sekali dalam tiga tahun, sedangkan perdjalanan pulang-pergi dari beberapa utusan se-kurang-kurangnja memakan waktu setengah tahun! Keadaan-keadaan geografis memang memaksa orang untuk mengurus segala sesuatu dari atas. Dan siapa lagi jang dapat memegang pimpinan selain daripada Djakarta, jaitu djemaat diibu-kota jang dekat pada pemerintah? Beralaskan dasar-dasar gereformeerd maka "ibu-geredja" telah melawan tindakan-tindakan itu se-keras-kerasnja. Akan tetapi orang-orang Kristen di Indonesia memang mengerti, bahwa mau tak mau hal itu harus terdjadi demikian. Djakarta ialah pusat segala sesuatu. Pemusatan kekuasaan diibu-kota mengakibatkan djuga suatu pemusatan organisasi Geredja. Djadi maksud untuk menjesuaikan organisasi Geredja di Indonesia dengan Geredja dinegeri Belanda boleh dikatakan hampir tidak terlaksana. Pada hakekatnja sia-sialah usaha Ds. Danckaerts jang mentjoba untuk menjusun tata-geredja baru jang sesuai dengan tata-geredja jang ditetapkan oleh synode Dordrecht.
+
Sudah barang tentu yang terutama diperlukan ialah terjemahan Alkitab. Dengan kagumnya kita melihat terjadinya terjemahan-terjemahan Alkitab dalam jumlah yang banyak. Pada tahun 1629 keluarlah terjemahan Perjanjian Baru, pada tahun 1648 keempat kitab Injil, pada tahun 1668 seluruh Perjanjian Baru dan kitab Kejadian (Ds. Brouwerius). Pada akhirnya seorang pendeta di Jakarta, yaitu Leydekker menyelesaikan seluruh terjemahan Alkitab sesudah bekerja bertahun-tahun dengan rajinnya. Untuk tugas yang besar dan berat itu ia telah dibebaskan dari pekerjaannya sebagai pendeta. Tetapi pada tahun 1701 meninggallah ia sebelum tugasnya itu selesai. Mulai dari Epesus 6:6 terjemahan itu diteruskan oleh penggantinya, yaitu Ds. P. van der Vorm. Lalu seluruh terjemahan itu diperiksa sekali lagi oleh seorang pendeta Swis, namanya Werndly. Pada tahun 1723 siaplah Alkitab itu untuk dicetak, akan tetapi barulah pada tahun 1733 keluar cetakan yang pertama. Sebenarnya lebih dari dua puluh tahun lamanya naskah-naskah itu disimpan di dalam lemari tuan-tuan XVII. Sebabnya ialah karena mereka menunggu berakhirnya suatu pertikaian yang disebabkan oleh Ds. Valentiyn. Pendeta ini -- di samping pekerjaannya sebagai pendeta dan penulis dari 5 jilid buku "Oud en Nieuw Oost Indië" -- telah menterjemahkan pula Alkitab ke dalam bahasa Melayu Ambon dan mencoba supaya terjemahannya itu yang dicetak dan bukan terjemahan Leydekker. Pendapatnya ialah bahwa bahasa tinggi dari Leydekker itu toh tidak akan dimengerti oleh orang-orang Kristen di Indonesia bagian timur. Akhirnya VOC memberi putusan yang lain, dan justru terjemahan Leydekkerlah seakan-akan memperoleh nilai pusaka di Timur Besar.
-
Lebih mudahlah persoalan mengenai pengakuan dan adjaran Geredja. Ketiga pasal keesaan, ialah pasal-pasal adjaran Synode Dordrecht, pengakuan iman Belanda, dan Katekismus Heidelberg merupakan dasar-dasar jang kuat bagi Geredja di Indonesia pada waktu itu. Tiap "agama" lain tidak diperbolehkan, termasuk tentunja Geredja RK, akan tetapi djuga konfesi-konfesi Reformasi jang lain, misalnja Remonstran, Lutheri dsb. Baru pada tahun 1745 Gubernur Djenderal Imhoff membolehkan didirikannja suatu djemaat Lutheri di Djakarta disebabkan adanja pasukan sewaan Djerman. Adjaran diawasi dengan tegas supaja tetap murni dan tidak boleh dinodai. Akan tetapi rupa-rupanja djaranag ada alasan untuk bertengkar tentang per-bedaan-bedaan adjaran ataupun untuk menjelidiki adjaran-adjaran sesat. Djadi dalam hal adjaran ada tertjapai persesuaian dengan "ibu-geredja". Makanja sedjak mulanja diusahakan untuk memperoleh terdjemahan-terdjemahan dari Katekismus Heidelberg, formulir-formulir tentang baptisan dan perdjamuan kudus dsb. Djuga terdjemahan buku pertanjaan karangan Marnix sedjak permulaan memainkan peranan jang penting. VOC telah menerbitkan dan menjiarkan be-ribu-ribu buku ketjil itu.
+
Sebagaimana "ibu-gereja" hendak menjadi suatu Gereja di bawah Alkitab, demikian juga halnya dengan anaknya di Indonesia. Meskipun begitu agak mengherankan kita, bahwa sesudah seabad berselang barulah diberikannya kepadanya segenap Alkitab. Akan tetapi hal itu tentu disebabkan juga oleh kenyataan, bahwa untuk kebaktian-kebaktian Belanda setidak-tidaknya orang memiliki Alkitab Belanda yang disebut "Statenvertaling". Dan selanjutnya untuk dipergunakan oleh "para guru" ternyata cukuplah buku-buku katekisasi dan terjemahan-terjemahan kitab-kitab Injil yang sudah disebut tadi itu. Dalam hubungan ini patut disebutkan bahwa juga orang-orang Kristen berbahasa Portugis memperoleh Alkitabnya di dalam bahasa Portugis. Malah terdapat tiga terjemahan Perjanjian Baru dalam bahasa Portugis. Tetapi yang diterima dan dicetak di Belanda pada tahun 1681, ialah terjemahan Ferreira (lih. hlm. 51), seorang keturunan Portugis. Terjemahan Perjanjian Lama yang pada tahun 1691 hampir selesai ketika Ferreira meninggal dunia, barulah dicetak pada tahun 1753.
-
Sudah barang tentu jang terutama diperlukan ialah terdjemahan Alkitab. Dengan kagumnja kita melihat terdjadinja terdjemahan-terdjemahan Alkitab dalam djumlah jang banjak. Pada tahun 1629 keluarlah terdjemahan Perdjandjian Baru, pada tahun 1648 keempat kitab Indjil, pada tahun 1668 seluruh Perdjandjian Baru dan kitab Kedjadian (Ds. Brouwerius). Pada achirnja seorang pendeta di Djakarta, jaitu Leydekker menjelesaikan seluruh terdjemahan Alkitab sesudah bekerdja ber-tahun-tahun dengan radjinnja. Untuk tugas jang besar dan berat itu ia telah dibebaskan dari pekerdjaannja sebagai pendeta. Tetapi pada tahun 1701 meninggallah ia sebelum tugasnya itu selesai. Mulai dari Epesus 6:6 terdjemahan itu diteruskan oleh penggantinja, jaitu Ds. P. van der Vorm. Lalu seluruh terdjemahan itu diperiksa sekali lagi oleh seorang pendeta Swis, namanja Werndly. Pada tahun 1723 siaplah Alkitab itu untuk ditjetak, akan tetapi barulah pada tahun 1733 keluar tjetakan jang pertama. Sebenarnya lebih dari dua puluh tahun lamanja naskah-naskah itu disimpan didalam lemari tuan-tuan XVII. Sebabnja ialah karena mereka menunggu berachirnja suatu pertikaian jang disebabkan oleh Ds. Valentijn. Pendeta ini - disamping pekerdjaannja sebagai pendeta dan penulis dari 5 djilid buku "Oud en Nieuw Oost Indië" - telah menterdjemahkan pula Alkitab ke dalam bahasa Melaju Ambon dan mentjoba supaja terdjemahannja itu jang ditjetak dan bukan terdjemahan Leydekker. Pendapatnja ialah bahwa bahasa tinggi dari Leydekker itu toh tidak akan dimengerti oleh orang-orang Kristen di Indonesia bagian timur. Achirnja VOC memberi putusan jang lain, dan djustru terdjemahan Leydekkerlah se-akan-akan memperoleh nilai pusaka di Timur Besar.
+
Persesuaian itu tentunya meliputi juga penggunaan nyanyian-nyanyian mazmur di dalam kebaktian-kebaktian. Pada permulaan abad ke-17 kita jumpai sudah di Banda empat nyanyian gereja yang pertama, yaitu "Kesepuluh firman", "doa Bapa Kami", "Mazmur 100" yang telah digubah dan sebuah "nyanyian malam". Hingga 1652, terutama oleh Heurnius, selesailah dikarang 150 nyanyian mazmur. Kira-kira seabad kemudian jaitu pada tahun 1735 terbitlah suatu terjemahan serta gubahan baru oleh Ds. Werndly. Memang tidaklah mungkin untuk menyesuaikan juga lagunya dengan "ibu-gereja". Sejak tahun 1624 sudah sering diadakan surat-menyurat, bahwa hendaknya ditinggalkan saja "cara Inggris" dalam menyanyikan mazmur-mazmur itu. Sebenarnya "cara Inggris" ini tak ada sangkut pautnya dengan cara pembacaan mazmur di dalam doa pagi dan malam di Gereja Anglikan, dimana seorang juru baca (liturg) dan jemaat berganti-ganti dalam mengucapkan ayat-ayat mazmur. Kesulitan terutama untuk mengucapkan mazmur-mazmur itu sebaris demi sebaris sebelum jemaat menyanyi ialah kurangnya buku-buku nyanyian mazmur dan tidak pandainya kebanyakan orang-orang Kristen Indonesia membacanya.
-
Sebagaimana "ibu-geredja" hendak mendjadi suatu Geredja dibawah Alkitab, demikian djuga halnja dengan anaknja di Indonesia. Meskipun begitu agak mengherankan kita, bahwa sesudah seabad berselang barulah diberikannja kepadanja segenap Alkitab. Akan tetapi hal itu tentu disebabkan djuga oleh kenjataan, bahwa untuk kebaktian-kebaktian Belanda se-tidak-tidaknja orang memiliki Alkitab Belanda jang disebut "Statenvertaling". Dan selandjutnja untuk dipergunakan oleh "para guru" ternjata tjukuplah buku-buku katekisasi dan terdjemahan-terdjemahan kitab-kitab Indjil jang sudah disebut tadi itu. Dalam hubungan ini patut disebutkan bahwa djuga orang-orang Kristen berbahasa Portugis memperoleh Alkitabnja didalam bahasa Portugis. Malah terdapat tiga terdjemahan Perdjandjian Baru dalam bahasa Portugis. Tetapi jang diterima dan ditjetak di Belanda pada tahun 1681, ialah terdjemahan Ferreira (lih. hlm. 51), seorang keturunan Portugis. Terdjemahan Perdjandjian Lama jang pada tahun 1691 hampir selesai ketika Ferreira meninggal dunia, barulah ditjetak pada tahun 1753.
+
Hal yang selanjutnya sesuai ialah bahwa khotbah itu dengan sendirinya merupakan hal yang utama di dalam kebaktian. Memang hanya pendeta-pendeta saja yang boleh mengadakan khotbah. Akan tetapi dalam hal kekurangan pejabat-pejabat yang berwenang maka orang membutuhkan juga para penghibur-orang-sakit dan para guru Indonesia, tetapi yang tidak berhak untuk membuat khotbahnya sendiri. Mereka hanya boleh membacakan khotbah-khotbah saja. Terutama kumpulan-kumpulan khotbah dalam bahasa Melayu karangan Wiltens, Caron dan Molanus, yang beberapa kali dicetak-ulang, yang dipergunakan untuk maksud itu. Malah doa-doa untuk kebaktian-kebaktian tidak diperbolehkan diucapkan secara bebas. Oleh karena itulah maka diterbitkan dalam satu jilid buku katekismus, pasal-pasal keesaan dan doa-doa.
-
Persesuaian itu tentunja meliputi djuga penggunaan njanjian-njanjian mazmur didalam kebaktian-kebaktian. Pada permulaan abad ke-17 kita djumpai sudah di Banda empat njanjian geredja jang pertama, jaitu "Kesepuluh firman", "doa Bapa Kami", "Mazmur 100" jang telah digubah dan sebuah "njanjian malam". Hingga 1652, terutama oleh Heurnius, selesailah dikarang 150 njanjian mazmur. Kira-kira seabad kemudian djaitu pada tahun 1735 terbitlah suatu terdjemahan serta gubahan baru oleh Ds. Werndly. Memang tidaklah mungkin untuk menjesuaikan djuga lagunja dengan "ibu-geredja". Sedjak tahun 1624 sudah sering diadakan surat-menjurat, bahwa hendaknja ditinggalkan sadja "tjara Inggris" dalam menjanjikan mazmur-mazmur itu. Sebenarnja "tjara Inggris" ini tak ada sangkut pautnja dengan tjara pembatjaan mazmur didalam doa pagi dan malam di Geredja Anglikan, dimana seorang djuru batja (liturg) dan djemaat ber-ganti-ganti dalam mengutjapkan ajat-ajat mazmur. Kesulitan terutama untuk mengutjapkan mazmur-mazmur itu sebaris demi sebaris sebelum djemaat menjanji ialah kurangnja buku-buku njanjian mazmur dan tidak pandainja kebanjakan orang-orang Kristen Indonesia membatjanja.
+
Gereja di Belanda selalu mendesak, supaya "Gereja di Indonesia tidak menyimpang dari cara-cara yang berlaku di dalam Gereja kalvinis di negeri Belanda." Dan di dalam tata-gereja 1643 dengan tegas dikatakan: "Perlulah juga, bahwa pengawasan terhadap orang-orang Kristen Indonesia diperkeras, agar supaya merekapun di dalam kebiasaan-kebiasaannya secara lahir sesuai dengan cara-cara orang-orang Belanda." Hal ini dilaksanakan demikian keras sehingga juga diharuskan memakai pakaian-gereja hitam yang diuntukkan bagi para penatua dan syamas-syamas. Bahkan sesuai dengan kebiasaan di Gereja Belanda maka Katekismus juga dikhotbahkan, dan malahan jam Kebaktian Katekismus disesuaikan dengan cara Belanda yaitu jam 3 petang.
-
Hal jang selandjutnja sesuai ialah bahwa chotbah itu dengan sendirinja merupakan hal jang utama didalam kebaktian. Memang hanja pendeta-pendeta sadja jang boleh mengadakan chotbah. Akan tetapi dalam hal kekurangan pedjabat-pedjabat jang berwenang maka orang membutuhkan djuga para penghibur-orang-sakit dan para guru Indonesia, tetapi jang tidak berhak untuk membuat chotbahnja sendiri. Mereka hanja boleh membatjakan chotbah-chotbah sadja. Terutama kumpulan-kumpulan chotbah dalam bahasa Melaju karangan Wiltens, Caron dan Molanus, jang beberapa kali ditjetak-ulang, jang dipergunakan untuk maksud itu. Malah doa-doa untuk kebaktian-kebaktian tidak diperbolehkan diutjapkan setjara bebas. Oleh karena itulah maka diterbitkan dalam satu djilid buku katekismus, pasal-pasal keesaan dan doa-doa.
+
Akan tetapi persesuaian itu tidak dapat dicapai dalam beberapa hal. Terutama dalam soal-soal baptisan dan perjamuan kudus. Dalam soal baptisan misalnya, orang segera menghadapi kesulitan-kesulitan yang tak dapat dipecahkan oleh "ibu-gereja". Pertama-tama orang menghadapi soal, apakah anak-anak boleh dipermandikan jika mereka itu lahir di luar perkawinan yang sah antara seorang Kristen Eropa dengan seorang wanita Indonesia, dan apakah "anak-anak kafir" boleh dipermandikan jika mereka itu menjadi anak-anak angkat dari orang-orang Kristen. Mengenai soal pertama baptisan itu diperbolehkan, jika salah seorang dari orang tua adalah anggota jemaat. Soal kedua lebih sukar jawabannya. Yang disebut anak-anak angkat ialah sebenarnya anak-anak yang lahir dari perhubungan antara seorang Eropa dengan seorang budak perempuan Indonesia. Disebabkan oleh baptisan yang diterimanya maka mereka memperoleh juga hak untuk menjadi warga-negara Belanda. Mengenai soal ini Synode Dordrekht memberi nasehat, untuk membiarkan dulu anak-anak ini lanjut dalam usianya dan mengajar mereka sebaik-baiknya, sebelum mereka dibaptiskan. Akan tetapi kemudiannya menjadi kebiasaan untuk toh membaptiskan anak-anak ini, jika dapat diunjukkan surat keterangan adopsi. Mengenai baptisan untuk anak-anak Indonesia yang ibu bapanya masih berada didalam kekafiran telah dicarikan jalan sendiri oleh "synode am" pertama pada tahun 1620. Diusulkan supaya terhadap anak-anak sedemikian diadakan upacara pemberkatan saja. Kelak apabila mereka sudah dewasa mereka dapat meminta sendiri untuk dibaptiskan sesudah memperoleh didikan dalam kepercayaan Kristen. Akan tetapi kebiasaan "penyerahan" dan "pentahbisan" ini tidak diperbolehkan oleh ibu-gereja Belanda.
-
Geredja di Belanda selalu mendesak, supaja "Geredja di Indonesia tidak menjimpang dari tjara-tjara jang berlaku didalam Geredja kalvinis dinegeri Belanda." Dan didalam tata-geredja 1643 dengan tegas dikatakan: "Perlulah djuga, bahwa pengawasan terhadap orang-orang Kristen Indonesia diperkeras, agar supaja merekapun didalam kebiasaan-kebiasaannja setjara lahir sesuai dengan tjara-tjara orang-orang Belanda." Hal ini dilaksanakan demikian keras sehingga djuga diharuskan memakai pakaian-geredja hitam jang diuntukkan bagi para penatua dan sjamas-sjamas. Bahkan sesuai dengan kebiasaan di Geredja Belanda maka Katekismus djuga dichotbahkan, dan malahan djam Kebaktian Katekismus disesuaikan dengan tjara Belanda jaitu djam 3 petang.
+
Pertanyaan-pertanyaan tadi itu pada hakekatnya sudah menunjukkan ke arah suatu persoalan, yang menjadi sangat penting bagi Gereja di Indonesia dan yang akibat-akibatnya masih nampak di beberapa daerah. Persoalan itu ialah pemisahan sakramen-sakramen. Singkatnya soal itu ialah kalau-kalau mereka yang sudah dibaptisknan itu juga langsung dapat diperbolehkan ikut serta dalam perjamuan kudus ataukah sebelumnya itu mereka harus dahulu mendapat pelajaran yang lebih dalam tentang kepercayaan Kristen. Dengan kata lain: dapatkah sakramen Perjamuan Kudus dipisahkan daripada sakramen Baptisan dengan menyelipkan lagi suatu pengajaran kateksasi di antara kedua sakramen itu? Jadi sebenarnya yang menjadi persoalan ialah baptisan orang dewasa, sedangkan baptisan anak-anak dengan sendirinya diikuti kemudian oleh pelajaran katekisasi, sehingga menjadi sidi dan diperbolehkan duduk pada meja perjamuan Tuhan. Rupa-rupanya persoalah ini sudah terdapat pada zaman Portugis. Para padri memang merasakan betapa sukarnya untuk memperbolehkan begitu saja beribu-ribu orang-orang Kristen, yang kadang-kadang dibaptiskan tanpa memperoleh suatu pengajaran apapun, ikut serta dalam sakramen komuni. Kecuali di Ambon sendiri, dimana oleh pemeliharaan rohani dapat diadakan pengajaran seperlunya, maka pada umumnya seorang yang baru dibaptiskan hampir-hampir tak diperbolehkan mengikuti komuni. Kira-kira keadaan yang serupa itu kita dapati di mana saja ada segolongan bangsa Indonesia menjadi anggota Gereja oleh baptisan massa, tanpa persediaan yang mendalam.
-
Akan tetapi persesuaian itu tidak dapat ditjapai dalam beberapa hal. Terutama dalam soal-soal baptisan dan perdjamuan kudus. Dalam soal baptisan misalnja, orang segera menghadapi kesulitan-kesulitan jang tak dapat dipetjahkan oleh "ibu-geredja". Per-tama-tama orang menghadapi soal, apakah anak-anak boleh dipermandikan djika mereka itu lahir diluar perkawinan jang sah antara seorang Kristen Eropa dengan seorang wanita Indonesia, dan apakah "anak-anak kafir" boleh dipermandikan djika mereka itu mendjadi anak-anak angkat dari orang-orang Kristen. Mengenai soal pertama baptisan itu diperbolehkan, djika salah seorang dari orang tua adalah anggota djemaat. Soal kedua lebih sukar djawabannja. Jang disebut anak-anak angkat ialah sebenarnja anak-anak jang lahir dari perhubungan antara seorang Eropa dengan seorang budak perempuan Indonesia. Disebabkan oleh baptisan jang diterimanja maka mereka memperoleh djuga hak untuk mendjadi warga-negara Belanda. Mengenai soal ini Synode Dordrecht memberi nasehat, untuk membiarkan dulu anak-anak ini landjut dalam usianja dan mengadjar mereka se-baik-baiknja, sebelum mereka dibaptiskan. Akan tetapi kemudiannja mendjadi kebiasaan untuk toh membaptiskan anak-anak ini, djika dapat diundjukkan surat keterangan adopsi. Mengenai baptisan untuk anak-anak Indonesia jang ibu bapanja masih berada didalam kekafiran telah ditjarikan djalan sendiri oleh "synode am" pertama pada tahun 1620. Diusulkan supaja terhadap anak-anak sedemikian diadakan upatjara pemberkatan sadja. Kelak apabila mereka sudah dewasa mereka dapat meminta sendiri untuk dibaptiskan sesudah memperoleh didikan dalam kepertjajaan Kristen. Akan tetapi kebiasaan "penjerahan" dan "pentahbisan" ini tidak diperbolehkan oleh ibu-geredja Belanda.
+
Peraturan Gereja sebelumnya itu jelas. Synode Dordrekht dengan tegas telah menetapkan, bahwa orang-orang dewasa yang telah menjadi anggota Gereja oleh baptisan dewasa, pada kesempatan pertama harus juga duduk pada meja perjamuan. Akan tetapi bagaimanakah hal itu dapat dilaksanakan pada orang banyak, yang pada suatu perkunjungan singkat sering dibaptiskan tanpa diberi pengajaran yang mendalam? Sering juga dilakukan pembaptisan yang serba cepat, sebab dengan demikian para pendeta menyangka dapat menghindarkan orang-orang kafir dari pengaruh Islam. Bahkan untuk mengajak orang-orang lain supaya menganut agama Kristen. "Juga untuk menyatakan betapa senangnya kita, bahwa penduduk-penduduk kita yang beragama kafir dan Islam itu boleh mencari keselamatannya pada Juru Selamat yang satu-satunya yaitu Tuhan Yesus Kristus", maka kepada "tiap-tiap orang bumiputera" yang minta dibaptiskan, diberikan suatu hadiah wang. Pendeta yang membaptiskannyapun menerima semacam "wang murid" dan bahkan sang raja, yang membawa orang-orang kafir itu, mendapat upah. Bagaimanapun juga, cara pembaptisan serba cepat ini terhadap "orang-orang Kristen nasi" itu akan hanya dapat dipertanggung-jawabkan, jika segera dapat dijamin suatu pengajaran dan pemeliharaan rohani yang mencukupi bagi orang-orang yang baru dibaptiskan itu. Tetapi hal ini tak pernah dilaksanakan. Satu-satunya hal yang dilihat oleh orang-orang Kristen ini ialah perkunjungan-perkunjungan yang hanya sekali-sekali diadakan oleh para pendeta dan para penghibur orang sakit, yang jumlahnya hanya sedikit, itupun juga sering bertahun-tahun sesudah baptisan. Karena itu tidaklah mengherankan, bahwa misalnya Ds Brand pada tahun 1705 di Siau sama sekali tidak melayani perjamuan kudus, malah merasa tidak perlu untuk berkhotbah di hadapan sekian banyak orang yang sama sekali bodoh itu. "Diantara 3298 orang yang telah dibaptiskan agaknya tidak ada seorangpun anggota jemaat"! Inilah juga salah satu akibat yang menyedihkan dari praktek baptisan ini bahwa hampir-hampir tidak ada seorangpun yang menjadi anggota tetap di dalam jemaat itu. Misalnya statistik yang berikut memperlihatkan kepada kita keadaan yang menyedihkan itu:
-
 
+
-
Pertanjaan-pertanjaan tadi itu pada hakekatnja sudah menundjukkan kearah suatu persoalan, jang mendjadi sangat penting bagi Geredja di Indonesia dan jang akibat-akibatnja masih nampak dibeberapa daerah. Persoalan itu ialah pemisahan sakramen-sakramen. Singkatnja soal itu ialah kalau-kalau mereka jang sudah dibaptisknan itu djuga langsung dapat diperbolehkan ikut serta dalam perdjamuan kudus ataukah sebelumnja itu mereka harus dahulu mendapat peladjaran jang lebih dalam tentang kepertjajaan Kristen. Dengan kata lain: dapatkah sakramen Perdjamuan Kudus dipisahkan daripada sakramen Baptisan dengan menjelipkan lagi suatu pengadjaran kateksasi diantara kedua sakramen itu? Djadi sebenarnja jang mendjadi persoalan ialah baptisan orang dewasa, sedangkan baptisan anak-anak dengan sendirinja diikuti kemudian oleh peladjaran katekisasi, sehingga mendjadi sidi dan diperbolehkan duduk pada medja perdjamuan Tuhan. Rupa-rupanja persoalah ini sudah terdapat pada zaman Portugis. Para padri memang merasakan betapa sukarnja untuk memperbolehkan begitu sadja be-ribu-ribu orang-orang Kristen, jang kadang-kadang dibaptiskan tanpa memperoleh suatu pengadjaran apapun, ikut serta dalam sakramen komuni. Ketjuali di Ambon sendiri, dimana oleh pemeliharaan rohani dapat diadakan pengadjaran seperlunja, maka pada umumnja seorang jang baru dibaptiskan hampir-hampir tak diperbolehkan mengikuti komuni. Kira-kira keadaan jang serupa itu kita dapati dimana sadja ada segolongan bangsa Indonesia mendjadi anggota Geredja oleh baptisan massa, tanpa persediaan jang mendalam.
+
-
 
+
-
Peraturan Geredja sebelumnja itu djelas. Synode Dordrecht dengan tegas telah menetapkan, bahwa orang-orang dewasa jang telah mendjadi anggota Geredja oleh baptisan dewasa, pada kesempatan pertama harus djuga duduk pada medja perdjamuan. Akan tetapi bagaimanakah hal itu dapat dilaksanakan pada orang banjak, jang pada suatu perkundjungan singkat sering dibaptiskan tanpa diberi pengadjaran jang mendalam? Sering djuga dilakukan pembaptisan jang serba tjepat, sebab dengan demikian para pendeta menjangka dapat menghindarkan orang-orang kafir dari pengaruh Islam. Bahkan untuk mengadjak orang-orang lain supaja menganut agama Kristen. "Djuga untuk menjatakan betapa senangnja kita, bahwa penduduk-penduduk kita jang beragama kafir dan Islam itu boleh mentjari keselamatannja pada Djuru Selamat jang satu-satunja jaitu Tuhan Jesus Kristus", maka kepada "tiap-tiap orang bumiputera" jang minta dibaptiskan, diberikan suatu hadiah wang. Pendeta jang membaptiskannjapun menerima sematjam "wang murid" dan bahkan sang radja, jang membawa orang-orang kafir itu, mendapat upah. Bagaimanapun djuga, tjara pembaptisan serba tjepat ini terhadap "orang-orang Kristen nasi" itu akan hanja dapat dipertanggung-djawabkan, djika segera dapat didjamin suatu pengadjaran dan pemeliharaan rohani jang mentjukupi bagi orang-orang jang baru dibaptiskan itu. Tetapi hal ini tak pernah dilaksanakan. Satu-satunja hal jang dilihat oleh orang-orang Kristen ini ialah perkundjungan-perkundjungan jang hanja sekali-sekali diadakan oleh para pendeta dan para penghibur orang sakit, jang djumlahnja hanja sedikit, itupun djuga sering ber-tahun-tahun sesudah baptisan. Karena itu tidaklah mengherankan, bahwa misalnja Ds Brand pada tahun 1705 di Siau sama sekali tidak melajani perdjamuan kudus, malah merasa tidak perlu untuk berchotbah dihadapan sekian banjak orang jang sama sekali bodoh itu. "Diantara 3298 orang jang telah dibaptiskan agaknja tidak ada seorangpun anggota djemaat"! Inilah djuga salah satu akibat jang menjedihkan dari praktek baptisan ini bahwa hampir-hampir tidak ada seorangpun jang mendjadi anggota tetap didalam djemaat itu. Misalnja statistik jang berikut memperlihatkan kepada kita keadaan jang menjedihkan itu:
+
{| class="wikitable"
{| class="wikitable"
Baris 32: Baris 30:
| class="g" valign="TOP" | '''Tahun'''
| class="g" valign="TOP" | '''Tahun'''
| class="g" valign="TOP" | '''Tempat'''
| class="g" valign="TOP" | '''Tempat'''
-
| class="g" valign="TOP" | '''Djumlah jang <br />dibaptiskan'''
+
| class="g" valign="TOP" | '''Jumlah yang <br />dibaptiskan'''
-
| class="g" valign="TOP" | '''Djumlah jang mendjadi <br />anggota tetap'''
+
| class="g" valign="TOP" | '''Jumlah yang menjadi <br />anggota tetap'''
|- align="CENTER"
|- align="CENTER"
| class="g" valign="top" | 1708
| class="g" valign="top" | 1708
Baris 71: Baris 69:
|}
|}
-
Dan kehidupan rohani apakah jang dapat diharapkan dari suatu Geredja, djika rata-rata hanja 3% dari orang-orang Kristen itu jang diperbolehkan turut serta dalam perdjamuan kudus?! Dalam hal ini timbul kesangsian kita bahwa mereka belum memutuskan keadaannja dahulu jang bersifat kekafiran. Djuga kita menaruh sangsi bahwa tidak terdjadi suatu perhubungan jang sesungguhnja dengan Tuhan Jesus Kristus, bahwa mereka tidak menjadari bahwa mereka merupakan GeredjaNja. Mereka hanjalah "orang-orang Kristen mulut", "orang-orang Kristen tanpa Kristus", orang-orang "Laodikea". Itulah sebutan-sebutan jang sering terbatja didalam laporan-laporan para pendeta. Akan tetapi apa boleh buat? "Didesak oleh ketakutan akan agama Islam, dan oleh pertimbangan bahwa suatu pengkristenan setjara tjepat dan sekali gus adalah tjara bekerdja jang tepat, baik ditindjau dari sudut pekabaran indjil maupun politik", maka praktek sematjam itu diteruskanlah. Dan itu terdjadi walaupun ada suara-suara jang memperingatkan agar supaja lebih ber-hati-hati, seperti jang dapat kita batja didalam tatageredja Ambon 1673 jang bunjinja sebagai berikut: "djuga orang-orang jang sudah dewasa baik jang merdeka maupun jang budak, tidak boleh semudahnja dibawa kepada baptisan......"
+
Dan kehidupan rohani apakah yang dapat diharapkan dari suatu Gereja, jika rata-rata hanya 3% dari orang-orang Kristen itu yang diperbolehkan turut serta dalam perjamuan kudus?! Dalam hal ini timbul kesangsian kita bahwa mereka belum memutuskan keadaannya dahulu yang bersifat kekafiran. Juga kita menaruh sangsi bahwa tidak terjadi suatu perhubungan yang sesungguhnya dengan Tuhan Yesus Kristus, bahwa mereka tidak menyadari bahwa mereka merupakan GerejaNya. Mereka hanyalah "orang-orang Kristen mulut", "orang-orang Kristen tanpa Kristus", orang-orang "Laodikea". Itulah sebutan-sebutan yang sering terbaca di dalam laporan-laporan para pendeta. Akan tetapi apa boleh buat? "Didesak oleh ketakutan akan agama Islam, dan oleh pertimbangan bahwa suatu pengkristenan secara cepat dan sekali gus adalah cara bekerja yang tepat, baik ditinjau dari sudut pekabaran injil maupun politik", maka praktek semacam itu diteruskanlah. Dan itu terjadi walaupun ada suara-suara yang memperingatkan agar supaya lebih berhati-hati, seperti yang dapat kita baca di dalam tatagereja Ambon 1673 yang bunyinya sebagai berikut: "juga orang-orang yang sudah dewasa baik yang merdeka maupun yang budak, tidak boleh semudahnya dibawa kepada baptisan......"
 +
 
 +
Sebenarnya dengan cara bekerja seperti ini maka "pemisahan sakramen" sudah menjadi kenyataan. Bagaimanapun aneh kedengarannya, tetapi di dalam keadaan-keadaan ini maka hal itulah satu-satunya jalan untuk toh masih dapat mempertahankan sedikit taraf kerohanian Gereja. Sebab apakah yang akan terjadi jika orang banyak yang baru dibaptiskan itu diperbolehkan duduk pada meja Tuhan, tanpa kesadaran sedikitpun pada mereka apakah sebenarnya ini kepercayaan mereka dan khusus artinya perjamuan kudus? Jika demikian halnya maka agaknya agama kafir ini begitu saja memperboleh kelanjutannya di dalam agama Kristen. Jadi secara nama saja mereka menjadi Kristen.
-
Sebenarnja dengan tjara bekerdja seperti ini maka "pemisahan sakramen" sudah mendjadi kenjataan. Bagaimanapun aneh kedengarannja, tetapi didalam keadaan-keadaan ini maka hal itulah satu-satunja djalan untuk toh masih dapat mempertahankan sedikit taraf kerohanian Geredja. Sebab apakah jang akan terdjadi djika orang banjak jang baru dibaptiskan itu diperbolehkan duduk pada medja Tuhan, tanpa kesadaran sedikitpun pada mereka apakah sebenarnja ini kepertjajaan mereka dan chusus artinja perdjamuan kudus? Djika demikian halnja maka agaknja agama kafir ini begitu sadja memperboleh kelandjutannja didalam agama Kristen. Djadi setjara nama sadja mereka mendjadi Kristen.
+
Penghormatan besar terhadap perjamuan kudus, disebabkan baru sesudah persediaan dan penyelidikan yang lama seseorang diperbolehkan turut serta setidak-tidaknya telah membangunkan kesadaran, bahwa "agama Kristen" itu tidak begitu saja melebur di dalam agama-agama rakyat. Tak dapatlah disangkal, bahwa pandangan Alkitab tentang sakramen sudah ditinggalkan oleh mereka itu. Pemisahan sakramen-sakramen yang dilakukan itu tak sesuai dengan Alkitab. Akan tetapi selain daripada itu tampaklah akibat-akibat yang tidak dikehendaki ialah pandangan masyarakat terhadap sakramen-sakramen itu. Di dalam masyarakat kafir terdapat suatu upacara keagamaan, dimana para pemuda diterima di dalam lingkungan orang dewasa. Bukankah baptisan itu direndahkan menjadi upacara sedemikian? Pada pihak lain perjamuan kudus memperoleh suatu kedudukan istimewa. Karena itu amat bersifat magi (gaib), dan hanya dicapai oleh mereka yang berhubungan dengan suatu pengajaran yang lama dapat memenuhi tuntutan-tuntutannya secara intelektuil dan yang lantaran itu seolah-olah memperoleh bagian kebaktian yang lebih tinggi. Di dalam suatu suasana, dimana pada hakekatnya magi itu menjalar dan meresap di dalam segala kebiasaan serta perbuatan-perbuatan agama, maka hal ini membawa akibat-akibat yang membahayakan.
-
Penghormatan besar terhadap perdjamuan kudus, disebabkan baru sesudah persediaan dan penjelidikan jang lama seseorang diperbolehkan turut serta se-tidak-tidaknja telah membangunkan kesadaran, bahwa "agama Kristen" itu tidak begitu sadja melebur didalam agama-agama rakjat. Tak dapatlah disangkal, bahwa pandangan Alkitab tentang sakramen sudah ditinggalkan oleh mereka itu. Pemisahan sakramen-sakramen jang dilakukan itu tak sesuai dengan Alkitab. Akan tetapi selain daripada itu tampaklah akibat-akibat jang tidak dikehendaki ialah pandangan masjarakat terhadap sakramen-sakramen itu. Didalam masjarakat kafir terdapat suatu upatjara keagamaan, dimana para pemuda diterima didalam lingkungan orang dewasa. Bukankah baptisan itu direndahkan mendjadi upatjara sedemikian? Pada pihak lain perdjamuan kudus memperoleh suatu kedudukan istimewa. Karena itu amat bersifat magi (gaib), dan hanja ditjapai oleh mereka jang berhubungan dengan suatu pengadjaran jang lama dapat memenuhi tuntutan-tuntutannja setjara intelektuil dan jang lantaran itu se-olah-olah memperoleh bagian kebaktian jang lebih tinggi. Didalam suatu suasana, dimana pada hakekatnja magi itu mendjalar dan meresap didalam segala kebiasaan serta perbuatan-perbuatan agama, maka hal ini membawa akibat-akibat jang membahajakan.
+
Jadi pada satu pihak kita melihat bahwa di dalam banyak "jemaat" di Indonesia pemisahan sakramen-sakramen itu merupakan suatu hal yang tak dapat dielakkan disebabkan oleh praktek-praktek baptisan tersebut. Pada pihak lain di dalam jemaat-jemaat Eropa hal itu disebabkan oleh kemerosotan susila, yang diderita oleh masyarakat Eropa. Sebenarnya banyak orang-orang Eropa hidup bersama-sama dengan budak-budak perempuan mereka ataupun dengan perempuan-perempuan pengasuh rumah mereka. Dari perhubungan-perhubungan inilah anak-anak dilahirkan. Anak-anak ini hanya dapat dibaptiskan, jika ibu-ibunya, kebanyakan masih kafir ataupun Islam, juga dibaptiskan. Akan tetapi sebagai orang-orang dewasa mereka hanya dapat dibaptiskan, jika mereka serentak menjadi anggota-anggota jemaat, jadi juga diperbolehkan merayakan perjamuan kudus. Tetapi hal ini tidak dapat pula dilaksanakan, oleh sebab perkawinan mereka yang tidak sah itu akan menempatkan mereka di bawah siasat Gereja. Jadi persoalannya ialah, kalau-kalau terhadap wanita-wanita ini boleh dilakukan pemisahan sakramen-sakramen dengan pengertian, bahwa wanita-wanita ini dapat menjadi "anggota-anggota baptisan" akan tetapi tidak dapat menjadi anggota-anggota jemaat. Hal itu telah menjadi pokok perdebatan yang lama dan sengit. Terutama seorang pendeta Belanda, dahulunya seorang padri RK yang berpindah kedalam Gereja Belanda serta menjadi VOC di Afrika Selatan, lalu dipecat dari pekerjaannya sebagai pendeta di sana, telah memainkan peranannya yang kurang enak. Namanya ialah Le Boucq. Sayangnya bahwa synode-synode Belanda yang bersangkutan karena pengaruh Le Boucq ini tidak mempunyai pendapat yang sama. Malah sampai dimintakan suatu nasehat theologia dari fakultas theologia di Leiden, yang tentu saja menegaskan bahwa pemisahan sakramen-sakramen secara theologia tidak dapat dipertahankan. Akan tetapi di bawah tekanan keadaan-keadaan maka akhirnya pada tahun 1743 disusunlah suatu resolusi, dimana dinyatakan bahwa terserahlah kepada "setahu hati pendeta" bagaimana ia harus bertindak. Jadi orang menghindarkan suatu ucapan tegas-jelas. Hal ini mengakibatkan bahwa pemisahan sakramen-sakramen masih terus menjalar di beberapa Gereja, berabad-abad lamanya.
-
Djadi pada satu pihak kita melihat bahwa didalam banjak "djemaat" di Indonesia pemisahan sakramen-sakramen itu merupakan suatu hal jang tak dapat dielakkan disebabkan oleh praktek-praktek baptisan tersebut. Pada pihak lain didalam djemaat-djemaat Eropa hal itu disebabkan oleh kemerosotan susila, jang diderita oleh masjarakat Eropa. Sebenarnja banjak orang-orang Eropa hidup ber-sama-sama dengan budak-budak perempuan mereka ataupun dengan perempuan-perempuan pengasuh rumah mereka. Dari perhubungan-perhubungan inilah anak-anak dilahirkan. Anak-anak ini hanja dapat dibaptiskan, djika ibu-ibunja, kebanjakan masih kafir ataupun Islam, djuga dibaptiskan. Akan tetapi sebagai orang-orang dewasa mereka hanja dapat dibaptiskan, djika mereka serentak mendjadi anggota-anggota djemaat, djadi djuga diperbolehkan merajakan perdjamuan kudus. Tetapi hal ini tidak dapat pula dilaksanakan, oleh sebab perkawinan mereka jang tidak sah itu akan menempatkan mereka dibawah siasat Geredja. Djadi persoalannja ialah, kalau-kalau terhadap wanita-wanita ini boleh dilakukan pemisahan sakramen-sakramen dengan pengertian, bahwa wanita-wanita ini dapat mendjadi "anggota-anggota baptisan" akan tetapi tidak dapat mendjadi anggota-anggota djemaat. Hal itu telah mendjadi pokok perdebatan jang lama dan sengit. Terutama seorang pendeta Belanda, dahulunja seorang padri RK jang berpindah kedalam Geredja Belanda serta mendjadi VOC di Afrika Selatan, lalu dipetjat dari pekerdjaannja sebagai pendeta disana, telah memainkan peranannja jang kurang enak. Namanja ialah Le Boucq. Sajangnja bahwa synode-synode Belanda jang bersangkutan karena pengaruh Le Boucq ini tidak mempunjai pendapat jang sama. Malah sampai dimintakan suatu nasehat theologia dari fakultas theologia di Leiden, jang tentu sadja menegaskan bahwa pemisahan sakramen-sakramen setjara theologia tidak dapat dipertahankan. Akan tetapi dibawah tekanan keadaan-keadaan maka achirnja pada tahun 1743 disusunlah suatu resolusi, dimana dinjatakan bahwa terserahlah kepada "setahu hati pendeta" bagaimana ia harus bertindak. Djadi orang menghindarkan suatu utjapan tegas-djelas. Hal ini mengakibatkan bahwa pemisahan sakramen-sakramen masih terus mendjalar dibeberapa Geredja, berabad-abad lamanja.
 
-
{{Sejarah Gereja di Indonesia|footer}}
+
:Catatan: ''dialihaksarakan ke ejaan baru oleh SABDA''
 +
<noinclude>{{Sejarah Gereja di Indonesia|footer}}
 +
{{DISPLAYTITLE:Organisasi, Ajaran, dan Kehidupan Gereja Pada Zaman VOC}}</noinclude>

Revisi terkini pada 14:48, 12 Juli 2011

Sejarah Gereja di Indonesia
Sejarah Alkitab di Indonesia



Tidaklah perlu diuraikan lebih lanjut, bahwa pada zaman ini VOC Gereja di Belandalah yang merupakan ibu-gereja bagi Gereja di Indonesia. Memang sebenarnya ia tak berkewibawaan apapun atas Gereja di Indonesia itu. Sudah kita lihat bahwa pemerintah VOC sama sekali tak meluaskannya dan hampir-hampir tak memberikan suatu kebebasan yang sesungguhnya kepada Gereja di Indonesia. Mereka juga tidak banyak memperdulikan protes-protes serta peringatan-peringatan yang dikeluarkan oleh synode-synode propinsi di Belanda, yang sekali-sekali mengeluarkan suaranya yang tegas. Tambahan pula, VOC-lah yang menanggung segala ongkos pengeluaran Gereja dan juga tak mengizinkan bahwa oleh pihak lain, misalnya oleh "ibu-gereja", disediakan wang bagi Gereja di Indonesia. Segala-galanya harus datang dari pihak pemerintah, ya sebenarnyalah ia ingin berkuasa atas segala hal. Namun demikian besar juga pengaruh rohani dari Gereja di Belanda. Bentuk-bentuk organisasinya, dasar-dasar pengakuan imannya, ketentuan-ketentuan siasat gerejanya, corak-corak kehidupan gerejanya, dengan sendirinya menjadi juga contoh dan ukuran di Indonesia. Dan pengaruh ini berlaku seberapa hal itu sesuai dengan maksud-maksud pemerintah serta di dalam keadaan-keadaan yang memungkinkannya di Indonesia. Orang tidak menghendaki apapun melainkan supaya Gereja di Indonesia ini dibangun "sesuai dengan aturan jemaat gereformeerd (menurut ajaran Calvin) di tanah air", sebagaimana dinyatakan oleh wakil pemerintah pada sidang am pertama di Jakarta tahun 1642. Dikatakan harus sesuai dengan bentuk Gereja-gereja kalvinis di Belanda, tetapi bagaimanakah harus melaksanakan suatu tata-gereja presbyterial di daerah-daerah ini? Sebab, bukankah pertama-tama harus ada jemaat yang berdiri sendiri lengkap dengan majelis-majelis gerejanya yang dipilih sendiri, berhak untuk memanggil serta meneguhkan pendeta-pendetanya sendiri, memiliki kebebasan serta kemerdekaan untuk memimpin jemaat-jemaat setempat. Dan selanjutnya, sama seperti di tanah tumpah darah, jemaat-jemaat ini akan digabungkan di dalam klasis-klasis, dan klasis-klasis ini di dalam suatu badan synodal. Akan tetapi sebenarnya maksud ini gagal di Indonesia. Memang ada terdapat beberapa jemaat, tetapi betapa berjauhan satu daripada yang lain! Betapa lemahnya, betapa tergantung kepada pendudukan orang-orang Eropa, atas faktor-faktor di Banda, Kupang, Ternate ataupun Ambon dan tempat-tempat lain! Betapa sukarnya bagi jemaat-jemaat ini untuk membentuk suatu kelompok yang tetap di dalam masyarakat yang selalu berubah itu. Dan betapa berjauhan tinggalnya golongan-golongan, yang terhisab pada jemaat ini. Lagipula, tidaklah dibentuk jemaat Indonesia tersendiri di samping jemaat-jemaat Eropa, sungguhpun sudah barang tentu diadakan kebaktian-kebaktian tersendiri menurut golongan-golongan bahasa. (Di Jakarta misalnya terdapat satu bagian jemaat khusus untuk orang-orang "mardeika" yang berbahasa Portugis dan yang berbahasa Melayu. Di Ambon terdapat satu jemaat, yang di dalamnya termasuk juga jemaat-jemaat kampung dari seluruh pulau itu, ya bahkan dari Saparua dan Haruku). Dengan sendirinya terdapat lebih banyak penatua-penatua serta syamas-syamas bangsa Eropa. Bahkan di Jakarta hanya terdapat orang-orang Eropa di dalam majelis gereja. Akan tetapi juga dimana ada orang-orang Indonesia menjadi anggota, hampir-hampir mereka tiada bersuara apapun. Perbedaan tingkat dan perbawa demikian besar di dalam masyarakat kolonial, sehingga sukar untuk bekerja-sama secara menguntungkan. Tambahan pula majelis-majelis gereja itu seluruhnya berbahasa Belanda. Orang-orang Kristen Indonesia yang ribuan banyaknya itu sebenarnya tiada bersuara di dalamnya, bukannya pertama-tama oleh sebab mereka disendirikan, melainkan oleh sebab dasar-dasar tata-gereja presbyterial dari negeri Belanda tersebut kurang sesuai dalam masyarakat kolonial ini untuk suatu perkembangan yang subur bagi orang-orang Kristen Indonesia.

Soal lain pula ialah hak untuk memanggil pendeta-pendeta. Bagaimanakah hal itu bisa dilaksanakan sedangkan jarak-jarak yang begitu jauh tidak memungkinkah untuk mengenal dan dapat memilih pendeta yang akan dipanggil itu. Dapatlah dikatakan, bahwa mengingat keadaan-keadaan geografi maka perlu diadakan semacam pusat pimpinan Gereja. Artinya bahwa hak jemaat untuk memanggil setidak-tidaknya harus ditempatkan pada suatu instansi Gereja yang tertinggi. Sebenarnya pemerintah VOC telah merampas begitu saja hak ini. Biarpun para pendeta dan juga "ibu-gereja" di Belanda memajukan keberatan-keberatannya dengan tegas, namun para penguasa di Indonesia tetap berpegang keras pada haknya untuk menempatkan serta memindahkan pendeta-pendeta menurut kebijaksanaan mereka.

Dan hanya dalam satu hal Gereja di Belanda dapat melaksanakan hak-gerejanya, yaitu bahwa synode-synode provinsi dari Noord-ataupun Zuid-Holland ataupun Zeeland -- artinya provinsi-provinsi pantai yang banyak sangkut-pautnya dengan VOC -- dapat memilih pejabat-pejabat Gereja sendiri, meneguhkannya serta mengutusnya, biarpun memang hal itu terjadi dengan persetujuan tuan-tuan XVII. Akan tetapi jelaslah, bahwa hal ini tidak mempunyai arti apapun bagi pertumbuhan, serta kemerdekaan Gereja-gereja di Indonesia. Ternyata bahwa suatu tata-gereja presbyterial tidak dapat dijalankan begitu saja.

Lebih-lebih jika mengingat organisasi Gereja maka hal tadi jelas pula. Bagaimanakah dapat membentuk klasis-klasis sedangkan jarak-jarak antara jemaat yang satu dengan lainnya itu sangat jauh sekali? Bahkan bagaimanakah dapat mengadakan suatu rapat synodal biarpun hanya sekali dalam tiga tahun, sedangkan perjalanan pulang-pergi dari beberapa utusan sekurang-kurangnya memakan waktu setengah tahun! Keadaan-keadaan geografis memang memaksa orang untuk mengurus segala sesuatu dari atas. Dan siapa lagi yang dapat memegang pimpinan selain daripada Jakarta, yaitu jemaat di ibukota yang dekat pada pemerintah? Beralaskan dasar-dasar gereformeerd maka "ibu-gereja" telah melawan tindakan-tindakan itu sekeras-kerasnya. Akan tetapi orang-orang Kristen di Indonesia memang mengerti, bahwa mau tak mau hal itu harus terjadi demikian. Jakarta ialah pusat segala sesuatu. Pemusatan kekuasaan di ibukota mengakibatkan juga suatu pemusatan organisasi Gereja. Jadi maksud untuk menyesuaikan organisasi Gereja di Indonesia dengan Gereja di negeri Belanda boleh dikatakan hampir tidak terlaksana. Pada hakekatnya sia-sialah usaha Ds. Danckaerts yang mencoba untuk menyusun tata gereja baru yang sesuai dengan tata gereja yang ditetapkan oleh synode Dordrekht.

Lebih mudahlah persoalan mengenai pengakuan dan ajaran Gereja. Ketiga pasal keesaan, ialah pasal-pasal ajaran Synode Dordrekht, pengakuan iman Belanda, dan Katekismus Heidelberg merupakan dasar-dasar yang kuat bagi Gereja di Indonesia pada waktu itu. Tiap "agama" lain tidak diperbolehkan, termasuk tentunya Gereja RK, akan tetapi juga konfesi-konfesi Reformasi yang lain, misalnya Remonstran, Lutheri dsb. Baru pada tahun 1745 Gubernur Jenderal Imhoff membolehkan didirikannya suatu jemaat Lutheri di Jakarta disebabkan adanya pasukan sewaan Jerman. Ajaran diawasi dengan tegas supaya tetap murni dan tidak boleh dinodai. Akan tetapi rupa-rupanya jaranag ada alasan untuk bertengkar tentang perbedaan-bedaan ajaran ataupun untuk menyelidiki ajaran-ajaran sesat. Jadi dalam hal ajaran ada tercapai persesuaian dengan "ibu-gereja". Makanya sejak mulanya diusahakan untuk memperoleh terjemahan-terjemahan dari Katekismus Heidelberg, formulir-formulir tentang baptisan dan perjamuan kudus dsb. Juga terjemahan buku pertanyaan karangan Marnix sejak permulaan memainkan peranan yang penting. VOC telah menerbitkan dan menyiarkan beribu-ribu buku kecil itu.

Sudah barang tentu yang terutama diperlukan ialah terjemahan Alkitab. Dengan kagumnya kita melihat terjadinya terjemahan-terjemahan Alkitab dalam jumlah yang banyak. Pada tahun 1629 keluarlah terjemahan Perjanjian Baru, pada tahun 1648 keempat kitab Injil, pada tahun 1668 seluruh Perjanjian Baru dan kitab Kejadian (Ds. Brouwerius). Pada akhirnya seorang pendeta di Jakarta, yaitu Leydekker menyelesaikan seluruh terjemahan Alkitab sesudah bekerja bertahun-tahun dengan rajinnya. Untuk tugas yang besar dan berat itu ia telah dibebaskan dari pekerjaannya sebagai pendeta. Tetapi pada tahun 1701 meninggallah ia sebelum tugasnya itu selesai. Mulai dari Epesus 6:6 terjemahan itu diteruskan oleh penggantinya, yaitu Ds. P. van der Vorm. Lalu seluruh terjemahan itu diperiksa sekali lagi oleh seorang pendeta Swis, namanya Werndly. Pada tahun 1723 siaplah Alkitab itu untuk dicetak, akan tetapi barulah pada tahun 1733 keluar cetakan yang pertama. Sebenarnya lebih dari dua puluh tahun lamanya naskah-naskah itu disimpan di dalam lemari tuan-tuan XVII. Sebabnya ialah karena mereka menunggu berakhirnya suatu pertikaian yang disebabkan oleh Ds. Valentiyn. Pendeta ini -- di samping pekerjaannya sebagai pendeta dan penulis dari 5 jilid buku "Oud en Nieuw Oost Indië" -- telah menterjemahkan pula Alkitab ke dalam bahasa Melayu Ambon dan mencoba supaya terjemahannya itu yang dicetak dan bukan terjemahan Leydekker. Pendapatnya ialah bahwa bahasa tinggi dari Leydekker itu toh tidak akan dimengerti oleh orang-orang Kristen di Indonesia bagian timur. Akhirnya VOC memberi putusan yang lain, dan justru terjemahan Leydekkerlah seakan-akan memperoleh nilai pusaka di Timur Besar.

Sebagaimana "ibu-gereja" hendak menjadi suatu Gereja di bawah Alkitab, demikian juga halnya dengan anaknya di Indonesia. Meskipun begitu agak mengherankan kita, bahwa sesudah seabad berselang barulah diberikannya kepadanya segenap Alkitab. Akan tetapi hal itu tentu disebabkan juga oleh kenyataan, bahwa untuk kebaktian-kebaktian Belanda setidak-tidaknya orang memiliki Alkitab Belanda yang disebut "Statenvertaling". Dan selanjutnya untuk dipergunakan oleh "para guru" ternyata cukuplah buku-buku katekisasi dan terjemahan-terjemahan kitab-kitab Injil yang sudah disebut tadi itu. Dalam hubungan ini patut disebutkan bahwa juga orang-orang Kristen berbahasa Portugis memperoleh Alkitabnya di dalam bahasa Portugis. Malah terdapat tiga terjemahan Perjanjian Baru dalam bahasa Portugis. Tetapi yang diterima dan dicetak di Belanda pada tahun 1681, ialah terjemahan Ferreira (lih. hlm. 51), seorang keturunan Portugis. Terjemahan Perjanjian Lama yang pada tahun 1691 hampir selesai ketika Ferreira meninggal dunia, barulah dicetak pada tahun 1753.

Persesuaian itu tentunya meliputi juga penggunaan nyanyian-nyanyian mazmur di dalam kebaktian-kebaktian. Pada permulaan abad ke-17 kita jumpai sudah di Banda empat nyanyian gereja yang pertama, yaitu "Kesepuluh firman", "doa Bapa Kami", "Mazmur 100" yang telah digubah dan sebuah "nyanyian malam". Hingga 1652, terutama oleh Heurnius, selesailah dikarang 150 nyanyian mazmur. Kira-kira seabad kemudian jaitu pada tahun 1735 terbitlah suatu terjemahan serta gubahan baru oleh Ds. Werndly. Memang tidaklah mungkin untuk menyesuaikan juga lagunya dengan "ibu-gereja". Sejak tahun 1624 sudah sering diadakan surat-menyurat, bahwa hendaknya ditinggalkan saja "cara Inggris" dalam menyanyikan mazmur-mazmur itu. Sebenarnya "cara Inggris" ini tak ada sangkut pautnya dengan cara pembacaan mazmur di dalam doa pagi dan malam di Gereja Anglikan, dimana seorang juru baca (liturg) dan jemaat berganti-ganti dalam mengucapkan ayat-ayat mazmur. Kesulitan terutama untuk mengucapkan mazmur-mazmur itu sebaris demi sebaris sebelum jemaat menyanyi ialah kurangnya buku-buku nyanyian mazmur dan tidak pandainya kebanyakan orang-orang Kristen Indonesia membacanya.

Hal yang selanjutnya sesuai ialah bahwa khotbah itu dengan sendirinya merupakan hal yang utama di dalam kebaktian. Memang hanya pendeta-pendeta saja yang boleh mengadakan khotbah. Akan tetapi dalam hal kekurangan pejabat-pejabat yang berwenang maka orang membutuhkan juga para penghibur-orang-sakit dan para guru Indonesia, tetapi yang tidak berhak untuk membuat khotbahnya sendiri. Mereka hanya boleh membacakan khotbah-khotbah saja. Terutama kumpulan-kumpulan khotbah dalam bahasa Melayu karangan Wiltens, Caron dan Molanus, yang beberapa kali dicetak-ulang, yang dipergunakan untuk maksud itu. Malah doa-doa untuk kebaktian-kebaktian tidak diperbolehkan diucapkan secara bebas. Oleh karena itulah maka diterbitkan dalam satu jilid buku katekismus, pasal-pasal keesaan dan doa-doa.

Gereja di Belanda selalu mendesak, supaya "Gereja di Indonesia tidak menyimpang dari cara-cara yang berlaku di dalam Gereja kalvinis di negeri Belanda." Dan di dalam tata-gereja 1643 dengan tegas dikatakan: "Perlulah juga, bahwa pengawasan terhadap orang-orang Kristen Indonesia diperkeras, agar supaya merekapun di dalam kebiasaan-kebiasaannya secara lahir sesuai dengan cara-cara orang-orang Belanda." Hal ini dilaksanakan demikian keras sehingga juga diharuskan memakai pakaian-gereja hitam yang diuntukkan bagi para penatua dan syamas-syamas. Bahkan sesuai dengan kebiasaan di Gereja Belanda maka Katekismus juga dikhotbahkan, dan malahan jam Kebaktian Katekismus disesuaikan dengan cara Belanda yaitu jam 3 petang.

Akan tetapi persesuaian itu tidak dapat dicapai dalam beberapa hal. Terutama dalam soal-soal baptisan dan perjamuan kudus. Dalam soal baptisan misalnya, orang segera menghadapi kesulitan-kesulitan yang tak dapat dipecahkan oleh "ibu-gereja". Pertama-tama orang menghadapi soal, apakah anak-anak boleh dipermandikan jika mereka itu lahir di luar perkawinan yang sah antara seorang Kristen Eropa dengan seorang wanita Indonesia, dan apakah "anak-anak kafir" boleh dipermandikan jika mereka itu menjadi anak-anak angkat dari orang-orang Kristen. Mengenai soal pertama baptisan itu diperbolehkan, jika salah seorang dari orang tua adalah anggota jemaat. Soal kedua lebih sukar jawabannya. Yang disebut anak-anak angkat ialah sebenarnya anak-anak yang lahir dari perhubungan antara seorang Eropa dengan seorang budak perempuan Indonesia. Disebabkan oleh baptisan yang diterimanya maka mereka memperoleh juga hak untuk menjadi warga-negara Belanda. Mengenai soal ini Synode Dordrekht memberi nasehat, untuk membiarkan dulu anak-anak ini lanjut dalam usianya dan mengajar mereka sebaik-baiknya, sebelum mereka dibaptiskan. Akan tetapi kemudiannya menjadi kebiasaan untuk toh membaptiskan anak-anak ini, jika dapat diunjukkan surat keterangan adopsi. Mengenai baptisan untuk anak-anak Indonesia yang ibu bapanya masih berada didalam kekafiran telah dicarikan jalan sendiri oleh "synode am" pertama pada tahun 1620. Diusulkan supaya terhadap anak-anak sedemikian diadakan upacara pemberkatan saja. Kelak apabila mereka sudah dewasa mereka dapat meminta sendiri untuk dibaptiskan sesudah memperoleh didikan dalam kepercayaan Kristen. Akan tetapi kebiasaan "penyerahan" dan "pentahbisan" ini tidak diperbolehkan oleh ibu-gereja Belanda.

Pertanyaan-pertanyaan tadi itu pada hakekatnya sudah menunjukkan ke arah suatu persoalan, yang menjadi sangat penting bagi Gereja di Indonesia dan yang akibat-akibatnya masih nampak di beberapa daerah. Persoalan itu ialah pemisahan sakramen-sakramen. Singkatnya soal itu ialah kalau-kalau mereka yang sudah dibaptisknan itu juga langsung dapat diperbolehkan ikut serta dalam perjamuan kudus ataukah sebelumnya itu mereka harus dahulu mendapat pelajaran yang lebih dalam tentang kepercayaan Kristen. Dengan kata lain: dapatkah sakramen Perjamuan Kudus dipisahkan daripada sakramen Baptisan dengan menyelipkan lagi suatu pengajaran kateksasi di antara kedua sakramen itu? Jadi sebenarnya yang menjadi persoalan ialah baptisan orang dewasa, sedangkan baptisan anak-anak dengan sendirinya diikuti kemudian oleh pelajaran katekisasi, sehingga menjadi sidi dan diperbolehkan duduk pada meja perjamuan Tuhan. Rupa-rupanya persoalah ini sudah terdapat pada zaman Portugis. Para padri memang merasakan betapa sukarnya untuk memperbolehkan begitu saja beribu-ribu orang-orang Kristen, yang kadang-kadang dibaptiskan tanpa memperoleh suatu pengajaran apapun, ikut serta dalam sakramen komuni. Kecuali di Ambon sendiri, dimana oleh pemeliharaan rohani dapat diadakan pengajaran seperlunya, maka pada umumnya seorang yang baru dibaptiskan hampir-hampir tak diperbolehkan mengikuti komuni. Kira-kira keadaan yang serupa itu kita dapati di mana saja ada segolongan bangsa Indonesia menjadi anggota Gereja oleh baptisan massa, tanpa persediaan yang mendalam.

Peraturan Gereja sebelumnya itu jelas. Synode Dordrekht dengan tegas telah menetapkan, bahwa orang-orang dewasa yang telah menjadi anggota Gereja oleh baptisan dewasa, pada kesempatan pertama harus juga duduk pada meja perjamuan. Akan tetapi bagaimanakah hal itu dapat dilaksanakan pada orang banyak, yang pada suatu perkunjungan singkat sering dibaptiskan tanpa diberi pengajaran yang mendalam? Sering juga dilakukan pembaptisan yang serba cepat, sebab dengan demikian para pendeta menyangka dapat menghindarkan orang-orang kafir dari pengaruh Islam. Bahkan untuk mengajak orang-orang lain supaya menganut agama Kristen. "Juga untuk menyatakan betapa senangnya kita, bahwa penduduk-penduduk kita yang beragama kafir dan Islam itu boleh mencari keselamatannya pada Juru Selamat yang satu-satunya yaitu Tuhan Yesus Kristus", maka kepada "tiap-tiap orang bumiputera" yang minta dibaptiskan, diberikan suatu hadiah wang. Pendeta yang membaptiskannyapun menerima semacam "wang murid" dan bahkan sang raja, yang membawa orang-orang kafir itu, mendapat upah. Bagaimanapun juga, cara pembaptisan serba cepat ini terhadap "orang-orang Kristen nasi" itu akan hanya dapat dipertanggung-jawabkan, jika segera dapat dijamin suatu pengajaran dan pemeliharaan rohani yang mencukupi bagi orang-orang yang baru dibaptiskan itu. Tetapi hal ini tak pernah dilaksanakan. Satu-satunya hal yang dilihat oleh orang-orang Kristen ini ialah perkunjungan-perkunjungan yang hanya sekali-sekali diadakan oleh para pendeta dan para penghibur orang sakit, yang jumlahnya hanya sedikit, itupun juga sering bertahun-tahun sesudah baptisan. Karena itu tidaklah mengherankan, bahwa misalnya Ds Brand pada tahun 1705 di Siau sama sekali tidak melayani perjamuan kudus, malah merasa tidak perlu untuk berkhotbah di hadapan sekian banyak orang yang sama sekali bodoh itu. "Diantara 3298 orang yang telah dibaptiskan agaknya tidak ada seorangpun anggota jemaat"! Inilah juga salah satu akibat yang menyedihkan dari praktek baptisan ini bahwa hampir-hampir tidak ada seorangpun yang menjadi anggota tetap di dalam jemaat itu. Misalnya statistik yang berikut memperlihatkan kepada kita keadaan yang menyedihkan itu:

Tahun Tempat Jumlah yang
dibaptiskan
Jumlah yang menjadi
anggota tetap
1708 di pulau Seram 1132 33
1710 Ternate 432 39
1741 Roti 964 4
1754 Kisar 425 0
1754 Banda 1088 72
1762 Ambon 27311 963
1771 Sangir dan Minahasa 12396 34

Dan kehidupan rohani apakah yang dapat diharapkan dari suatu Gereja, jika rata-rata hanya 3% dari orang-orang Kristen itu yang diperbolehkan turut serta dalam perjamuan kudus?! Dalam hal ini timbul kesangsian kita bahwa mereka belum memutuskan keadaannya dahulu yang bersifat kekafiran. Juga kita menaruh sangsi bahwa tidak terjadi suatu perhubungan yang sesungguhnya dengan Tuhan Yesus Kristus, bahwa mereka tidak menyadari bahwa mereka merupakan GerejaNya. Mereka hanyalah "orang-orang Kristen mulut", "orang-orang Kristen tanpa Kristus", orang-orang "Laodikea". Itulah sebutan-sebutan yang sering terbaca di dalam laporan-laporan para pendeta. Akan tetapi apa boleh buat? "Didesak oleh ketakutan akan agama Islam, dan oleh pertimbangan bahwa suatu pengkristenan secara cepat dan sekali gus adalah cara bekerja yang tepat, baik ditinjau dari sudut pekabaran injil maupun politik", maka praktek semacam itu diteruskanlah. Dan itu terjadi walaupun ada suara-suara yang memperingatkan agar supaya lebih berhati-hati, seperti yang dapat kita baca di dalam tatagereja Ambon 1673 yang bunyinya sebagai berikut: "juga orang-orang yang sudah dewasa baik yang merdeka maupun yang budak, tidak boleh semudahnya dibawa kepada baptisan......"

Sebenarnya dengan cara bekerja seperti ini maka "pemisahan sakramen" sudah menjadi kenyataan. Bagaimanapun aneh kedengarannya, tetapi di dalam keadaan-keadaan ini maka hal itulah satu-satunya jalan untuk toh masih dapat mempertahankan sedikit taraf kerohanian Gereja. Sebab apakah yang akan terjadi jika orang banyak yang baru dibaptiskan itu diperbolehkan duduk pada meja Tuhan, tanpa kesadaran sedikitpun pada mereka apakah sebenarnya ini kepercayaan mereka dan khusus artinya perjamuan kudus? Jika demikian halnya maka agaknya agama kafir ini begitu saja memperboleh kelanjutannya di dalam agama Kristen. Jadi secara nama saja mereka menjadi Kristen.

Penghormatan besar terhadap perjamuan kudus, disebabkan baru sesudah persediaan dan penyelidikan yang lama seseorang diperbolehkan turut serta setidak-tidaknya telah membangunkan kesadaran, bahwa "agama Kristen" itu tidak begitu saja melebur di dalam agama-agama rakyat. Tak dapatlah disangkal, bahwa pandangan Alkitab tentang sakramen sudah ditinggalkan oleh mereka itu. Pemisahan sakramen-sakramen yang dilakukan itu tak sesuai dengan Alkitab. Akan tetapi selain daripada itu tampaklah akibat-akibat yang tidak dikehendaki ialah pandangan masyarakat terhadap sakramen-sakramen itu. Di dalam masyarakat kafir terdapat suatu upacara keagamaan, dimana para pemuda diterima di dalam lingkungan orang dewasa. Bukankah baptisan itu direndahkan menjadi upacara sedemikian? Pada pihak lain perjamuan kudus memperoleh suatu kedudukan istimewa. Karena itu amat bersifat magi (gaib), dan hanya dicapai oleh mereka yang berhubungan dengan suatu pengajaran yang lama dapat memenuhi tuntutan-tuntutannya secara intelektuil dan yang lantaran itu seolah-olah memperoleh bagian kebaktian yang lebih tinggi. Di dalam suatu suasana, dimana pada hakekatnya magi itu menjalar dan meresap di dalam segala kebiasaan serta perbuatan-perbuatan agama, maka hal ini membawa akibat-akibat yang membahayakan.

Jadi pada satu pihak kita melihat bahwa di dalam banyak "jemaat" di Indonesia pemisahan sakramen-sakramen itu merupakan suatu hal yang tak dapat dielakkan disebabkan oleh praktek-praktek baptisan tersebut. Pada pihak lain di dalam jemaat-jemaat Eropa hal itu disebabkan oleh kemerosotan susila, yang diderita oleh masyarakat Eropa. Sebenarnya banyak orang-orang Eropa hidup bersama-sama dengan budak-budak perempuan mereka ataupun dengan perempuan-perempuan pengasuh rumah mereka. Dari perhubungan-perhubungan inilah anak-anak dilahirkan. Anak-anak ini hanya dapat dibaptiskan, jika ibu-ibunya, kebanyakan masih kafir ataupun Islam, juga dibaptiskan. Akan tetapi sebagai orang-orang dewasa mereka hanya dapat dibaptiskan, jika mereka serentak menjadi anggota-anggota jemaat, jadi juga diperbolehkan merayakan perjamuan kudus. Tetapi hal ini tidak dapat pula dilaksanakan, oleh sebab perkawinan mereka yang tidak sah itu akan menempatkan mereka di bawah siasat Gereja. Jadi persoalannya ialah, kalau-kalau terhadap wanita-wanita ini boleh dilakukan pemisahan sakramen-sakramen dengan pengertian, bahwa wanita-wanita ini dapat menjadi "anggota-anggota baptisan" akan tetapi tidak dapat menjadi anggota-anggota jemaat. Hal itu telah menjadi pokok perdebatan yang lama dan sengit. Terutama seorang pendeta Belanda, dahulunya seorang padri RK yang berpindah kedalam Gereja Belanda serta menjadi VOC di Afrika Selatan, lalu dipecat dari pekerjaannya sebagai pendeta di sana, telah memainkan peranannya yang kurang enak. Namanya ialah Le Boucq. Sayangnya bahwa synode-synode Belanda yang bersangkutan karena pengaruh Le Boucq ini tidak mempunyai pendapat yang sama. Malah sampai dimintakan suatu nasehat theologia dari fakultas theologia di Leiden, yang tentu saja menegaskan bahwa pemisahan sakramen-sakramen secara theologia tidak dapat dipertahankan. Akan tetapi di bawah tekanan keadaan-keadaan maka akhirnya pada tahun 1743 disusunlah suatu resolusi, dimana dinyatakan bahwa terserahlah kepada "setahu hati pendeta" bagaimana ia harus bertindak. Jadi orang menghindarkan suatu ucapan tegas-jelas. Hal ini mengakibatkan bahwa pemisahan sakramen-sakramen masih terus menjalar di beberapa Gereja, berabad-abad lamanya.


Catatan: dialihaksarakan ke ejaan baru oleh SABDA
Bibliografi
Artikel ini diambil dari:
Kruger, Dr. Th. Muller. 1966. Sejarah Gereja di Indonesia. Badan Penerbitan Kristen-Djakarta.
kembali ke atas