Tweet
Dari Sejarah Alkitab Indonesia
(←Membuat halaman berisi ''''''' # Ibadah hari Minggu. Dalam Jemaat-jemaat di Jawa ibadah hari Minggu diselenggarakan menurut tradisi lama, seperti yang terjadi dalam abad-abad yang lalu. Unsur ya...') |
k (1 revisi) |
Revisi per 09:00, 5 Mei 2011
'
- Ibadah hari Minggu. Dalam Jemaat-jemaat di Jawa ibadah hari Minggu diselenggarakan menurut tradisi lama, seperti yang terjadi dalam abad-abad yang lalu. Unsur yang paling penting dalam ibadah hari Minggu ialah khotbah. Sesuai dengan sikap G.P.I. terhadap pengakuan-iman, maksud khotbah -- sama seperti pengajaran agama -- dirumuskan secara sangat luas dan umum: "penambahan pengetahuan keagamaan, peningkatan moral Kristen, pemeliharaan ketertiban dan persatuan dan penanaman rasa cinta terhadap Pemerintah dan tanah air". Dari rumusan ini nyata, bahwa dalam khotbah G.P.I. hampir-hampir tidak nampak lagi kerugma Kitab Suci. Ia telah dirobah dan disesuaikan dengan situasi yang baru: khotbah berfungsi sebagai alat untuk mengajarkan nilai-nilai religius dan ethis kepada anggota-anggota G.P.I (**J.L. Ch. Abineno, Liturgische vormen en patronen in de Evangelische Kerk op Timor, 1956, blz. 74.)Sebenarnya yang diutamakan dalam Gereja ini bukan "ajaran", tetapi "hidup". Hal itu sesuai dengan maksud Pemerintah, yaitu supaya anggota-anggota G.P.I. sebagai "gereja-negara" menjadi orang-orang yang baik, artinya: orang-orang yang taat. Maksud ini mau dicapai dengan jalan memberikan pengajaran dalam soal-soal "keagamaan" dan dalam nilai-nilai "yang beradab". Itulah sebabnya, mengapa dalam seluruh "reglemen mengenai pelaksanaan disiplin gerejani" (**Voorschriften, blz. 16-29. Bnd W. van Lingen, De Protestantsche Kerk in Nederlandsch Oost-indië, 1911, blz. 25.) tidak dikatakan apa-apa tentang tindakan-tindakan disiplin terhadap ajaran bidaah, tetapi hanya diingat pelanggaran-pelanggaran di bidang susila dan administratif.Khotbah inilah yang harus disampaikan dalam semua Jemaat G.P.I. Dengan ketat dan secara bersungguh-sungguh "Kerkbestuur" menjaga supaya ketetapan-ketetapan yang mengatur "ibadah-ibadah umum" ditaati dan dijalankan dengan teliti oleh Majelis-majelis Gereja. (**Bnd Van Boetzelaer II, blz. 292.) Dalam Jemaat-jemaat pribumi hal itu ditugaskan kepada pendeta-pendeta-pembantu, yang secara teratur harus memberikan laporan kepada "pendeta-ketua" (**Yang dimaksudkan dengan "pendeta-ketua" ialah pendeta yang pada waktu itu memimpin suatu daerah pelayanan -- Maluku atau Minahasa atau Timor -- dan mengetuai rapat pendeta-pendeta-pembantu yang bekerja di bawah pengawasannya.) Dan "pendeta-ketua" ini berkewajiban untuk menyampaikan pendapatnya kepada "Kerkbestuur" tentang pendeta-pendeta-pembantu yang bekerja di bawah pimpinannya. (**Bnd Van Boetzelaer II, blz. 348.) Dan bersama-sama mereka harus menjaga, supaya "reglemen mengenai pelaksanaan disiplin gerejani dalam Jemaat-jemaat pribumi" dijalankan dengan baik. (**Bnd Van Boetxelaer II, blz. 349.) Oleh semua ketetapan ini diusahakan supaya pekerjaan dalam seluruh G.P.I. berlangsung seefisien dan seuniform mungkin.Ditinjau dari sudut ini kita dapat mengerti, mengapa pendeta-pendeta-sending pertama di Ambon tidak puas dengan khotbah pendeta-pendeta Belanda (= pendeta-pendeta G.P.I.) di situ dan sangat kritis terhadap optimisme dan moralisme yang menguasai khotbah-khotbah itu. (**Joseph Kam, blz. 98 v.)Dalam Jemaat-jemaat di Indonesia-Timur ibadah hari Minggu diselenggarakan juga menurut tradisi lama, dengan khotbah sebagai unsur yang paling penting. Pendeta-pendeta-sending juga mengikuti tradisi itu. Kam umpamanya menulis "khotbah-khotbah dan surat-surat yang bersifat membangun kepada Jemaat-jemaat di sekitar Ambon untuk dibacakan oleh penatua-penatua di dalam ibadah-ibadah". (**Coolsma, a.w., blz. 675.) Le Bruyn juga berbuat demikian untuk Jemaat-jemaat di Timor. (**Coolsma, a.w., blz. 823 v.)Di Sekolah Guru di Ambon, di mana anak-anak muda pribumi dididik untuk menjadi guru (dan pemimpin Jemaat), khotbah-khotbah dibahas dan dijelaskan. Di antara kumpulan-kumpulan khotbah yang ada pada waktu itu, kumpulan khotbah Caron dan Kam paling banyak dipakai. (**L.J. van Rhijn, Reis door den Indischen Archipel, 1851, blz. 480.)Juga bentuk khotbah, yang dipakai pada waktu itu, tidak berbeda dengan bentuk khotbah yang dipakai dalam periode yang lalu. (**Neurdenburg, Geschiedenis, blz. 250.) Bukan saja dalam Jemaat-jemaat besar di kota-kota, juga dalam Jemaat-jemaat desa yang sederhana, Injil harus dibawa dalam bentuk uraian atau pidato. Hal itu a.l. nyata dari instruksi yang pada tahun 1818 diberikan kepada pendeta-sending Hellendoorn dan kawan-kawannya, ketika mereka berangkat ke Indonesia.Dalam instruksi itu a.l. dikatakan, bahwa pendeta-pendeta-sending harus memulai pekerjaan mereka di antara orang-orang kafir "dengan percakapan-percakapan umum, dengan pidato-pidato sederhana, dengan uraian-uraian yang berguna ..........., khususnya pada Hari Tuhan (= hari Minggu). Maksudnya ialah untuk menarik mereka keluar dari kepercayaan yang sia-sia dan tingkah-laku yang buruk, dan memberitakan kepada mereka Agama Kristen yang benar". (**Neurdenburg, Geschiedenis, blz. 218.)Dari Ambon cara dan bentuk khotbah ini kemudian -- oleh guru-guru yang mendapat pendidikan mereka di Sekolah Guru di situ -- disebar-luaskan ke seluruh Indonesia: ke Minahasa, ke Timor, ke Seram, ke pulau-pulau Selatan-Daya, dan lain-lain. (**Van Rhijn, a.w., blz. 304, 361, 482, 556 v; Coolsma, a.w., 680 v.) L.J. van Rihjn, yang sebagai inspektor N.Z.G. mengunjungi Timor pada tahun 1847, katakan, bahwa ibadah, yang ia hadiri dalam salah satu Jemaat kecil di situ, tidak berbeda dengan ibadah-ibadah yang diselenggarakan di Ambon. (**Van Rhijn, a.w., blz. 539.)Bagan ibadah itu seperti berikut: doa (penahbisan) -- nyanyian (dengan tingkahan orkes suling, yang terdiri dari sekumpulan murid sekolah) -- khotbah (dibacakan dari kumpulan khotbah Kam) -- doa -- nyanyian (Mazmur) -- pidato (oleh guru, yang memimpin ibadah) -- nyanyian (akhir) dan berkat (**Van Rhijn, a.w., blz. 500 v. Bnd S. van der Velde van Capellen, Brief over het zendingswerk te Amoerang (dalam: Mededeelingen vanwege het Nederlandsch Zendelinggenootschap), 1858/1859, blz. 321 dan 324, di mana dikatakan tentang pembacaan khotbah Kam dalam ibadah dari Jemaat itu.)Khotbah, seperti yang nyata dari instruksi di atas, mempunyai fungsi pedagogis. Hal itu cocok dengan tujuan N.Z.G., yaitu "bukan saja untuk menerangi dan memperbaiki orang-orang kafir oleh Agama Kristen, tetapi juga untuk membimbing mereka kepada suatu hidup kemasyarakatan yang tertib dan untuk meningkatkan peradaban mereka". (**Neurdenburg, Geschiedenis, blz. 219 (pasal XIII dari instruksi).) Sesuai dengan itu khotbah -- seperti yang antara lain kita temui di Timor -- terdiri dari dua bagian: penjelasan (= "ajaran") dan penetrapan (= "kewajiban"). Maksud penjelasan ialah untuk memimpin anggota-anggota Jemaat ke tingkat perkembangan dan peradaban yang lebih tinggi. Dan maksud penterapan ialah untuk mengajar mereka, bagaimana hal itu dapat mereka capai atas jalan yang sebaik mungkin. (**Hal ini jelas kita lihat dalam karya G. Heijmering, Akan pergi masokh Grejdja, sawatu pengadjaran bagi awrang-awrang jang kurang tahu, pada berbowat itu dengan kesukaan dan akan berawleh kagunaan deri padanya itu (Timor-Kupang), 1838.)Dan wahana yang paling baik untuk itu ialah, menurut pendeta-pendeta sending, bahasa Belanda. Separuh dari mereka begitu fanatik mempertahankan anggapan ini, sehingga bahasa-bahasa daerah (dan Melayu) mereka mau tiadakan. Dalam laporannya kepada N.Z.G. Ulfers (**S. Ulfers, Verslag over het jaar 1858 (dalam: Mededeelingen vanwege het Nederlandsch Zendelinggenootscap), 1859, blz. 27-33), salah satu dari pendeta-pendeta-sending ini menulis, bahwa menurut keyakinannya hanya bahasa Belanda -- sebagai bahasa kebudayaan -- yang mampu "membawa penerangan yang essensiil dan peradaban yang fundamentil" kepada bangsa-bangsa kafir dan "membebaskan mereka untuk selama-lamanya dari kuasa kegelapan". Ia akui, bahwa bahasa Melayu sebagai bahasa pribumi bisa menjelaskan kepada orang-orang Indonesia pikiran-pikiran dan ide-ide yang belum mereka kenal, tetapi kesulitannya ialah : "dalam bahasa Melayu tidak ada kata-kata yang kita butuhkan untuk memimpin manusia kepada pengertian-pengertian yang lebih tinggi, seperti yang terdapat dalam bahasa Belanda". Itulah sebabnya Van der Velde van Capellen (**J.C. Neurdenburg, Van welke taal moeten de zendelingen in de Minahasa en in de Molukken zich bij de verkondiging des Evangelies bedienen? (dalam: Mededeelingen vanwege het Nederlandsch Zendelinggenootschap), 1858/1859, blz. 45 vv) sangat menyesal, bahwa "dahulu bahasa Belanda tidak segera dipakai di Ambon dan kemudian di Minahasa, ketika Agama Kristen dibawa-masuk ke daerah-daerah itu. Betapa sayangnya hal itu untuk peradaban!", katanya. Bahasa-bahasa daerah, menurut dia, tidak penting. Untuk kesatuan di seluruh Indonesia bahasa-bahasa itu harus ditiadakan! Bleeker (**P. Bleeker, Reis door de Minahasa en den Molukschen Archipel, I, 1856, blz. 81 v) berjalan setapak lebih jauh. Ia bukan saja menghendaki pemakaian bahasa Belanda dalam Gereja, tetapi juga kesamaan antara orang-orang Indonesia dan orang-orang Belanda: "Semakin banyak rakyat-rakyat di Indonesia kita samakan dengan diri kita sendiri, semakin besar kekuatan kita di Indonesia. Kesamaan pakaian, kebiasaan dan agama telah membawa kita lebih dekat kepada orang-orang Arafuru dan orang-orang Arafuru kepada kita. Yang masih kurang ialah kesamaan bahasa, unsur Belanda yang sesungguhnya untuk menyempurnakan kesamaan itu".Tetapi kebanyakan pendeta-pendeta-sending tetap setia kepada instruksi N.Z.G. yaitu, bahwa "mereka pertama-tama harus berusaha menguasai bahasa dari daerah, di mana mereka bekerja, dan mengetahui adat dan kebiasaan dari penduduk daerah itu". (**Neurdenburg, Geschiedenis, blz. 219 (pasal VII dari instruksi 1826).) Sungguhpun demikian penguasaan bahasa-bahasa daerah umumnya terbatas pada bahasa Melayu. Juga Schwarz dan Riedel, dua dari sedikit pendeta-pendeta-sending yang telah mempelajari bahasa-bahasa daerah (di Minahasa), selalu memakai bahasa Melayu dalam ibadah. Bahasa daerah mereka hanya pakai pada akhir khotbah mereka sebagai alat untuk dengan singkat merangkumkan sekali lagi apa yang mereka katakan bagi anggota-anggota Jemaat yang tidak dapat mengikuti khotbah mereka.Hal ini bukan hanya terjadi di Minahasa, tetapi juga di Timor dan di pulau-pulau lain. Bahasa-bahasa daerah dianggap "kasar dan primitif" dan karena itu "sangat sulit dipelajari". (**Van Rhijn, a.w., blz. 524, 537. Bnd G.J.H. le Grand, De zending op Rote (dalam: mededeelingen vanwege het Nederlandsch Zendelinggenootschap), 1900, blz. 365.) Gunanya bahasa-bahasa daerah memang diakui (**Bnd S. Huisingh, Uit het verslag van eene bezoekreis op Savoe (dalam: Mededeelingen vanwege het Nederlandsch Zendelinggenootschap), 1895.), malahan Pemerintah sendiri menghendaki, supaya di samping bahasa Melayu, pengajaran di sekolah-sekolah diberikan juga dalam bahasa-bahasa daerah (**W.M. Donselaar, Gemeenten en scholen op Timor (1870), (dalam: Mendedeelingen vanwege het Nederlandsch Zendelinggenootschap), 1871, blz. 370.), tetapi hal itu tidak pernah terjadi. Sama seperti di Ambon dan di Minahasa, demikian pula di Timor bahasa Melayu menjadi bahasa resmi dari Gereja dan sekolah, dengan hasil yang sama -- hasil yang mengecewakan --, yaitu bahwa ibadah-ibadah Jemaat makin lama makin kurang dikunjungi. (**Coolsma, a.w., blz. 828 dan Le Grand, a.w., blz. 373.)'
- Ibadah-doa. Dalam Jemaat-jemaat di Jawa kebiasaan untuk menyelenggarakan ibadah-ibadah-doa, di samping ibadah-ibadah hari Minggu, terus diikuti dan dijalankan dalam Jemaat-jemaat pribumi, sekalipun dalam bentuk yang agak berbeda. Ibadah-ibadah-doa umumnya dipimpin oleh pendeta atau oleh pembantunya: biasanya seorang guru pribumi. Dalam ibadah-ibadah itu doa -- khususnya doa pengucapan-syukur -- memainkan peranan yang penting.Tetapi isinya tidak banyak berbeda dengan isi doa yang telah kita kenal dalam abad-abad yang lalu. Ia hampir seluruhnya dikuasai oleh renungan, yang diucapkan oleh pendeta atau pembantunya pada waktu itu. Kadang-kadang ia malahan merupakan ulangan atau rangkuman pendek daripadanya. (**Abineno, a.w., blz. 76.)Sesuai dengan azas dan tujuan N.Z.G., dalam Jemaat-jemaat di Indonesia-Timor tidak ada peraturan-peraturan untuk ibadah-doa. Bentuk dan cara penyelenggaraan ibadah-ibadah-doa itu berlain-lainan. Di Ambon umpamanya ibadah-ibadah-doa diadakan tiap-tiap Minggu pada hari Rabu-malam (untuk Jemaat yang berbahasa Belanda) dan pada Sabtu-malam (untuk Jemaat yang berbahasa Melayu). Ibadah-doa yang terakhir ini -- pada Sabtu-malam -- lebih banyak menyerupai suatu katekisasi umum, di mana pendeta dari atas mimbar mengajukan pertanyaan dan anggota-anggota Jemaat mendapat kesempatan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. (**Joseph Kam, blz. 99.) Di Minahasa ibadah-ibadah-doa ini banyak diadakan di desa-desa -- "kumpulan-kumpulan kampung" -- di bawah pimpinan guru-guru pribumi. Berhubung dengan sangat sederhananya pendidikan guru-guru itu, mutu ibadah-ibadah-doa yang mereka pimpin umumnya agak rendah, sehingga ada anggota Jemaat yang mengantuk dan tertidur, selama ibadah-doa itu berlangsung. (**A.R. Wallace, The Malay Archipelago, 1886, p. 253.)Menurut Graafland, "kumpulan-kumpulan kampung" itu kadang-kadang malahan disalah-gunakan untuk kepentingan sendiri. (**Hal ini terjadi juga di tempat-tempat lain. Bnd Heijmering, k.t., hal 7 dyb, 16.) Sungguhpun demikian hal itu tidak mengurangi pengaruhnya yang baik atas hidup banyak anggota Jemaat. (**Minahasa, II, blz. 135 v.)Selain daripada "kumpulan-kumpulan kampung" itu, di berbagai tempat diadakan juga ibadah-ibadah doa bulanan. Maksud ibadah-ibadah-doa bulanan ini ialah bukan saja untuk "mendengarkan kata-kata nasihat" dari pemimpin-pemimpin Jemaat dan "dorongan ke arah suatu hidup yang suci dan kesadaran untuk memberitakan Injil kepada orang-orang yang masih berada di dalam kegelapan", tetapi juga untuk "mempersembahkan doa kepada Tuhan ... dan korban (= pemberian) untuk pekerjaan pekabaran-injil". (**Minahasa, II, blz. 140.) Bukan saja di Ambon dan di Minahasa, juga di Timor terdapat ibadah-ibadah-doa bulanan yang demikian."Di sini (= di Kupang) tiap-tiap bulan diselenggarakan suatu ibadah-doa umum, di mana disampaikan berita tentang situasi dan perkembangan Agama Kristen di dunia. Juga residen kadang-kadang hadir di situ sebagai pembicara. Ibadah-doa itu diadakan pada hari Minggu-malam (yang bertepatan dengan terang bulang)". (**W.M. Donselaar, Het Inlandsche Christendom en Schoolvezen op Timor in 1862 (dalam: Mededeelingen vanwege het Nederlandsch Zendelinggenootschap), 1864, blz. 48. Kemudian ibadah-ibadah-doa ini diadakan juga di Jemaat-jemaat lain, khususnya pada permulaan tahun, dan pada waktu menanam dan menuai (= panen).)'
- Ibadah pelayanan baptisan. Sama seperti terhadap khotbah (= pemberitaan Firman), demikian pula terhadap baptisan dan perjamuan Jemaat-jemaat G.P.I. di Jawa mempunyai anggapan yang luas. Resmi sekramen-sekramen Gereja sekarang disebut "upacara-upacara keagamaan". (**Voorschriften, blz. 124.) Tentang baptisan kita membaca:"Pelayanan baptisan yang kudus dipimpin oleh pendeta-pendeta, tanpa membedakan dan tanpa memperhatikan, apakah orang-tua anak-anak tergolong pada Jemaat Hervormd atau pada Jemaat Lutheran atau pada Jemaat Protestan. Baptisan di rumah-rumah hanya diizinkan sebagai suatu kecualian". (Peraturan-peraturan ini -- tentang baptisan, perjamuan, dan lain-lain -- sebenarnya hanya berlaku untuk Jemaat di Betawi, tetapi karena posisi, yang diperoleh Jemaat ini sejak V.O.C., rupanya dianggap wajar untuk mengikutinya juga di seluruh Indonesia.)Maksud ketentuan ini jelas: tiap-tiap anak Protestan dapat dan boleh dibaptis. Untuk itu orang-tua dan saksi mereka tidak usah memenuhi kewajiban-kewajiban khusus. Satu-satunya syarat ialah bahwa mereka harus beragama Protestan. Tetapi dalam praktik syarat ini tidak diperhatikan. Siapa saja dibaptis, asal ia mempunyai saksi. (**Anak-anak, yang dilahirkan di "luar nikah" dibaptis tersendiri: bukan pada hari Minggu, tetapi pada hari Senen. Bnd L. Knappert, Twee bezoekreizen in den Oostelijken Nederlandsch-Indischen Archipel (dalam: Nederlandsch Archief voor Kerkgeschiedenis), 1927, blz. 99.) Bukan saja terhadap baptisan, juga terhadap pelayanan baptisan tidak ada peraturan-peraturan tertentu. Tetapi karena kebanyakan pendeta G.P.I. berasal dari Gereja Hervormd di Belanda, kebiasaan-kebiasaan Gereja inilah yang diikuti. Jadi tradisi lama dilanjutkan lagi di sini pelayanan baptisan berlangsung menurut formulir Hervormd.Untuk Jemaat-jemaat pribumi hal itu berarti: mempertahankan ketidak-tahuan anggota-anggotanya mengenai arti baptisan dan menambah anggapan magis, yang telah berabad-abad lamanya mereka punyai, tentang sakramen ini. Hal itu, seperti yang dikatakan oleh Enklaar (**I.H. Enklaar, De scheiding der sacramenten op het zendingsveld, 1947. Hal ini berlaku juga bagi baptisan orang dewasa.) terjadi, bukan saja karena formulir Hervormd itu asing bagi mereka, tetapi juga karena ia terlampau sukar dan berat bagi mereka.Dalam peraturan di atas, diambil-alih ketetapan lama yang mengatakan, bahwa pelayanan baptisan harus selalu berlangsung di dalam "ibadah-ibadah umum". Baptisan di rumah-rumah hanya diizinkan sebagai suatu kecualian. Tetapi sama seperti dalam periode yang lalu -- periode V.O.C. -- demikian pula dalam periode ini ketetapan itu tidak selalu ditaati.Sebab tiap-tiap kali ada orang-tua yang datang kepada pendetanya dan -- dengan rupa-rupa alasan -- meminta, supaya anak mereka yang sedang sakit atau yang hampir meninggal, dibaptis. (**Bnd Van Lingen, a.w., blz. 39 v.) Dengan jalan itu baptisan di rumah-rumah, sekalipun dilarang, terus merupakan pelayanan yang sering dilakukan.Dalam Jemaat-jemaat di Indonesia-Timur pelayanan baptisan sama seperti yang terdapat dalam Jemaat-jemaat lain di Jawa, tetapi tanpa pemakaian formulir. (**N. Graafland, Wat is waarheid ten aanzien van de zending in de Minahasa, 1866, blz. 86-89. Bnd H. Rooker, De Gemeenten aan het zeestrand van Tomohon in 1858 en 1859 (dalam: Mededeelingen vanwege het Nederlandsch Zendelinggenootschap), 1861, blz. 172.) Sebagai gantinya pelayan (= pendeta-sending) mengucapkan suatu pidato pendek di muka Jemaat. Kita lihat, betapa besarnya peranan, yang dimainkan "pengajaran", dalam pekerjaan N.Z.G. Juga dalam pelayanan sakramen, ia tidak dapat ditiadakan.Juga di Indonesia-Timur tidak ada syarat-syarat yang berat untuk baptisan. Tiap-tiap tahun Kam -- dalam kunjungannya ke berbagai pulau di Indonesia-Timur -- membaptis ratusan, ya ribuan orang, baik anak-anak kecil, maupun orang-orang dewasa tanpa sesuatu pemeriksaan. (**Joseph Kam, blz. 101, 179.) Bukan saja Kam, pendeta-pendeta-sending yang lain juga berbuat demikian. Hampir di semua daerah dan pulau terdapat praktik baptisan secara massal. Salah satu contoh dari hal ini ialah Tonsea dan Sawangan di Minahasa, di mana terjadi perpindahan secara besar-besaran dari agama kafir ke agama Kristen, dengan akibat yang tidak begitu menggembirakan. (**Minahasa, II, blz. 215-220.)Baptisan, secara tradisionil, dilayani dengan percikan, baik pada anak-anak kecil, maupun pada orang-orang dewasa. Dari sumber-sumber yang ada tidak nyata, bahwa pada waktu itu pernah dipertimbangkan kemungkinan untuk memakai cara lain, umpamanya cara penyelaman, yang bukan saja lebih mudah diterapkan di Indonesia, tetapi juga lebih mengiaskan baptisan sebagai kematian karena dosa dan kebangkitan untuk suatu hidup yang baru (bnd antara lain Rm 6). Suatu hal yang paling kurang kita harapkan dari pendeta-pendeta-sending N.Z.G.! (**Abineno, a.w., blz.114 v., 129 v.)'
- Ibadah perayaan perjamuan. Keadaan perjamuan dan perayaan perjamuan dalam Jemaat-jemaat G.P.I. di Jawa dalam periode ini, lebih "menyeramkan" daripada keadaan baptisan dan pelayanan baptisan, seperti yang kita lukiskan di atas. Perjamuan tidak berfungsi lagi sebagai pemberitaan tentang karya-penyelamatan Allah dalam Yesus Kristus, tetapi sebagai perjamuan sakral dan magis, yang ditakuti. (**Bnd A.M. Brouwer, Hoe te prediken voor Heiden en Mohammedaan, 1936, blz. 375-378.) Sebab dari keadaan ini banyak. Tetapi salah satu yang terpenting di antaranya ialah formulir perjamuan yang dipakai: sama seperti formulir baptisan, demikian pula formulir ini bukan saja asing bagi anggota-anggota Jemaat, tetapi juga sangat berat dan sangat sulit dimengerti. Oleh formulir itu "hampir-hampir tidak mungkin terjadi suatu konfrontasi yang essensiil dari iman Kristen dengan pikiran-pikiran dan anggapan-anggapan kafir pada waktu itu". (**J.H. Bavinck, De Zending (dalam: Cultuurgeschiedenis van het Christendom), 1951, blz. 363.) Dengan demikian pikiran-pikiran dan anggapan-anggapan kafir itu -- tanpa halangan yang berarti -- terus hidup dalam Jemaat-jemaat dengan akibat, bahwa perjamuan malam makin lama makin ditarik masuk ke dalam suasana rituil kafir.Karena itu sangat disayangkan, bahwa juga dalam periode ini "hak untuk melayani sakremen" dibatasi pada suatu jumlah kecil pejabat Gereja, yaitu pada pendeta-pendeta Belanda dan beberapa orang pembantu pribumi. Hal ini yang turut menyebabkan, sehingga perayaan perjamuan, terutama dalam Jemaat-jemaat kecil yang terpencil letaknya, sangat sporadis diadakan dengan akibat bahwa anggapan magis tentang sakramen ini makin subur bertumbuh. (**Abineno, a.w., blz. 81.)Di atas kita katakan, bahwa baptisan dalam Jemaat-jemaat di Indonesia-Timur dilayani tanpa formulir. Demikian pula dengan perjamuan. Ganti formulir pelayan (= pendeta-sending) -- dalam perayaannya -- mengucapkan suatu pidato pendek di muka Jemaat. Bukan saja dalam pelayanan Firman, juga dalam pelayanan sakramen "pengajaran" tidak boleh diabaikan. Malahan sebaliknya: untuk membuat pelayanan itu berlangsung secara lebih effektif, dalam beberapa Jemaat di Indonesia-Timur penatua-penatua Jemaat mendapat kesempatan untuk mengucapkan juga pidato yang demikian. Yang menarik ialah, bahwa pidato-pidato itu bukan saja dimaksudkan sebagai "kesaksian", tetapi rupanya dianggap juga oleh pendeta-pendeta-sending sebagai suatu "ujian rohani". Hal itu nyata antara lain dari apa yang Graafland katakan tentang pidato anggota-anggota Jemaat:"Sebagai orang-orang Kristen yang baru mulai berkembang, mereka belum banyak dapat menceritakan tentang pengalaman bathiniah (!) mereka. Untuk itu perlu suatu tingkat perkembangan yang lebih tinggi dan hal itu belum dapat kita harapkan dari suatu bangsa, yang baru memulai langkah-langkahnya yang pertama di jalan perkembangan Kristen ...... Kalau mereka telah tiba ke dalam arti rohani yang lebih dalam dan kepada hakekat Agama Kristen, barulah mereka akan mampu mengungkapkan pengalaman bathiniah mereka secara terang dan jelas. (**Graafland, a.w., blz. 86 vv.)Dengan jalan demikian di samping khotbah (= pemberitaan Firman) dan doa, baptisan dan perjamuan juga dimasukkan ke dalam rencana pekabaran-injil dan peradaban N.Z.G., yaitu "bukan saja memberitakan Agama Kristen yang benar kepada orang-orang kafir, tetapi membawa juga -- sebagai suatu bagian yang essensiil daripadanya -- peradaban kepada mereka".Kita tidak tahu benar, apakah maksud N.Z.G. dengan rencana ini ialah, bahwa anggapan magis dari anggota-anggota Jemaat itu akhirnya akan hilang dengan sendirinya, kalau mereka telah berkembang menjadi orang-orang yang pandai dan beradab. Tetapi -- lepas dari keberatan-keberatan yang kita ajukan di atas mengenai rencana ini -- kita bertanya: Mungkinkah hal itu bisa tercapai, kalau baptisan dengan mudah saja dilayani, padahal perayaan perjamuan dipagari dengan rupa-rupa larangan dan pantangan, seperti yang terjadi di Ambon dan di tempat-tempat lain? Hal ini rupanya tidak merupakan persoalan bagi pendeta-pendeta-sending pada waktu itu. (**Joseph Kam, blz. 102.)'
- Ibadah penahbisan pejabat-pejabat. Sesuai dengan organisasinya sebagai "gereja-negara", G.P.I. mengenal bermacam-macam pejabat: pendeta, pendeta-pembantu (dan kemudian) pendeta pribumi atau pengajar pribumi. Penahbisan mereka, sesuai dengan kebiasaan dalam Gereja ini, ditetapkan secara reglementer: pendeta-pendeta oleh "Haagsche Commissie" (**Van Boetzalaer II, blz. 285. Juga mereka, yang pernah ditahbis sebagai pendeta dan yang pernah bekerja di suatu Jemaat, harus "ditahbis" sekali lagi, kalau mereka mau pergi bekerja di Indonesia.), pendeta-pendeta-pembantu oleh "Kerkbestuur" di Betawi (**Voorschriften, blz. 83 v.) dan pendeta-pendeta pribumi (= pengajar-pengajar pribumi) oleh pendeta-pendeta pembantu (**Voorschriften, blz. 91.), dengan penumpangan tangan. Penahbisan ini -- sama seperti penahbisan penatua-penatua dan diaken-diaken (**Mula-mula hal ini hanya berlaku bagi Jemaat-jemaat Belanda. Baru kemudian Jemaat-jemaat pribumi mempunyai Majelis Jemaat sendiri.) -- dilakukan menurut formulir yang diambil-alih dari Gereja Hervormd di Belanda.Pendeta-pendeta-sending, yang bekerja di Indonesia-Timur, tidak tergolong pada pejabat-pejabat ini. Mereka tidak ditahbis di Indonesia. Menurut ketetapan, yang berlaku pada waktu itu, mereka dengan resmi "diutus" dalam suatu kebaktian, sebelum mereka meninggalkan negeri Belanda. (**Bnd Handelingen in de buitengewone vergadering der directeuren van het Nederlandsch Zendelinggenootschap te Rotterdam, gehouden den 10 Augustus 1803 en volgende dagen (dalam: Stukken behorende tot de handelingen van het N.Z.G.), z.j., blz. 11.) Di Indonesia mereka hanya "diperkenalkan kepada Jemaat" oleh seorang rekan mereka. (**J.N. Wiersma, Uit mijn werkkring (dalam: Mededeelingen vanwege het Nederlandsch Zendelinggenootschap), 1866, blz.2 v.)Pada pertengahan abad ke-XIX terjadi suatu perobahan dalam kebijaksanaan N.Z.G. terhadap hidup, pelayanan dan peribadahan Jemaat-jemaat di Indonesia. Perobahan kebijaksanaan itu, seperti yang nyata dari "surat umum" N.Z.G. kepada pendeta-pendeta-sendingnya (**Uittreksel van den algemeenen brief van Bestuurders van het Nederlandsch Zendelinggenootschap aan zijne zendelingen, naar aanleideng van de inspectie geschreven (dikutip: Algemeene brief), 1857, blz. 259-267.), adalah akibat dari kunjungan ispeksi, yang Van Rhijn, atas nama N.Z.G. adakan (pada tahun 1847-1848) kepada Jemaat-jemaat itu. Isi perobahan kebijaksanaan itu ialah permintaan, supaya pertumbuhan Jemaat-jemaat di Indonesia dipergiat, agar Jemaat-jemaat itu dapat berdiri sendiri. Sebagai salah satu alat untuk itu N.Z.G. sebut "penggunaan suatu tatagereja" yang memuat hal-hal yang berikut. Pertama: pembentukan Majelis-majelis Gereja, yang terdiri dari penatua-penatua dan diaken-diaken. Kedua: pemakaian suatu liturgi yang cocok dengan sifat dan kebiasaan orang-orang Indonesia.Tentang yang kedua ini N.Z.G. a.l. menulis: "Sudah sejak dahulu (= waktu purba) Jemaat-jemaat Kristen mempunyai bentuk-bentuk ibadah, doa, puji-pujian, dan lain-lain, yang tetap. Juga bagi Jemaat-jemaat kita di Indonesia bentuk-bentuk itu kami anggap cocok dan berguna untuk membangkitkan makna keagamaan, terutama dalam Jemaat-jemaat, di mana ibadah-ibadah harus dipimpin oleh guru-guru atau pembantu-pembantu lain. Tetapi apa yang dipakai dalam Gereja-gereja Injili di Belanda, tidak dapat digunakan dalam Jemaat-jemaat pribumi di Indonesia. Bentuk-bentuk itu harus disesuaikan dengan kebutuhan yang ada, dengan sifat, cara berpikir dan kebiasaan anggota-anggota Jemaat. Hal itu harus dijalankan dengan hati-hati. Di Jemaat-jemaat, di mana liturgi dari Gereja Hervormd di Belanda telah biasa dipakai dalam ibadah baptisan, perjamuan, pemberkatan nikah, dan lain-lain, tidaklah bijaksana untuk terlalu banyak merobahnya. Tetapi jika hal itu mungkin, tanpa menimbulkan kesan yang salah, dapat diadakan perobahan di sana-sini ......... Jika anggota-anggota Jemaat tidak merasa diri terikat lagi pada bentuk-bentuk yang ada, dapat lebih banyak diadakan perobahan. Tetapi harus dijaga, supaya antara Jemaat-jemaat yang berbeda-beda itu sebanyak mungkin terdapat persetujuan dan keseragaman, dan janganlah abaikan pembicaraan bersama! Secara umum kami berpendapat, bahwa perhatian anggota-anggota Jemaat dapat diperbesar oleh khotbah dan pidato (= percakapan), tetapi khotbah dan pidato (= percakapan) itu harus sangat singkat, sangat sederhana dan mudah dimengerti. Oleh nyanyian, yang sangat disukai oleh orang-orang Indonesia, tetapi harus selalu diulang dan diperagung. Oleh usaha mengaktifkan Jemaat, dengan jalan berdiri dan bertelut, dengan jalan memberikan jawaban-jawaban pendek (umpamanya bersama-sama mengucapkan "Amin" atas doa pelayan). Juga dapat dipertimbangkan untuk menghiasi gedung-gedung-ibadah dengan bunga pada hari-hari-raya, seperti yang dibuat oleh beberapa Gereja. (**Algemeene brief, blz. 264 vv.)Dari surat ini nyata, bahwa maksud N.Z.G. bukanlah untuk memaksakan bentuk-bentuk ibadah yang lengkap kepada Jemaat-jemaat di Indonesia. Sebab hal itu bukan saja akan bertentangan dengan keyakinannnya sendiri, tetapi terutama dengan "tujuan"-nya. Apa yang ia lakukan ialah hanya menunjuk kepada "prinsip-prinsip" yang secara bebas" dapat dipakai oleh pendeta-pendeta-sending dalam pekerjaan mereka selanjutnya. (**Algemeene brief, blz. 267.)'
- Ibadah pemberkatan nikah. Sama seperti penahbisan pejabat-pejabat, demikian pula pemberkatan nikah dalam periode ini dilayani menurut tradisi lama. Dalam Jemaat yang berbahasa Belanda pemberkatan nikah -- berhubung dengan kemerosotan moral sejak waktu V.O.C. -- tidak banyak terjadi. Situasi Jemaat-jemaat ini sebenarnya sangat buruk: kunjungan-ibadah makin lama makin berkurang dan perceraian antara orang-orang Belanda mencapai jumlah yang sangat besar.Pendeta-pendeta Belanda mengakui hal ini, tetapi -- menurut mereka -- tidak usah kita terlampau menyesalinya. Karena di negeri Belandapun demikian juga. (**Van Boetzelaer II, blz. 372 (lihat catatan 1).)Dalam Jemaat-jemaat pribumi di Indonesia-Timur pemberkatan nikah umumnya dianggap sebagai suatu "kewajiban suci" dan karena itu dijunjung tinggi. Pemberkatan itu selalu berlangsung dalam gedung-gereja, di bawah pimpinan pendeta-sending. Untuk mendapat suatu gambaran tentang bagaimana prosedur perkawinan itu berlangsung, di bawah ini kita mengutip suatu penjelasan singkat dari Graafland, yang bekerja di Minahasa:"Kuasa, yang mengikat perkawinan, telah beberapa kali berpindah dari tangan yang satu ke tangan yang lain. Mula-mula pendeta-pendeta-sending yang mengikat perkawinan, tetapi izin untuk itu harus diberikan oleh residen di Menado. Hal itu sering menimbulkan banyak kesulitan, sebab izin itu harus didaftarkan di kantor residen. Kemudian perkawinan "dicatat" dan "diteguhkan" oleh kontrolir, dan baru sesudah itu diberkati oleh pendeta-sending. Pada waktu itu biaya perkawinan sangat tinggi, sehingga diharapkan keringanan dari pimpinan Jemaat (= pendeta-sending). Lalu datang suatu peraturan baru. Menurut peraturan itu kedua pengantin "mencatatkan" perkawinan mereka di muka kontrolir. Sesudah itu baru perkawinan mereka diberkati oleh pendeta-sending. Mereka hanya membayar harga "surat nikah" yang tidak mahal: 60 sen. Tetapi pelaksanaan peraturan baru ini tidak begitu lancar ... ia banyak menghambat pemberkatan nikah, yang menyebabkan kemunduran di bidang susila". (**Minahasa, II, blz. 243 v.)Berhubung dengan itu Pemerintah pada waktu itu mengeluarkan suatu peraturan perkawinan bagi orang-orang Kristen pribumi, khususnya di Maluku. Isi peraturan itu seperti berikut: Orang-orang yang mau kawin harus "mencatatkan" dahulu perkawinannya di muka pegawai sipil. Kalau tidak ada keberatan, pegawai sipil itu mengeluarkan suatu "surat pencatatan". Sesudah itu perkawinan yang mau dilangsungkan itu diumumkan dua minggu berturut-turut dari mimbar Gereja. Kalau selama waktu itu tidak ada orang yang mengajukan keberatan, perkawinan itu boleh diteguhkan secara gerejani. Pendeta-sending atau guru, yang melakukan hal itu, harus mencatatnya dalam suatu daftar, yang tiap-tiap bulan dikirimkan kepada kepala pemerintahan setempat. Ia -- kepala pemerintahan setempat -- menyalin catatan itu dalam daftarnya dan memberikan kepada kedua pengantin yang bersangkutan suatu surat bukti yang disegel. Menurut peraturan ini perkawinan gerejani, kalau dikehendaki oleh kedua pengantin, dapat juga diperlakukan sebagai perkawinan sipil. (**Van Boetzelaer II, blz. 372 v.)Peraturan perkawinan ini tidak sempurna. Sungguhpun demikian ia -- sedikit banyak -- memberikan suatu landasan dan kekuatan hukum kepada perkawinan orang-orang Kristen di Maluku. Kemudian ia, seperti yang kita katakan di atas, dipakai juga di Minahasa. (**Van Boetzelaer II, blz. 373.)'
- Nyanyian. Di samping Kitab Mazmur, yang diambil-alih dari periode yang lalu, Jemaat-jemaat di Indonesia -- sejak permulaan abad ke-XIX -- memakai juga Nyanyian-nyanyian Injili: Jemaat Betawi pada tahun 1818 dan Jemaat Semarangpun demikian. (**S.A. Buddingh, Proeve eener chronologische schets van de lotgevallen der Protestantsche Kerk in Nederlandsch Oost-Indi�, 1857, blz. 45.)Sementara itu di Belanda telah ada perobahan sikap terhadap nyanyian gerejani. Sungguhpun dilarang oleh Sinode di Dordrecht, di sana-sini Jemaat-jemaat terus menyanyikan nyanyian-nyanyian rohani. (**Abineno, a.w., blz. 66 (lihat catatan 5).) Semakin jauh -- secara rohani dan geografis -- Jemaat-jemaat hidup terpisah dari Sinode di Dordrecht, semakin besar keinginan mereka untuk memiliki lebih banyak nyanyian rohani. Keinginan ini rupanya diperbesar oleh kumpulan-kumpulan nyanyian dari Lodensteyn, Sluyter, Van Alpen, dan lain-lain. (**H.C. Touw, Verschuivingen in ons kerklied (dalam: Woord en Wereld), 1939, blz. 355.) Untuk memenuhi keinginan ini Pemerintah mengusulkan, supaya pada Mazmur-mazmur ditambahkan beberapa "nyanyian-pesta" (Sinode di Utrecht, 1773). Kira-kira duapuluh tahun kemudian menyusul suatu inisiatif dari Gereja (Sinode di Belanda-Utara, 1796), yang melahirkan suatu kumpulan nyanyian rohani yang pada tahun 1807 resmi dipakai. Pada tahun 1869 kumpulan ini disusul oleh suatu kumpulan lain sebagai suplemen. (**H.H. Barger, Ons Kerkboek, 1900, blz. 73-76, 83-88. Bnd R. Bennink Janssonius, Geschiedenis van het kerkgezang by de Hervormden in Nederland, 1861, blz. 193-362.)Segera sesudah kumpulan Nyanyian-nyanyian Injili ini diterima dan dipakai di Belanda, ia diterjemahkan dalam bahasa Melayu oleh Le Bruyn di Timor (1825). Terjemahan ini kemudian disusul oleh terjemahan-terjemahan lain dalam bahasa Melayu di bagian-bagian lain dari Indonesia. (**Coolsma, a.w., blz. 691, menyebut umpamanya suatu terjemahan dalam "bahasa Melayu rendah" oleh Bossert dan dalam Van der Velde van Capellen, a.w., blz. 314, disebut suatu Tambahan Tahlil, disusun oleh Schwarz.) Kumpulan Nyanyian-nyanyian Injili ini bukanlah satu-satunya kumpulan yang diambil-alih oleh Jemaat-jemaat di Indonesia dari negeri Belanda. Pada tahun 1825 Le Bruyn menterjemahkan lagi suatu kumpulan nyanyian lain, yang ia introdusir di Kupang dengan nama: Kitab njanjian, jang sudah ditambahij dengan barang Mazmur dan Tahlil Indjil, akan gunanja Madjelis Pesurohan Indjil Wolandawij. (**Judul asli: Verzameling van Liederan waar bij gevoegd zijn eenige Psalmen en Evangelische Gezangen, ten gebruike van het Nederlandsch zendelinggenootschap.)Dalam Jemaat-jemaat lain di Indonesia terjemahan-terjemahan ini rupanya belum dipakai, sebab pada tahun 1843 kita membaca, bahwa -- sesuai dengan ketetapan Pemerintah pada tanggal 11 Desember 1835 (no. 88) dan pada tanggal 28 Oktober 1840 (no. 57) -- diputuskan "untuk menyusun suatu kumpulan nyanyian ......... bagi Jemaat-jemaat yang berbahasa Melayu di Indonesia". Pelaksanaan keputusan ini ditugaskan kepada pendeta (dari Jemaat yang berbahasa Melayu) di Betawi, W.R. lHöevel, tetapi rupanya ia tidka berhasil menunaikan tugas itu. (**Buddingh, a.w., blz. 65.) Tiga tahun kemudian (1846) diputuskan lagi untuk "menyusun suatu kumpulan nyanyian (yang demikian), yang diambil dari kumpulan-kumpulan nyanyian Hervormd, Lutheran, Remonstran dan Menonit ......... tetapi tanpa nyanyian-nyanyian yang mengandung salah satu dogma dari Gereja-gereja itu". Pelaksanaan keputusan ini juga ditugaskan kepada Höevell, tetapi sekarang dibantu oleh seorang anggota "Kerkbestuur", yaitu S.A. Buddingh. Pekerjaan mereka berjalan dengan lancar, sebab tidak lama sesudah itu kita membaca, bahwa mereka telah menunaikan tugas mereka dengan baik, tetapi hasil pekerjaan mereka tidak dapat diterbitkan: berhubung dengan "kesulitan-kesulitan dan keberatan-keberatan yang dikemukakan oleh pemilik-pemilik dari Nyanyian-nyanyian Injili di Amsterdam, di Groningen dan di Haarlem" ...... "Kerkbestuur" terpaksa harus membatalkan maksudnya. (**Buddingh, a.w., blz. 70.)Sungguhpun demikian Pemerintah menghendaki -- khususnya untuk Jemaat di Betawi -- supaya disusun suatu kumpulan nyanyian seperti di atas. Sesuai dengan itu dalam reglemen, yang mengatur persatuan antara Jemaat Protestan dan Jemaat Lutheran Injili di Betawi, ditetapkan sebagai berikut: "Kitab Suci dan Kitab Mazmur dalam bentuk sajak, yang dipakai sekarang, akan tetap dipertahankan. Untuk sementara akan dipakai Nyanyian-nyanyian Injili dan Lutheran Injili dengan nama kumpulan nyanyian rohani pertama dan kedua. Sementara itu Majelis Gereja dan Jemaat Injili (di Betawi) akan segera mengusahakan suatu kumpulan nyanyian bersama, dengan jalan mengangkat suatu komisi". (**Voorschriften, blz. 123.)Tetapi juga kumpulan nyanyian bersama ini tidak pernah terbit. Apakah komisi, yang disebut di atas, pernah bekerja atau tidak, kita tidak tahu. Yang jelas ialah, bahwa baik di Betawi, maupun di seluruh Indonesia, Jemaat-jemaat menggunakan kumpulan Mazmur dan Tahlil dari Gereja Hervormd di Belanda. (**Van Lingen, a.w., blz. 28.)Di beberapa daerah kebutuhan akan nyanyian-nyanyian rohani yang baik terasa makin mendesak. Untuk memenuhi kebutuhan itu Jemaat-jemaat di situ berusaha sendiri-sendiri. Demikianlah kita baca, bahwa pada tahun 1861 Majelis Jemaat di Kupang menulis kepada residen Esser dengan pemberitahuan, bahwa dalam jemaat pribumi di situ sangat dibutuhkan "nyanyian-nyanyian rohani yang baik dan yang dapat dimengerti", karena kedua kumpulan nyanyian yang dipakai pada waktu itu--yaitu Mazmur-mazmur, terjemahan Werndley, dan Kumpulan Nyanyian, terjemahan Le Bruyn--tidak cocok lagi "untuk pembangunan Jemaat-jemaat" (**Menurut surat itu Mazmur-mazmur (terjemahan Werndley) penuh dengan kata-kata Arab dan Persia, sehingga tidak dapat dimengerti oleh Jemaat. Dan Kumpulan Nyanyian (terjemahan Le Bruyn) tidak cocok untuk kebaktian-kebaktian biasa, karena nyanyian-nyanyian itu digubah untuk maksud tertentu, yaitu untuk dipakai dalam pertemuan-pertemuan doa (= bidstond-bidstond) pekabaran Injil). Berhubung dengan itu Majelis Jemaat minta kepada residen Esser, supaya ia mengusulkan kepada Lembaga Alkitab (!) di Betawi, agar Lembaga ini mau mencetak-kembali "Kitab beberapa Mazmur, Tahlil Injil dan Njanjian akan dipakekan dalam perkoempoelan orang Masehi" (yang pada tahun 1860 diterbitkan oleh Perhimpunan Bacaan Kristen di Betawi). (**Permintaan itu tidak dapat dikabulkan oleh Lembaga Alkitab di Betawi. Untuk menolong Jemaat di Kupang beberapa anggota Jemaat di Betawi menyuruh mencetak-kembali Kitab Nyanyian itu dan mengirim 3000 eksemplar ke Kupang). Di Indonesia-Timur nyanyian -- sesuai dengan tujuan N.Z.G. -- mempunyai fungsi pedagogis: untuk mengembangkan perasaan religius, ethis dan estheis (**Bnd Heijmering, k.t., hal. 13 dyb; Ulfers, a.w., blz. 18; Wijngaarden, a.w., blz. 240 dan Graafland, Wat is waarheid, blz. 55), menurut norma-norma Barat. Itulah sebabnya, maka nyanyian-nyanyian, yang dipakai dalam Jemaat-jemaat di situ, adalah nyanyian-nyanyian Barat--baik nyanyian-nyanyian gerejani, maupun nyanyian-nyanyian yang bukan-gerejani (**Bnd Graafland, De omvang van het lager oderwijs van de kweek-school voor inlandsche onderwijzers te Tanawangko (dalam: Mededeelingen vanwege het Nederlandsch Zendelinggenootschap), 1878, blz. 177 v) -- yang dianggap lebih tinggi daripada nyanyian-nyanyian pribumi.