Sejarah Alkitab Indonesia

Para Pekerja Gereja

Bagikan ke Facebook

Dari Sejarah Alkitab Indonesia

Langsung ke: navigasi, cari
Baris 1: Baris 1:
{{kanan|{{Sejarah Gereja di Indonesia}}|{{Sejarah Alkitab di Indonesia}}}}
{{kanan|{{Sejarah Gereja di Indonesia}}|{{Sejarah Alkitab di Indonesia}}}}
-
Ketika orang-orang Belanda muntjul di Asia, dan merasa terpaksa untuk mengambil-alih pekerdjaan Geredja di Indonesia dan sebenarnja di seluruh Asia dari tangan orang-orang Portugis, maka mereka sedikitpun tak bersiap-sedia untuk tugas ini. Sedangkan lain halnja dengan orang-orang Portugis jang memang sedjak mulanja dapat mempergunakan perkumpulan-perkumpulan misi. Orang-orang Fransiskan, orang-orang Jesuit, orang-orang Dominikan dan jang lain-lain bersedia dan djuga sanggup, untuk melakukan pekerdjaan rohani dimana sadja, pun keradjaan Portugis menegakkan kekuasaannja. Sifat internasional dari Geredja RK sedunia mengakibatkan bahwa pekerdja-pekerdjanja tidak melulu bernasional Portugis. Disamping padri-padri Portugis terdapat djuga padri-padri Spanjol (Franciscus misalnja adalah warga-negara Spanjol!), Italia dan Belgia. Karena itu kendati adanja "padroado" Portugis, perkumpulan-perkumpulan misi mereka itu ke-mana-mana membawa tjap internasional dari Geredja RK. Dari ber-bagai-bagai utjapan Franciscus mendjadilah djelas, betapa ia membatasi dirinja dari penguasa-penguasa Portugis. Umpamanja senantiasa ia berbitjara tentang "orang-orang Portugis" dan bukannja berbitjara tentang "pemerintah kita", sebagaimana kebiasaannja para pendeta Belanda dikemudian hari. Djika Geredja Portugis bersifat internasional maka Geredja Belanda bersifat nasional. Mereka beranggapan, terutama ketika baru muntjul semangat nasionalnja, bahwa djuga pekerdjaan geredjanja tidak lepas daripada kepentingan nasional. Oleh karena itu maka ekspedisi jang telah dilakukan setjara kedjam terhadap orang-orang Banda dapat dirajakn oleh Ds. Hulsebos sebagai "suatu penaklukkan jang diberkati oleh Tuhan jang atasnja kita patut mengutjapkan pudji sjukur jang tak berhingga kepada Allah". Keuntungan serta kehormatan bangsa sendiri rupa-rupa-nja tak dapat dipisahkan dari tindakan pengkristenan terhadap negeri ini. Lagipula orang-orang Kristen dipandang sebagai rakjat jang paling setia; makanja sangatlah mengedjutkan bahwa seorang guru agama Ambon, namanja Jan Pays, didalam pemberontakan-pemberontakan Ambon jang besar telah memihak kepada para pemberontak itu. Pada tahun 1653 ia dihukum mati setjara dipantjung kepalanja dan badannja dipotong empat. "Ekspedisi-ekspedisi Hongi" jang amat ditakuti itu, sering djuga disertai oleh seorang pendeta. Peristiwa ini biasanja diachiri dengan suatu pesta, hari pertama chususnja untuk orang-orang Kristen dan hari kedua merupakan pesta umum, djuga untuk orang-orang Islam dan kafir. Hanja beberapa kali kita melihat pendeta-pendeta dan anggota-anggota madjelis geredja menentang hubungan Geredja dan negara jang terlampau erat ini. Misalnja di Djakarta, sesudahnja berachir pemberontakan-pemberontakan Ambon lalu pada tanggal 16 April 1655 diperintahkan untuk mengadakan kebaktian-kebaktian pengutjapan sjukur, maka beberapa anggota didalam madjelis geredja memperdengarkan suaranja jang menentang perintah itu, oleh sebab "peperangan ini tidak adil". Tetapi pada umumnja didalam kesadaran kebanjakan pendeta maka kepentingan Geredja itu sudah mendjadi satu dengan kepentingan VOC.
+
Ketika orang-orang Belanda muncul di Asia, dan merasa terpaksa untuk mengambil-alih pekerjaan Gereja di Indonesia dan sebenarnya di seluruh Asia dari tangan orang-orang Portugis, maka mereka sedikitpun tak bersiap-sedia untuk tugas ini. Sedangkan lain halnya dengan orang-orang Portugis yang memang sejak mulanya dapat mempergunakan perkumpulan-perkumpulan misi. Orang-orang Fransiskan, orang-orang Yesuit, orang-orang Dominikan dan yang lain-lain bersedia dan juga sanggup, untuk melakukan pekerjaan rohani dimana saja, pun kerajaan Portugis menegakkan kekuasaannya. Sifat internasional dari Gereja RK sedunia mengakibatkan bahwa pekerja-pekerjanya tidak melulu bernasional Portugis. Disamping padri-padri Portugis terdapat juga padri-padri Spanyol (Franciscus misalnya adalah warga-negara Spanyol!), Italia dan Belgia. Karena itu kendati adanya "padroado" Portugis, perkumpulan-perkumpulan misi mereka itu ke-mana-mana membawa cap internasional dari Gereja RK. Dari ber-bagai-bagai ucapan Franciscus menjadilah jelas, betapa ia membatasi dirinya dari penguasa-penguasa Portugis. Umpamanya senantiasa ia berbicara tentang "orang-orang Portugis" dan bukannya berbicara tentang "pemerintah kita", sebagaimana kebiasaannya para pendeta Belanda dikemudian hari. Jika Gereja Portugis bersifat internasional maka Gereja Belanda bersifat nasional. Mereka beranggapan, terutama ketika baru muncul semangat nasionalnya, bahwa juga pekerjaan gerejanya tidak lepas daripada kepentingan nasional. Oleh karena itu maka ekspedisi yang telah dilakukan secara kejam terhadap orang-orang Banda dapat dirayakn oleh Ds. Hulsebos sebagai "suatu penaklukkan yang diberkati oleh Tuhan yang atasnya kita patut mengucapkan puji syukur yang tak berhingga kepada Allah". Keuntungan serta kehormatan bangsa sendiri rupa-rupa-nya tak dapat dipisahkan dari tindakan pengkristenan terhadap negeri ini. Lagipula orang-orang Kristen dipandang sebagai rakyat yang paling setia; makanya sangatlah mengejutkan bahwa seorang guru agama Ambon, namanya Yan Pays, didalam pemberontakan-pemberontakan Ambon yang besar telah memihak kepada para pemberontak itu. Pada tahun 1653 ia dihukum mati secara dipancung kepalanya dan badannya dipotong empat. "Ekspedisi-ekspedisi Hongi" yang amat ditakuti itu, sering juga disertai oleh seorang pendeta. Peristiwa ini biasanya diakhiri dengan suatu pesta, hari pertama khususnya untuk orang-orang Kristen dan hari kedua merupakan pesta umum, juga untuk orang-orang Islam dan kafir. Hanya beberapa kali kita melihat pendeta-pendeta dan anggota-anggota majelis gereja menentang hubungan Gereja dan negara yang terlampau erat ini. Misalnya di Jakarta, sesudahnya berakhir pemberontakan-pemberontakan Ambon lalu pada tanggal 16 April 1655 diperintahkan untuk mengadakan kebaktian-kebaktian pengucapan syukur, maka beberapa anggota didalam majelis gereja memperdengarkan suaranya yang menentang perintah itu, oleh sebab "peperangan ini tidak adil". Tetapi pada umumnya didalam kesadaran kebanyakan pendeta maka kepentingan Gereja itu sudah menjadi satu dengan kepentingan VOC.
-
Kesukaran besar dalam soal pekerdja-pekerdja terutama disebabkan oleh karena pada waktu itu Geredja di Belanda memang sama sekali tidak dapat bersiap-sedia untuk tugas jang luas itu. Belumlah muntjul didalam Geredja-geredja reformasi suatu pikiran untuk melakukan pekerdjaan Geredja diseberang lautan apalagi untuk mengadakan pekabaran Indjil terhadap daerah-daerah jang bukan Kristen. Barulah pada achir abad ke-16 terdapat perintis-perintis pertama jang insaf akan kewadjiban mengabarkan Indjil dari Geredja. Akan tetapi hanja beberapa oknum sadja jang menginsafinja. Pada abad ke-19 mulailah Geredja mendjalankan tugas itu.
+
Kesukaran besar dalam soal pekerja-pekerja terutama disebabkan oleh karena pada waktu itu Gereja di Belanda memang sama sekali tidak dapat bersiap-sedia untuk tugas yang luas itu. Belumlah muncul didalam Gereja-gereja reformasi suatu pikiran untuk melakukan pekerjaan Gereja diseberang lautan apalagi untuk mengadakan pekabaran Injil terhadap daerah-daerah yang bukan Kristen. Barulah pada akhir abad ke-16 terdapat perintis-perintis pertama yang insaf akan kewajiban mengabarkan Injil dari Gereja. Akan tetapi hanya beberapa oknum saja yang menginsafinya. Pada abad ke-19 mulailah Gereja menjalankan tugas itu.
-
Untuk tugas itu Geredja-geredja tidak memiliki organisasi-organisasi, mereka hanja mengenal djabatan-djabatan djemaat. Merekapun tidak mengetahui bagaimana langkah-langkah pertama harus dilakukan supaja dapat membawa orang-orang kepada Kristus dan menghimpunkannja didalam djemaat-djemaat. Menurut keinsjafan mereka maka jang penting hanjalah suatu tata-geredja jang tidak ber-ubah-ubah dengan djemaat-djemaatnja serta djabatan-djabatan jang teratur tetap. Djadi dari manakah memperoleh tenaga-tenaga, jang dalam waktu jang singkat akan ditempatkan ditanah Indonesia jang djauh itu, untuk suatu tugas jang berlainan sekali? Para penghibur-orang-sakit jang pertama sembarang sadja telah diangkat oleh Tuan-tuan XVII", supaja ikut belajar dengan kapal-kapalnja. Akan tetapi tidak lama kemudian segera ditjari perhubungan dengan beberapa klasis jaitu klasis-klasis jang menghubungkan djemaat-djemaat didalam kota-kota pelabuhan. Memang disanalah terdapat banjak minat terhadap usaha VOC di Indonesia. Dari mereka dimintakan nasihat serta pengesahan atas pengangkatan para penghibur-orang-sakit serta para pendeta. Sedjak tahun 1605 sudah disediakan beasiswa oleh VOC bagi beberapa mahasiswa theologia, jang akan dididik untuk pekerdjaan di Indonesia. Berdirinja suatu Seminarium Indicum pada tahun 1620 merupakan langkah terpenting untuk memperoleh pendeta-pendeta. Atas nasihat fakultas theologia di Leiden maka dibawah pimpinan gurubesar A. Walaeus dididiklah didalam seminarium itu 12 orang muda. Memanglah ternjata bahwa ketjakapan serta kesalehan mereka istimewa djika dibandingkan dengan kawan-kawan sekerdja mereka di Indonesia. Tetapi sajang bahwa seminarium ini sesudah berdiri 10 tahun ditutup pada tahun 1630. Pemerintah di Indonesia tiada sudi mempekerdjakan pendeta-pendeta jang berpendirian serta bertindak sendiri. Dengan demikian perlengkapan djumlah tenaga-tenaga tetap merupakan suatu kesukaran, ja malah kian lama kian mendjadi lebih sukar. Makanja djuga dipungut sadja sembarang pendeta dan penghibur-orang-sakit untuk dikirimkan ke Indonesia, jang beberapa diantaranja hampir-hampir tidak ditempatkan didalam sesuatu pekerdjaan Geredja. Malah kita dapati diantara mereka avonturir-avonturir (petualang-petualang) dan orang-orang jang men-tjari-tjari untung. Diantara para penghibur-orang-sakit sering terdapat tukang-tukang biasa, jang melalui djalan ini ingin menaiki tangga masjarakat lebih tinggi. Akan tetapi diantara mereka terdapatlah djuga sedjumlah nama-nama jang patut dipudji. Mereka itulah hamba-hamba Jesus Kristus jang setia, jang menjerahkan dirinja sepenuhnja jang tidak bergontjang dan jang beriman didalam geredjaNja di Indonesia. Dan dapatlah dengan pasti dikatakan bahwa seluruh korps para pekerdja Geredja didalam "masjarakat Eropa di Indonesia" berada pada tingkat kebudajaan dan kesadaran moril jang melebihi rata-rata golongan Eropa. Sebab bagaimanakah keadaan waktu itu, djelaslah dari laporan-laporan beberapa pendeta, misalnja dari Ds. Vertrecht, jang bekerdja di Ambon dan Banda mulai dari tahun 1643 sampai 1648. Ditulisnja, bahwa "orang-orang Belanda adalah suatu bangsa jang paling fasik, suatu bangsa Sodom dan Gomora, jang menundjukkan bahwa dengan perbuatan-perbuatannja seperti berdjudi, mabuk, menghina Firman dan kebaktian kepada Tuhan, mereka tidak peduli lagi akan Allah maupun agama, jang tiap hari melakukan perbuatan-perbuatan jang menjakitkan hati dan kedji terhadap orang-orang Ambon jang halus itu, terketjuali beberapa sadja jang baik". Dengan latar belakang inilah harus kita menimbang korps para pekerdja Geredja. Memang disesalkan perbuatan seorang pendeta seperti Ds. Du Praet di Ambon jang melakukan perdagangan budak. Demikikan pula kita tidak mendalihkan pendeta jang ingin lekas mendjadi kaja. Tetapi dengan latar belakang tadi kelakuan mereka itu bukannja merupakan kelakuan jang luar biasa. Djika dibandingkan dengan para rahib, dizaman Portugis, maka kuranglah nilai para pekerdja Geredja Protestan. Para rahib senantiasa terikat oleh djandji-djandji biara dalam hal kemiskinan dan ketaatan, dan djustru didalam kedua kebadjikan ini para pedjabat Geredja Protestan tidak dapat menandingi para monnik (biarawan). Terlebih pula sebagaimana halnja dengan kebanjakan orang-orang Portugis pada waktu itu, maka para padri ini merupakan orang-orang jang menetap, dan bukan orang-orang jang sebentar lagi akan berangkat pula. Bagi mereka tidak ada kontrak-kontrak buat beberapa tahun, untuk kemudian kembali ketanah air. Dan oleh karena itu pekerdjaan merekapun dapat berakar lebih dalam didunia Indonesia, dibandingkan dengan orang-orang Protestan pengganti mereka itu. Djelaslah, bahwa pekerdjaan Geredja dari para pendeta dan para penghibur-orang-sakit ini amat tergantung kepada pusat. Keadaan sedemikian tidak sesuai dengan tatageredja presbyterial. Selain daripada itu medjelis-madjelis geredja - terutama di Djakarta dan Ambon - terdiri dari pegawai-pegawai VOC. Dan guna kepentingan hidup mereka sendiri, sukarlah bagi mereka untuk melaksanakan sesuatu jang bertentangan dengan kehendak pemerintah. Pendeta-pendetapun hanjalah "pegawai-pegawai negeri" dan oleh tindakan-tindakan jang keras dari banjak gubernur para pendeta ini merasa bahwa mereka hanja wadjib menaati sadja. Sering hukuman-hukuman jang keras didjalankan terhadap mereka itu. Misalnja pemindahan paksa, pengiriman kembali kenegeri Belanda, penahanan didalam pendjara. Kesukaran lain pula jang dialami oleh para pendeta itu ialah hubungan jang sangat berdjauhan antara golongan Eropa dengan golongan Indonesia. Diantara keduanja itulah mereka harus berdiri. Disamping harus melajani orang-orang Belanda jang kasar-kasar serta tjabul itu, merekapun harus melajani orang-orang Kristen Indonesia jang baru dibaptiskan. Pada hakekatnja berdasarkan keadaan serba tanggung-tanggung ini hampir-hampir mereka tidak dapat mengadakan hubungan-hubungan dengan orang-orang Indonesia. Tambahan dapat pula mereka dihalangi oleh pengetahuan mereka jang amat kurang dalam bahasa Melaju. Hanja beberapa jang dapat memahirkan dirinja didalam bahasa itu. Selain itu sebenarnja hanja dibeberapa kota besar sadja bahasa Melaju itu dipergunakan sebagai bahasa pergaulan, sedangkan jang umum dipakai ialah "bahasa-bahasa daerah". Makanja djuga pada "perkundjungan-perkundjungan" ke-pulau-pulau jang djauh-djauh letaknja, bahasa "Melaju" mereka tidak dapat menghasilkan hubungan-hubungan jang sesungguhnja. Pula perkundjungan-perkundjungan ini seringkali memisahkan mereka untuk beberapa bulan lamanja dari pekerdjaan djemaatnja ditempatnja. Akibatnja ialah bahwa pembangunan djemaat jang sesungguhnja hampir tidak dapat dilaksanakan. Pada pihak lain pula mereka tidak dapat berbuat apa-apa terhadap pulau-pulau jang hanja dikundjungi beberapa hari itu. Pendek kata, para pendeta itu kebanjakannja melakukan suatu pekerdjaan, jang sedikit sekali memberi hasil dan karenanja djuga kurang memberi kepuasan. Sebab itu djuga kebanjakan dari mereka hanja mau tinggal di Indonesia selama suatu kontrak. Lagi pula banjak dari mereka jang gugur dalam pekerdjaannja oleh karena menderita penjakit-penjakit dan mengalami kematian-kematian jang lekas. Karena itulah terdjadi perubahan-perubahan jang tjepat didalam korps para pekerdja Geredja dan tidaklah terdapat sama sekali suatu kelangsungan pertumbuhan rohani didalam djemaat-djemaat.
+
Untuk tugas itu Gereja-gereja tidak memiliki organisasi-organisasi, mereka hanya mengenal jabatan-jabatan jemaat. Merekapun tidak mengetahui bagaimana langkah-langkah pertama harus dilakukan supaya dapat membawa orang-orang kepada Kristus dan menghimpunkannya didalam jemaat-jemaat. Menurut keinsyafan mereka maka yang penting hanyalah suatu tata-gereja yang tidak ber-ubah-ubah dengan jemaat-jemaatnya serta jabatan-jabatan yang teratur tetap. Jadi dari manakah memperoleh tenaga-tenaga, yang dalam waktu yang singkat akan ditempatkan ditanah Indonesia yang jauh itu, untuk suatu tugas yang berlainan sekali? Para penghibur-orang-sakit yang pertama sembarang saja telah diangkat oleh Tuan-tuan XVII", supaya ikut belayar dengan kapal-kapalnya. Akan tetapi tidak lama kemudian segera dicari perhubungan dengan beberapa klasis yaitu klasis-klasis yang menghubungkan jemaat-jemaat didalam kota-kota pelabuhan. Memang disanalah terdapat banyak minat terhadap usaha VOC di Indonesia. Dari mereka dimintakan nasihat serta pengesahan atas pengangkatan para penghibur-orang-sakit serta para pendeta. Sejak tahun 1605 sudah disediakan beasiswa oleh VOC bagi beberapa mahasiswa theologia, yang akan dididik untuk pekerjaan di Indonesia. Berdirinya suatu Seminarium Indicum pada tahun 1620 merupakan langkah terpenting untuk memperoleh pendeta-pendeta. Atas nasihat fakultas theologia di Leiden maka dibawah pimpinan gurubesar A. Walaeus dididiklah didalam seminarium itu 12 orang muda. Memanglah ternyata bahwa kecakapan serta kesalehan mereka istimewa jika dibandingkan dengan kawan-kawan sekerja mereka di Indonesia. Tetapi sayang bahwa seminarium ini sesudah berdiri 10 tahun ditutup pada tahun 1630. Pemerintah di Indonesia tiada sudi mempekerjakan pendeta-pendeta yang berpendirian serta bertindak sendiri. Dengan demikian perlengkapan jumlah tenaga-tenaga tetap merupakan suatu kesukaran, ya malah kian lama kian menjadi lebih sukar. Makanya juga dipungut saja sembarang pendeta dan penghibur-orang-sakit untuk dikirimkan ke Indonesia, yang beberapa diantaranya hampir-hampir tidak ditempatkan didalam sesuatu pekerjaan Gereja. Malah kita dapati diantara mereka avonturir-avonturir (petualang-petualang) dan orang-orang yang men-cari-cari untung. Diantara para penghibur-orang-sakit sering terdapat tukang-tukang biasa, yang melalui jalan ini ingin menaiki tangga masyarakat lebih tinggi. Akan tetapi diantara mereka terdapatlah juga sejumlah nama-nama yang patut dipuji. Mereka itulah hamba-hamba Yesus Kristus yang setia, yang menyerahkan dirinya sepenuhnya yang tidak bergoncang dan yang beriman didalam gerejaNya di Indonesia. Dan dapatlah dengan pasti dikatakan bahwa seluruh korps para pekerja Gereja didalam "masyarakat Eropa di Indonesia" berada pada tingkat kebudayaan dan kesadaran moril yang melebihi rata-rata golongan Eropa. Sebab bagaimanakah keadaan waktu itu, jelaslah dari laporan-laporan beberapa pendeta, misalnya dari Ds. Vertrekht, yang bekerja di Ambon dan Banda mulai dari tahun 1643 sampai 1648. Ditulisnya, bahwa "orang-orang Belanda adalah suatu bangsa yang paling fasik, suatu bangsa Sodom dan Gomora, yang menunjukkan bahwa dengan perbuatan-perbuatannya seperti berjudi, mabuk, menghina Firman dan kebaktian kepada Tuhan, mereka tidak peduli lagi akan Allah maupun agama, yang tiap hari melakukan perbuatan-perbuatan yang menyakitkan hati dan keji terhadap orang-orang Ambon yang halus itu, terkecuali beberapa saja yang baik". Dengan latar belakang inilah harus kita menimbang korps para pekerja Gereja. Memang disesalkan perbuatan seorang pendeta seperti Ds. Du Praet di Ambon yang melakukan perdagangan budak. Demikikan pula kita tidak mendalihkan pendeta yang ingin lekas menjadi kaya. Tetapi dengan latar belakang tadi kelakuan mereka itu bukannya merupakan kelakuan yang luar biasa. Jika dibandingkan dengan para rahib, dizaman Portugis, maka kuranglah nilai para pekerja Gereja Protestan. Para rahib senantiasa terikat oleh janji-janji biara dalam hal kemiskinan dan ketaatan, dan justru didalam kedua kebajikan ini para pejabat Gereja Protestan tidak dapat menandingi para monnik (biarawan). Terlebih pula sebagaimana halnya dengan kebanyakan orang-orang Portugis pada waktu itu, maka para padri ini merupakan orang-orang yang menetap, dan bukan orang-orang yang sebentar lagi akan berangkat pula. Bagi mereka tidak ada kontrak-kontrak buat beberapa tahun, untuk kemudian kembali ketanah air. Dan oleh karena itu pekerjaan merekapun dapat berakar lebih dalam didunia Indonesia, dibandingkan dengan orang-orang Protestan pengganti mereka itu. Jelaslah, bahwa pekerjaan Gereja dari para pendeta dan para penghibur-orang-sakit ini amat tergantung kepada pusat. Keadaan sedemikian tidak sesuai dengan tatagereja presbyterial. Selain daripada itu mejelis-majelis gereja - terutama di Jakarta dan Ambon - terdiri dari pegawai-pegawai VOC. Dan guna kepentingan hidup mereka sendiri, sukarlah bagi mereka untuk melaksanakan sesuatu yang bertentangan dengan kehendak pemerintah. Pendeta-pendetapun hanyalah "pegawai-pegawai negeri" dan oleh tindakan-tindakan yang keras dari banyak gubernur para pendeta ini merasa bahwa mereka hanya wajib menaati saja. Sering hukuman-hukuman yang keras dijalankan terhadap mereka itu. Misalnya pemindahan paksa, pengiriman kembali kenegeri Belanda, penahanan didalam penjara. Kesukaran lain pula yang dialami oleh para pendeta itu ialah hubungan yang sangat berjauhan antara golongan Eropa dengan golongan Indonesia. Diantara keduanya itulah mereka harus berdiri. Disamping harus melayani orang-orang Belanda yang kasar-kasar serta cabul itu, merekapun harus melayani orang-orang Kristen Indonesia yang baru dibaptiskan. Pada hakekatnya berdasarkan keadaan serba tanggung-tanggung ini hampir-hampir mereka tidak dapat mengadakan hubungan-hubungan dengan orang-orang Indonesia. Tambahan dapat pula mereka dihalangi oleh pengetahuan mereka yang amat kurang dalam bahasa Melayu. Hanya beberapa yang dapat memahirkan dirinya didalam bahasa itu. Selain itu sebenarnya hanya dibeberapa kota besar saja bahasa Melayu itu dipergunakan sebagai bahasa pergaulan, sedangkan yang umum dipakai ialah "bahasa-bahasa daerah". Makanya juga pada "perkunjungan-perkunjungan" ke-pulau-pulau yang jauh-jauh letaknya, bahasa "Melayu" mereka tidak dapat menghasilkan hubungan-hubungan yang sesungguhnya. Pula perkunjungan-perkunjungan ini seringkali memisahkan mereka untuk beberapa bulan lamanya dari pekerjaan jemaatnya ditempatnya. Akibatnya ialah bahwa pembangunan jemaat yang sesungguhnya hampir tidak dapat dilaksanakan. Pada pihak lain pula mereka tidak dapat berbuat apa-apa terhadap pulau-pulau yang hanya dikunjungi beberapa hari itu. Pendek kata, para pendeta itu kebanyakannya melakukan suatu pekerjaan, yang sedikit sekali memberi hasil dan karenanya juga kurang memberi kepuasan. Sebab itu juga kebanyakan dari mereka hanya mau tinggal di Indonesia selama suatu kontrak. Lagi pula banyak dari mereka yang gugur dalam pekerjaannya oleh karena menderita penyakit-penyakit dan mengalami kematian-kematian yang lekas. Karena itulah terjadi perubahan-perubahan yang cepat didalam korps para pekerja Gereja dan tidaklah terdapat sama sekali suatu kelangsungan pertumbuhan rohani didalam jemaat-jemaat.
-
Patutlah kita menjebutkan chusus beberapa pendeta jang telah berdjasa besar karena ketjakapan dan penjerahan diri mereka sepenuhnja kepada pekerdjaan Geredja di Indonesia.
+
Patutlah kita menyebutkan khusus beberapa pendeta yang telah berjasa besar karena kecakapan dan penyerahan diri mereka sepenuhnya kepada pekerjaan Gereja di Indonesia.
-
Kaspar Wiltens, lahir pada tahun 1584 di Antwerpen, adalah pendeta Belanda jang pertama di Indonesia. Pada tahun 1610 ia diudji dan ditahbiskan oleh klasis di Amsterdam bagi pelajanan Geredja di "Indië" dan pada tahun 1612 datanglah ia ke Indonesia. Ia ditempatkan di Batjan, 1614 di Ambon, 1617 ke Banda sebagai "hukumannja," dari sana kembali pula ke Ambon dimana ia pada tahun 1619 meninggal dunia dalam usia jang masih muda jaitu 31 tahun. Ia telah berusaha mempeladjari bahasa "Melaju" dan membuat serangkaian chotbah-chotbah dalam bahasa melaju guna dibatjakan didalam kebaktian-kebaktian Indonesia. Ber-puluh-puluh tahun lamanja chotbah-chotbah ini masih dipergunakan dan beberapa kali ditjetak ulang.
+
Kaspar Wiltens, lahir pada tahun 1584 di Antwerpen, adalah pendeta Belanda yang pertama di Indonesia. Pada tahun 1610 ia diuji dan ditahbiskan oleh klasis di Amsterdam bagi pelayanan Gereja di "Indië" dan pada tahun 1612 datanglah ia ke Indonesia. Ia ditempatkan di Bacan, 1614 di Ambon, 1617 ke Banda sebagai "hukumannya," dari sana kembali pula ke Ambon dimana ia pada tahun 1619 meninggal dunia dalam usia yang masih muda yaitu 31 tahun. Ia telah berusaha mempelajari bahasa "Melayu" dan membuat serangkaian khotbah-khotbah dalam bahasa melayu guna dibacakan didalam kebaktian-kebaktian Indonesia. Ber-puluh-puluh tahun lamanya khotbah-khotbah ini masih dipergunakan dan beberapa kali dicetak ulang.
-
Pendeta pertama dari Djakarta ialah Adriaan Jacobsz Hulsebos. Sebenarnja ia adalah seorang guru, akan tetapi berdasarkan bakat-bakatnja ia telah diterima sebagai pendeta dan diutus ke Indonesia. Pada tahun 1616 tibalah ia di Indonesia dan masih mengalami pendudukan orang-orang Belanda atas Djakarta. Ber-sama-sama dengan Danckaerts ia telah menjusun tatageredja jang pertama bagi Indonesia. Iapun telah meresmikan madjelis geredja Djakarta jang pertama. Kemudiannja itu ia dikirim ke Banda dan Ambon untuk melantik djuga di-tempat-tempat ini madjelis-madjelis geredjanja. Akan tetapi pada perdjalanannja ini ditahun 1622 ia mati tenggelam ketika memasuki teluk Ambon.
+
Pendeta pertama dari Jakarta ialah Adriaan Yacobsz Hulsebos. Sebenarnya ia adalah seorang guru, akan tetapi berdasarkan bakat-bakatnya ia telah diterima sebagai pendeta dan diutus ke Indonesia. Pada tahun 1616 tibalah ia di Indonesia dan masih mengalami pendudukan orang-orang Belanda atas Jakarta. Ber-sama-sama dengan Danckaerts ia telah menyusun tatagereja yang pertama bagi Indonesia. Iapun telah meresmikan majelis gereja Jakarta yang pertama. Kemudiannya itu ia dikirim ke Banda dan Ambon untuk melantik juga di-tempat-tempat ini majelis-majelis gerejanya. Akan tetapi pada perjalanannya ini ditahun 1622 ia mati tenggelam ketika memasuki teluk Ambon.
-
Sebastiaan Danckaerts, lahir pada tahun 1593 di Den Haag, berangkat ke Indonesia pada tahun 1617. Sesudah setahun tinggal dikampung orang Belanda di Banten, maka pada tahun 1618 ia dipindahkan ke Ambon, dimana hingga tahun 1622 ia telah melakukan pekerdjaan jang penting. Berkat usahanjalah maka dapat dididik guru-guru jang pertama, jang dilakukan dalam sematjam "seminari" dirumahnja. Sesudah suatu masa tjuti dinegeri Belanda dimana ia hadir djuga pada Synode Dordrecht, kembalilah pula ia pada tahun 1624 dan bekerdja di Djakarta hingga matinja pada tahun 1634. Dialah pula sebenarnja jang telah menjusun tatageredja jang pertama (1624) dan sebuah katekismus Melaju.
+
Sebastiaan Danckaerts, lahir pada tahun 1593 di Den Haag, berangkat ke Indonesia pada tahun 1617. Sesudah setahun tinggal dikampung orang Belanda di Banten, maka pada tahun 1618 ia dipindahkan ke Ambon, dimana hingga tahun 1622 ia telah melakukan pekerjaan yang penting. Berkat usahanyalah maka dapat dididik guru-guru yang pertama, yang dilakukan dalam semacam "seminari" dirumahnya. Sesudah suatu masa cuti dinegeri Belanda dimana ia hadir juga pada Synode Dordrekht, kembalilah pula ia pada tahun 1624 dan bekerja di Jakarta hingga matinya pada tahun 1634. Dialah pula sebenarnya yang telah menyusun tatagereja yang pertama (1624) dan sebuah katekismus Melayu.
-
Georgius Candidius, seorang Djerman dari daerah Paltz, lahir pada tahun 1597, datang ke Indonesia pada tahun 1625 dan ditempatkan di Ternate. Disana ia mengalami penganiajaan-penganiajaan jang terberat dari seorang wakil pemerintah disebabkan ia telah berani menegurnja karena tingkah-laku hidupnja jang tiada senonoh. Dari sana ia dipindahkan ke Formosa. Disitu ber-sama-sama dengan pendeta Junius jang tjakap itu, ia telah mempeladjari sungguh-sungguh bahasa negeri itu. Tetapi pada tahun 1638 dan sesudah bertjuti di Belanda kembali pada tahun 1644 sampai matinja pada tahun 1647.
+
Georgius Candidius, seorang Jerman dari daerah Paltz, lahir pada tahun 1597, datang ke Indonesia pada tahun 1625 dan ditempatkan di Ternate. Disana ia mengalami penganiayaan-penganiayaan yang terberat dari seorang wakil pemerintah disebabkan ia telah berani menegurnya karena tingkah-laku hidupnya yang tiada senonoh. Dari sana ia dipindahkan ke Formosa. Disitu ber-sama-sama dengan pendeta Yunius yang cakap itu, ia telah mempelajari sungguh-sungguh bahasa negeri itu. Tetapi pada tahun 1638 dan sesudah bercuti di Belanda kembali pada tahun 1644 sampai matinya pada tahun 1647.
-
Akan tetapi tidaklah dapat disangkal bahwa jang paling tjakap diantara para pendeta itu ialah Justus Heurnius, lahir pada tahun 1587 di Utrecht. Setelah membuat peladjaran didalam ilmu kedokteran dan kemudian ilmu theologia, berangkatlah ia dalam usia 36 tahun ke Indonesia pada tahun 1624. Sesudah bekerdja 8 tahun di Djakarta, iapun dipindahkan ke Saparua dimana ia tinggal sampai tahun 1638. Pada tahun itu ia kembali ke Belanda dan meninggallah ia pada tahun 1652. Sebagai seorang mahasiswa enam tahun sebelum diutus, ia sudah menulis sebuah buku, jang pada pertama kalinja di Belanda membahas soal kewadjiban memberitakan Indjil. Nama buku itu ialah "De Legatione evangelica ad Indos capessenda admonitio" ("Adjakan untuk memulai pekabaran Indjil diantara orang-orang Indonesia") dikarang pada tahun 1618. Di Djakarta ia berusaha untuk mengadakan hubungan-hubungan zending dengan penduduk Tionghoa jang banjak itu. Antara lain ia telah ikut menjelenggarakan suatu daftar kata-kata Tionghoa-Latin-Belanda, kemudian ia terutama mengerdjakan terdjemahan-terdjemahan dan penindjauan kembali dari terdjemahan-terdjemahan Alkitab. Ia telah mengalami banjak sekali kesukaran karena sikapnja jang tegas dan berani terhadap tindakan-tindakan pemerintah jang se-wenang-wenang. Hal ini djuga telah menahan dia untuk kembali ke Indonesia. Jang amat penting ialah usulnja untuk mendirikan di Indonesia suatu pendidikan theologia bagi orang-orang Indonesia (1629). Atas nasihat Geredja-geredja di Belanda sajang hal itu tidak terlaksana, sebab orang menjangka bahwa dengan tjara demikian kemurnian adjaran tidak dapat didjamin lagi. Pandangan jang pitjik ini telah sangat merugikan perkembangan Geredja-geredja di Indonesia.
+
Akan tetapi tidaklah dapat disangkal bahwa yang paling cakap diantara para pendeta itu ialah Yustus Heurnius, lahir pada tahun 1587 di Utrekht. Setelah membuat pelajaran didalam ilmu kedokteran dan kemudian ilmu theologia, berangkatlah ia dalam usia 36 tahun ke Indonesia pada tahun 1624. Sesudah bekerja 8 tahun di Jakarta, iapun dipindahkan ke Saparua dimana ia tinggal sampai tahun 1638. Pada tahun itu ia kembali ke Belanda dan meninggallah ia pada tahun 1652. Sebagai seorang mahasiswa enam tahun sebelum diutus, ia sudah menulis sebuah buku, yang pada pertama kalinya di Belanda membahas soal kewajiban memberitakan Injil. Nama buku itu ialah "De Legatione evangelica ad Indos capessenda admonitio" ("Ajakan untuk memulai pekabaran Injil diantara orang-orang Indonesia") dikarang pada tahun 1618. Di Jakarta ia berusaha untuk mengadakan hubungan-hubungan zending dengan penduduk Tionghoa yang banyak itu. Antara lain ia telah ikut menyelenggarakan suatu daftar kata-kata Tionghoa-Latin-Belanda, kemudian ia terutama mengerjakan terjemahan-terjemahan dan peninjauan kembali dari terjemahan-terjemahan Alkitab. Ia telah mengalami banyak sekali kesukaran karena sikapnya yang tegas dan berani terhadap tindakan-tindakan pemerintah yang se-wenang-wenang. Hal ini juga telah menahan dia untuk kembali ke Indonesia. Yang amat penting ialah usulnya untuk mendirikan di Indonesia suatu pendidikan theologia bagi orang-orang Indonesia (1629). Atas nasihat Gereja-gereja di Belanda sayang hal itu tidak terlaksana, sebab orang menyangka bahwa dengan cara demikian kemurnian ajaran tidak dapat dijamin lagi. Pandangan yang picik ini telah sangat merugikan perkembangan Gereja-gereja di Indonesia.
-
Abraham Rogerius seorang mahasiswa tamatan Seminari Indicum, diutus pada tahun 1632 dan bekerdja di India Selatan dari tahun 1632-1642. Disana ia demikian memahirkan diri dalam bahasa Portugis, sehingga ia dipanggil untuk bekerdja pada "djemaat Mardeika" jang berbahasa Portugis di Djakarta dari tahun 1643-'47. Ketjuali beberapa terdjemahan kedalam bahasa Portugis, ia telah mengadakan djuga suatu penjelidikan penting tentang tjara-tjara pekabaran Indjil di India Selatan: "Gentilismus reseratus" ("Pintu kekafiran jang terbuka)".
+
Abraham Rogerius seorang mahasiswa tamatan Seminari Indicum, diutus pada tahun 1632 dan bekerja di India Selatan dari tahun 1632-1642. Disana ia demikian memahirkan diri dalam bahasa Portugis, sehingga ia dipanggil untuk bekerja pada "jemaat Mardeika" yang berbahasa Portugis di Jakarta dari tahun 1643-'47. Kecuali beberapa terjemahan kedalam bahasa Portugis, ia telah mengadakan juga suatu penyelidikan penting tentang cara-cara pekabaran Injil di India Selatan: "Gentilismus reseratus" ("Pintu kekafiran yang terbuka)".
-
Selandjutnja diantara orang-orang jang berbahasa Portugis bekerdjalah djuga Ferreira d'Almeida, seorang jang radjin sekali serta berbakat, lahir di Lisboa pada tahun 1628. Agaknja ia tadinja seorang anggota ordo Jesuit, jang kemudian mendjadi Protestan. Mula-mula ia diangkat sebagai penghibur-orang-sakit, kemudian ditahbiskan mendjadi pendeta (1654) di Sailan dan sedjak tahun 1663 bekerdja di Djakarta diantara orang-orang "Mardeika". Pada tahun 1689 ia dipensiunkan dan meninggal di Djakarta pada tahun 1691. Semasa hidupnja ia telah menterdjemahkan kedalam bahasa Portugis katekismus Heidelberg dan tulisan-tulisan mengenai liturgi, tetapi usahanja jang terutama ialah menterdjemahkan djuga seluruh Alkitab.
+
Selanjutnya diantara orang-orang yang berbahasa Portugis bekerjalah juga Ferreira d'Almeida, seorang yang rajin sekali serta berbakat, lahir di Lisboa pada tahun 1628. Agaknya ia tadinya seorang anggota ordo Yesuit, yang kemudian menjadi Protestan. Mula-mula ia diangkat sebagai penghibur-orang-sakit, kemudian ditahbiskan menjadi pendeta (1654) di Sailan dan sejak tahun 1663 bekerja di Jakarta diantara orang-orang "Mardeika". Pada tahun 1689 ia dipensiunkan dan meninggal di Jakarta pada tahun 1691. Semasa hidupnya ia telah menterjemahkan kedalam bahasa Portugis katekismus Heidelberg dan tulisan-tulisan mengenai liturgi, tetapi usahanya yang terutama ialah menterjemahkan juga seluruh Alkitab.
-
Kita sebut lagi Franciscus Valentijn, bukan lantaran prestasi-prestasinja sebagai pendeta, melainkan berhubung dengan beberapa buku penting jang telah dikarangnja. Dilahirkan di Dordrecht pada tahun 1666, dan baru berusia 19 tahun ia telah diutus dan ditempatkan di Ambon (1686), dan tinggal disana untuk waktu jang lama. Bukunja jang 5 djilid tentang "Oud en Nieuw Oost Indië (Indonesia Lama dan Baru) membuktikan ketjakapannja untuk mengumpulkan segala hal jang patut diketahui. Selandjutnja ia telah mengerdjakan terdjemahan Alkitab didalam bahasa "Melaju rendah" dan mentjoba supaja terdjemahannja itu jang ditjetak dan bukannja terdjemahan Leydekker jang pada waktu itu telah diusahakan djuga. Akan tetapi hasil usahanja tidak diterima untuk ditjetak.
+
Kita sebut lagi Franciscus Valentiyn, bukan lantaran prestasi-prestasinya sebagai pendeta, melainkan berhubung dengan beberapa buku penting yang telah dikarangnya. Dilahirkan di Dordrekht pada tahun 1666, dan baru berusia 19 tahun ia telah diutus dan ditempatkan di Ambon (1686), dan tinggal disana untuk waktu yang lama. Bukunya yang 5 jilid tentang "Oud en Nieuw Oost Indië (Indonesia Lama dan Baru) membuktikan kecakapannya untuk mengumpulkan segala hal yang patut diketahui. Selanjutnya ia telah mengerjakan terjemahan Alkitab didalam bahasa "Melayu rendah" dan mencoba supaya terjemahannya itu yang dicetak dan bukannya terjemahan Leydekker yang pada waktu itu telah diusahakan juga. Akan tetapi hasil usahanya tidak diterima untuk dicetak.
-
Melchior Leydekker, doktor dalam ilmu kedokteran dan theologia datang ke Indonesia pada tahun 1675 dan ditempatkan di Djakarta. Sebagai seorang menantu dari Gubernur Djenderal van Riebeck ia memperoleh sebidang tanah di Tugu (Djakarta), maka tinggallah ia disana hingga matinja pada tahun 1701. Sedjak tahun 1693 ia telah dibebaskan dari pekerdjaannja sebagai pendeta agar supaja dapat mentjurahkan segenap waktunja kepada terdjemahan Alkitab. Terdjemahan ini telah ditugaskan kepadanja, oleh sebab memanglah ternjata bahwa ia memiliki bakat jang luar biasa dalam pengetahuan bahasa Melaju. Tetapi ia telah meninggal sebelum terdjemahannja itu selesai. Selebihnja jaitu mulai dari Epesus 6:6 telah diselesaikan oleh Ds. P. van der Vorm.
+
Melkhior Leydekker, doktor dalam ilmu kedokteran dan theologia datang ke Indonesia pada tahun 1675 dan ditempatkan di Jakarta. Sebagai seorang menantu dari Gubernur Jenderal van Riebeck ia memperoleh sebidang tanah di Tugu (Jakarta), maka tinggallah ia disana hingga matinya pada tahun 1701. Sejak tahun 1693 ia telah dibebaskan dari pekerjaannya sebagai pendeta agar supaya dapat mencurahkan segenap waktunya kepada terjemahan Alkitab. Terjemahan ini telah ditugaskan kepadanya, oleh sebab memanglah ternyata bahwa ia memiliki bakat yang luar biasa dalam pengetahuan bahasa Melayu. Tetapi ia telah meninggal sebelum terjemahannya itu selesai. Selebihnya yaitu mulai dari Epesus 6:6 telah diselesaikan oleh Ds. P. van der Vorm.
-
Memang, deretan ini boleh dilandjutkan dengan menjebut beberapa nama lagi dari djumlah jang begitu besar jang terutama berasal dari negeri Belanda, Djerman dan Swiss. Akan tetapi kita membatasi sadja pilihan tersebut pada mereka jang telah meletakkan batu-batu jang pertama didalam Geredja Protestan di Indonesia serta jang mempunjai arti jang istimewa untuk perkembangan Geredja itu. Nama-nama dari sedjumlah pekerdja-pekerdja Geredja bangsa Indonesia akan dibitjarakan pada fasal jang berikut.
+
Memang, deretan ini boleh dilanjutkan dengan menyebut beberapa nama lagi dari jumlah yang begitu besar yang terutama berasal dari negeri Belanda, Jerman dan Swiss. Akan tetapi kita membatasi saja pilihan tersebut pada mereka yang telah meletakkan batu-batu yang pertama didalam Gereja Protestan di Indonesia serta yang mempunyai arti yang istimewa untuk perkembangan Gereja itu. Nama-nama dari sejumlah pekerja-pekerja Gereja bangsa Indonesia akan dibicarakan pada fasal yang berikut.
<noinclude>{{Sejarah Gereja di Indonesia|footer}}
<noinclude>{{Sejarah Gereja di Indonesia|footer}}
{{DISPLAYTITLE:Para Pekerja Gereja}}</noinclude>
{{DISPLAYTITLE:Para Pekerja Gereja}}</noinclude>

Revisi per 11:47, 1 Juli 2011

Sejarah Gereja di Indonesia
Sejarah Alkitab di Indonesia



Ketika orang-orang Belanda muncul di Asia, dan merasa terpaksa untuk mengambil-alih pekerjaan Gereja di Indonesia dan sebenarnya di seluruh Asia dari tangan orang-orang Portugis, maka mereka sedikitpun tak bersiap-sedia untuk tugas ini. Sedangkan lain halnya dengan orang-orang Portugis yang memang sejak mulanya dapat mempergunakan perkumpulan-perkumpulan misi. Orang-orang Fransiskan, orang-orang Yesuit, orang-orang Dominikan dan yang lain-lain bersedia dan juga sanggup, untuk melakukan pekerjaan rohani dimana saja, pun kerajaan Portugis menegakkan kekuasaannya. Sifat internasional dari Gereja RK sedunia mengakibatkan bahwa pekerja-pekerjanya tidak melulu bernasional Portugis. Disamping padri-padri Portugis terdapat juga padri-padri Spanyol (Franciscus misalnya adalah warga-negara Spanyol!), Italia dan Belgia. Karena itu kendati adanya "padroado" Portugis, perkumpulan-perkumpulan misi mereka itu ke-mana-mana membawa cap internasional dari Gereja RK. Dari ber-bagai-bagai ucapan Franciscus menjadilah jelas, betapa ia membatasi dirinya dari penguasa-penguasa Portugis. Umpamanya senantiasa ia berbicara tentang "orang-orang Portugis" dan bukannya berbicara tentang "pemerintah kita", sebagaimana kebiasaannya para pendeta Belanda dikemudian hari. Jika Gereja Portugis bersifat internasional maka Gereja Belanda bersifat nasional. Mereka beranggapan, terutama ketika baru muncul semangat nasionalnya, bahwa juga pekerjaan gerejanya tidak lepas daripada kepentingan nasional. Oleh karena itu maka ekspedisi yang telah dilakukan secara kejam terhadap orang-orang Banda dapat dirayakn oleh Ds. Hulsebos sebagai "suatu penaklukkan yang diberkati oleh Tuhan yang atasnya kita patut mengucapkan puji syukur yang tak berhingga kepada Allah". Keuntungan serta kehormatan bangsa sendiri rupa-rupa-nya tak dapat dipisahkan dari tindakan pengkristenan terhadap negeri ini. Lagipula orang-orang Kristen dipandang sebagai rakyat yang paling setia; makanya sangatlah mengejutkan bahwa seorang guru agama Ambon, namanya Yan Pays, didalam pemberontakan-pemberontakan Ambon yang besar telah memihak kepada para pemberontak itu. Pada tahun 1653 ia dihukum mati secara dipancung kepalanya dan badannya dipotong empat. "Ekspedisi-ekspedisi Hongi" yang amat ditakuti itu, sering juga disertai oleh seorang pendeta. Peristiwa ini biasanya diakhiri dengan suatu pesta, hari pertama khususnya untuk orang-orang Kristen dan hari kedua merupakan pesta umum, juga untuk orang-orang Islam dan kafir. Hanya beberapa kali kita melihat pendeta-pendeta dan anggota-anggota majelis gereja menentang hubungan Gereja dan negara yang terlampau erat ini. Misalnya di Jakarta, sesudahnya berakhir pemberontakan-pemberontakan Ambon lalu pada tanggal 16 April 1655 diperintahkan untuk mengadakan kebaktian-kebaktian pengucapan syukur, maka beberapa anggota didalam majelis gereja memperdengarkan suaranya yang menentang perintah itu, oleh sebab "peperangan ini tidak adil". Tetapi pada umumnya didalam kesadaran kebanyakan pendeta maka kepentingan Gereja itu sudah menjadi satu dengan kepentingan VOC.

Kesukaran besar dalam soal pekerja-pekerja terutama disebabkan oleh karena pada waktu itu Gereja di Belanda memang sama sekali tidak dapat bersiap-sedia untuk tugas yang luas itu. Belumlah muncul didalam Gereja-gereja reformasi suatu pikiran untuk melakukan pekerjaan Gereja diseberang lautan apalagi untuk mengadakan pekabaran Injil terhadap daerah-daerah yang bukan Kristen. Barulah pada akhir abad ke-16 terdapat perintis-perintis pertama yang insaf akan kewajiban mengabarkan Injil dari Gereja. Akan tetapi hanya beberapa oknum saja yang menginsafinya. Pada abad ke-19 mulailah Gereja menjalankan tugas itu.

Untuk tugas itu Gereja-gereja tidak memiliki organisasi-organisasi, mereka hanya mengenal jabatan-jabatan jemaat. Merekapun tidak mengetahui bagaimana langkah-langkah pertama harus dilakukan supaya dapat membawa orang-orang kepada Kristus dan menghimpunkannya didalam jemaat-jemaat. Menurut keinsyafan mereka maka yang penting hanyalah suatu tata-gereja yang tidak ber-ubah-ubah dengan jemaat-jemaatnya serta jabatan-jabatan yang teratur tetap. Jadi dari manakah memperoleh tenaga-tenaga, yang dalam waktu yang singkat akan ditempatkan ditanah Indonesia yang jauh itu, untuk suatu tugas yang berlainan sekali? Para penghibur-orang-sakit yang pertama sembarang saja telah diangkat oleh Tuan-tuan XVII", supaya ikut belayar dengan kapal-kapalnya. Akan tetapi tidak lama kemudian segera dicari perhubungan dengan beberapa klasis yaitu klasis-klasis yang menghubungkan jemaat-jemaat didalam kota-kota pelabuhan. Memang disanalah terdapat banyak minat terhadap usaha VOC di Indonesia. Dari mereka dimintakan nasihat serta pengesahan atas pengangkatan para penghibur-orang-sakit serta para pendeta. Sejak tahun 1605 sudah disediakan beasiswa oleh VOC bagi beberapa mahasiswa theologia, yang akan dididik untuk pekerjaan di Indonesia. Berdirinya suatu Seminarium Indicum pada tahun 1620 merupakan langkah terpenting untuk memperoleh pendeta-pendeta. Atas nasihat fakultas theologia di Leiden maka dibawah pimpinan gurubesar A. Walaeus dididiklah didalam seminarium itu 12 orang muda. Memanglah ternyata bahwa kecakapan serta kesalehan mereka istimewa jika dibandingkan dengan kawan-kawan sekerja mereka di Indonesia. Tetapi sayang bahwa seminarium ini sesudah berdiri 10 tahun ditutup pada tahun 1630. Pemerintah di Indonesia tiada sudi mempekerjakan pendeta-pendeta yang berpendirian serta bertindak sendiri. Dengan demikian perlengkapan jumlah tenaga-tenaga tetap merupakan suatu kesukaran, ya malah kian lama kian menjadi lebih sukar. Makanya juga dipungut saja sembarang pendeta dan penghibur-orang-sakit untuk dikirimkan ke Indonesia, yang beberapa diantaranya hampir-hampir tidak ditempatkan didalam sesuatu pekerjaan Gereja. Malah kita dapati diantara mereka avonturir-avonturir (petualang-petualang) dan orang-orang yang men-cari-cari untung. Diantara para penghibur-orang-sakit sering terdapat tukang-tukang biasa, yang melalui jalan ini ingin menaiki tangga masyarakat lebih tinggi. Akan tetapi diantara mereka terdapatlah juga sejumlah nama-nama yang patut dipuji. Mereka itulah hamba-hamba Yesus Kristus yang setia, yang menyerahkan dirinya sepenuhnya yang tidak bergoncang dan yang beriman didalam gerejaNya di Indonesia. Dan dapatlah dengan pasti dikatakan bahwa seluruh korps para pekerja Gereja didalam "masyarakat Eropa di Indonesia" berada pada tingkat kebudayaan dan kesadaran moril yang melebihi rata-rata golongan Eropa. Sebab bagaimanakah keadaan waktu itu, jelaslah dari laporan-laporan beberapa pendeta, misalnya dari Ds. Vertrekht, yang bekerja di Ambon dan Banda mulai dari tahun 1643 sampai 1648. Ditulisnya, bahwa "orang-orang Belanda adalah suatu bangsa yang paling fasik, suatu bangsa Sodom dan Gomora, yang menunjukkan bahwa dengan perbuatan-perbuatannya seperti berjudi, mabuk, menghina Firman dan kebaktian kepada Tuhan, mereka tidak peduli lagi akan Allah maupun agama, yang tiap hari melakukan perbuatan-perbuatan yang menyakitkan hati dan keji terhadap orang-orang Ambon yang halus itu, terkecuali beberapa saja yang baik". Dengan latar belakang inilah harus kita menimbang korps para pekerja Gereja. Memang disesalkan perbuatan seorang pendeta seperti Ds. Du Praet di Ambon yang melakukan perdagangan budak. Demikikan pula kita tidak mendalihkan pendeta yang ingin lekas menjadi kaya. Tetapi dengan latar belakang tadi kelakuan mereka itu bukannya merupakan kelakuan yang luar biasa. Jika dibandingkan dengan para rahib, dizaman Portugis, maka kuranglah nilai para pekerja Gereja Protestan. Para rahib senantiasa terikat oleh janji-janji biara dalam hal kemiskinan dan ketaatan, dan justru didalam kedua kebajikan ini para pejabat Gereja Protestan tidak dapat menandingi para monnik (biarawan). Terlebih pula sebagaimana halnya dengan kebanyakan orang-orang Portugis pada waktu itu, maka para padri ini merupakan orang-orang yang menetap, dan bukan orang-orang yang sebentar lagi akan berangkat pula. Bagi mereka tidak ada kontrak-kontrak buat beberapa tahun, untuk kemudian kembali ketanah air. Dan oleh karena itu pekerjaan merekapun dapat berakar lebih dalam didunia Indonesia, dibandingkan dengan orang-orang Protestan pengganti mereka itu. Jelaslah, bahwa pekerjaan Gereja dari para pendeta dan para penghibur-orang-sakit ini amat tergantung kepada pusat. Keadaan sedemikian tidak sesuai dengan tatagereja presbyterial. Selain daripada itu mejelis-majelis gereja - terutama di Jakarta dan Ambon - terdiri dari pegawai-pegawai VOC. Dan guna kepentingan hidup mereka sendiri, sukarlah bagi mereka untuk melaksanakan sesuatu yang bertentangan dengan kehendak pemerintah. Pendeta-pendetapun hanyalah "pegawai-pegawai negeri" dan oleh tindakan-tindakan yang keras dari banyak gubernur para pendeta ini merasa bahwa mereka hanya wajib menaati saja. Sering hukuman-hukuman yang keras dijalankan terhadap mereka itu. Misalnya pemindahan paksa, pengiriman kembali kenegeri Belanda, penahanan didalam penjara. Kesukaran lain pula yang dialami oleh para pendeta itu ialah hubungan yang sangat berjauhan antara golongan Eropa dengan golongan Indonesia. Diantara keduanya itulah mereka harus berdiri. Disamping harus melayani orang-orang Belanda yang kasar-kasar serta cabul itu, merekapun harus melayani orang-orang Kristen Indonesia yang baru dibaptiskan. Pada hakekatnya berdasarkan keadaan serba tanggung-tanggung ini hampir-hampir mereka tidak dapat mengadakan hubungan-hubungan dengan orang-orang Indonesia. Tambahan dapat pula mereka dihalangi oleh pengetahuan mereka yang amat kurang dalam bahasa Melayu. Hanya beberapa yang dapat memahirkan dirinya didalam bahasa itu. Selain itu sebenarnya hanya dibeberapa kota besar saja bahasa Melayu itu dipergunakan sebagai bahasa pergaulan, sedangkan yang umum dipakai ialah "bahasa-bahasa daerah". Makanya juga pada "perkunjungan-perkunjungan" ke-pulau-pulau yang jauh-jauh letaknya, bahasa "Melayu" mereka tidak dapat menghasilkan hubungan-hubungan yang sesungguhnya. Pula perkunjungan-perkunjungan ini seringkali memisahkan mereka untuk beberapa bulan lamanya dari pekerjaan jemaatnya ditempatnya. Akibatnya ialah bahwa pembangunan jemaat yang sesungguhnya hampir tidak dapat dilaksanakan. Pada pihak lain pula mereka tidak dapat berbuat apa-apa terhadap pulau-pulau yang hanya dikunjungi beberapa hari itu. Pendek kata, para pendeta itu kebanyakannya melakukan suatu pekerjaan, yang sedikit sekali memberi hasil dan karenanya juga kurang memberi kepuasan. Sebab itu juga kebanyakan dari mereka hanya mau tinggal di Indonesia selama suatu kontrak. Lagi pula banyak dari mereka yang gugur dalam pekerjaannya oleh karena menderita penyakit-penyakit dan mengalami kematian-kematian yang lekas. Karena itulah terjadi perubahan-perubahan yang cepat didalam korps para pekerja Gereja dan tidaklah terdapat sama sekali suatu kelangsungan pertumbuhan rohani didalam jemaat-jemaat.

Patutlah kita menyebutkan khusus beberapa pendeta yang telah berjasa besar karena kecakapan dan penyerahan diri mereka sepenuhnya kepada pekerjaan Gereja di Indonesia.

Kaspar Wiltens, lahir pada tahun 1584 di Antwerpen, adalah pendeta Belanda yang pertama di Indonesia. Pada tahun 1610 ia diuji dan ditahbiskan oleh klasis di Amsterdam bagi pelayanan Gereja di "Indië" dan pada tahun 1612 datanglah ia ke Indonesia. Ia ditempatkan di Bacan, 1614 di Ambon, 1617 ke Banda sebagai "hukumannya," dari sana kembali pula ke Ambon dimana ia pada tahun 1619 meninggal dunia dalam usia yang masih muda yaitu 31 tahun. Ia telah berusaha mempelajari bahasa "Melayu" dan membuat serangkaian khotbah-khotbah dalam bahasa melayu guna dibacakan didalam kebaktian-kebaktian Indonesia. Ber-puluh-puluh tahun lamanya khotbah-khotbah ini masih dipergunakan dan beberapa kali dicetak ulang.

Pendeta pertama dari Jakarta ialah Adriaan Yacobsz Hulsebos. Sebenarnya ia adalah seorang guru, akan tetapi berdasarkan bakat-bakatnya ia telah diterima sebagai pendeta dan diutus ke Indonesia. Pada tahun 1616 tibalah ia di Indonesia dan masih mengalami pendudukan orang-orang Belanda atas Jakarta. Ber-sama-sama dengan Danckaerts ia telah menyusun tatagereja yang pertama bagi Indonesia. Iapun telah meresmikan majelis gereja Jakarta yang pertama. Kemudiannya itu ia dikirim ke Banda dan Ambon untuk melantik juga di-tempat-tempat ini majelis-majelis gerejanya. Akan tetapi pada perjalanannya ini ditahun 1622 ia mati tenggelam ketika memasuki teluk Ambon.

Sebastiaan Danckaerts, lahir pada tahun 1593 di Den Haag, berangkat ke Indonesia pada tahun 1617. Sesudah setahun tinggal dikampung orang Belanda di Banten, maka pada tahun 1618 ia dipindahkan ke Ambon, dimana hingga tahun 1622 ia telah melakukan pekerjaan yang penting. Berkat usahanyalah maka dapat dididik guru-guru yang pertama, yang dilakukan dalam semacam "seminari" dirumahnya. Sesudah suatu masa cuti dinegeri Belanda dimana ia hadir juga pada Synode Dordrekht, kembalilah pula ia pada tahun 1624 dan bekerja di Jakarta hingga matinya pada tahun 1634. Dialah pula sebenarnya yang telah menyusun tatagereja yang pertama (1624) dan sebuah katekismus Melayu.

Georgius Candidius, seorang Jerman dari daerah Paltz, lahir pada tahun 1597, datang ke Indonesia pada tahun 1625 dan ditempatkan di Ternate. Disana ia mengalami penganiayaan-penganiayaan yang terberat dari seorang wakil pemerintah disebabkan ia telah berani menegurnya karena tingkah-laku hidupnya yang tiada senonoh. Dari sana ia dipindahkan ke Formosa. Disitu ber-sama-sama dengan pendeta Yunius yang cakap itu, ia telah mempelajari sungguh-sungguh bahasa negeri itu. Tetapi pada tahun 1638 dan sesudah bercuti di Belanda kembali pada tahun 1644 sampai matinya pada tahun 1647.

Akan tetapi tidaklah dapat disangkal bahwa yang paling cakap diantara para pendeta itu ialah Yustus Heurnius, lahir pada tahun 1587 di Utrekht. Setelah membuat pelajaran didalam ilmu kedokteran dan kemudian ilmu theologia, berangkatlah ia dalam usia 36 tahun ke Indonesia pada tahun 1624. Sesudah bekerja 8 tahun di Jakarta, iapun dipindahkan ke Saparua dimana ia tinggal sampai tahun 1638. Pada tahun itu ia kembali ke Belanda dan meninggallah ia pada tahun 1652. Sebagai seorang mahasiswa enam tahun sebelum diutus, ia sudah menulis sebuah buku, yang pada pertama kalinya di Belanda membahas soal kewajiban memberitakan Injil. Nama buku itu ialah "De Legatione evangelica ad Indos capessenda admonitio" ("Ajakan untuk memulai pekabaran Injil diantara orang-orang Indonesia") dikarang pada tahun 1618. Di Jakarta ia berusaha untuk mengadakan hubungan-hubungan zending dengan penduduk Tionghoa yang banyak itu. Antara lain ia telah ikut menyelenggarakan suatu daftar kata-kata Tionghoa-Latin-Belanda, kemudian ia terutama mengerjakan terjemahan-terjemahan dan peninjauan kembali dari terjemahan-terjemahan Alkitab. Ia telah mengalami banyak sekali kesukaran karena sikapnya yang tegas dan berani terhadap tindakan-tindakan pemerintah yang se-wenang-wenang. Hal ini juga telah menahan dia untuk kembali ke Indonesia. Yang amat penting ialah usulnya untuk mendirikan di Indonesia suatu pendidikan theologia bagi orang-orang Indonesia (1629). Atas nasihat Gereja-gereja di Belanda sayang hal itu tidak terlaksana, sebab orang menyangka bahwa dengan cara demikian kemurnian ajaran tidak dapat dijamin lagi. Pandangan yang picik ini telah sangat merugikan perkembangan Gereja-gereja di Indonesia.

Abraham Rogerius seorang mahasiswa tamatan Seminari Indicum, diutus pada tahun 1632 dan bekerja di India Selatan dari tahun 1632-1642. Disana ia demikian memahirkan diri dalam bahasa Portugis, sehingga ia dipanggil untuk bekerja pada "jemaat Mardeika" yang berbahasa Portugis di Jakarta dari tahun 1643-'47. Kecuali beberapa terjemahan kedalam bahasa Portugis, ia telah mengadakan juga suatu penyelidikan penting tentang cara-cara pekabaran Injil di India Selatan: "Gentilismus reseratus" ("Pintu kekafiran yang terbuka)".

Selanjutnya diantara orang-orang yang berbahasa Portugis bekerjalah juga Ferreira d'Almeida, seorang yang rajin sekali serta berbakat, lahir di Lisboa pada tahun 1628. Agaknya ia tadinya seorang anggota ordo Yesuit, yang kemudian menjadi Protestan. Mula-mula ia diangkat sebagai penghibur-orang-sakit, kemudian ditahbiskan menjadi pendeta (1654) di Sailan dan sejak tahun 1663 bekerja di Jakarta diantara orang-orang "Mardeika". Pada tahun 1689 ia dipensiunkan dan meninggal di Jakarta pada tahun 1691. Semasa hidupnya ia telah menterjemahkan kedalam bahasa Portugis katekismus Heidelberg dan tulisan-tulisan mengenai liturgi, tetapi usahanya yang terutama ialah menterjemahkan juga seluruh Alkitab.

Kita sebut lagi Franciscus Valentiyn, bukan lantaran prestasi-prestasinya sebagai pendeta, melainkan berhubung dengan beberapa buku penting yang telah dikarangnya. Dilahirkan di Dordrekht pada tahun 1666, dan baru berusia 19 tahun ia telah diutus dan ditempatkan di Ambon (1686), dan tinggal disana untuk waktu yang lama. Bukunya yang 5 jilid tentang "Oud en Nieuw Oost Indië (Indonesia Lama dan Baru) membuktikan kecakapannya untuk mengumpulkan segala hal yang patut diketahui. Selanjutnya ia telah mengerjakan terjemahan Alkitab didalam bahasa "Melayu rendah" dan mencoba supaya terjemahannya itu yang dicetak dan bukannya terjemahan Leydekker yang pada waktu itu telah diusahakan juga. Akan tetapi hasil usahanya tidak diterima untuk dicetak.

Melkhior Leydekker, doktor dalam ilmu kedokteran dan theologia datang ke Indonesia pada tahun 1675 dan ditempatkan di Jakarta. Sebagai seorang menantu dari Gubernur Jenderal van Riebeck ia memperoleh sebidang tanah di Tugu (Jakarta), maka tinggallah ia disana hingga matinya pada tahun 1701. Sejak tahun 1693 ia telah dibebaskan dari pekerjaannya sebagai pendeta agar supaya dapat mencurahkan segenap waktunya kepada terjemahan Alkitab. Terjemahan ini telah ditugaskan kepadanya, oleh sebab memanglah ternyata bahwa ia memiliki bakat yang luar biasa dalam pengetahuan bahasa Melayu. Tetapi ia telah meninggal sebelum terjemahannya itu selesai. Selebihnya yaitu mulai dari Epesus 6:6 telah diselesaikan oleh Ds. P. van der Vorm.

Memang, deretan ini boleh dilanjutkan dengan menyebut beberapa nama lagi dari jumlah yang begitu besar yang terutama berasal dari negeri Belanda, Jerman dan Swiss. Akan tetapi kita membatasi saja pilihan tersebut pada mereka yang telah meletakkan batu-batu yang pertama didalam Gereja Protestan di Indonesia serta yang mempunyai arti yang istimewa untuk perkembangan Gereja itu. Nama-nama dari sejumlah pekerja-pekerja Gereja bangsa Indonesia akan dibicarakan pada fasal yang berikut.


Bibliografi
Artikel ini diambil dari:
Kruger, Dr. Th. Muller. 1966. Sejarah Gereja di Indonesia. Badan Penerbitan Kristen-Djakarta.
kembali ke atas