Tweet
Sedjak 1935 GPM selaku Geredja jang berdiri sendiri. Rasanja tidaklah perlu lagi untuk membentangkan sedjarah Geredja di Maluku pada zaman Portugis dan VOC. Pada satu pihak harus diakui bahwa sedjarahnja selama dua setengah abad itu hanjalah merupakan "pra sedjarah" sadja dari Geredja itu. Namun begitu terkumpullah djuga pada waktu itu sedjumlah orang-orang Kristen jang tidak sedikit, biarpun mereka itu diperanaktirikan sadja dalam Geredja VOC. Bagian-bagian jang berbahasa Indonesia dari Geredja VOC membontjeng sadja pada djemaat-djemaat jang chusus dibentuk untuk orang-orang Belanda. Memang agama Kristen sudah berakar dibeberapa daerah Maluku, akan tetapi tunas-tunas jang baru bertumbuh itu sangat kurang dipelihara dan diperkembang, sehingga kekristenan mereka tertjampurlah dengan anasir-anasir jang berasal dari agama kafir dahulu. Tradisi geredjani memang ada, akan tetapi keinsafan mereka mengenai arti serta kebenaran kekristenan sangatlah kurang. Kekristenannja itu dianggap hanja merupakan salah satu agama disamping agama-agama lain, dan agamanja ialah "agama Belanda". Sedjak tahun 1801 hampir tidak terdapat seorang pendeta Belanda di Ambon sampai tibanja J. Kam pada tahun 1816. Hanja pada tahun 1808 untuk dua bulan lamanja dilakukan pemeliharaan rohani oleh pendeta van den Broek, jang meninggal disitu tidak berapa lama kemudian. Demikian merosotnja kekristenan pada waktu itu sehingga pada tahun 1809 gedung geredja Ambon pun mau didjadikan sebuah gudang. Keadaan jang sangat menjedihkan itu berlaku djuga di-djemaat-djemaat jang lain. Di Saparua misalnja terdapat lowongan pendeta sedjak tahun 1801 dan baru pada tahun 1807 dan 1809 terdjadilah perkundjungan pendeta sedjak tahun 1796 sampai 1819, Banda dari 1800 sampai 1820. Memang ada beberapa guru sekolah jang memimpin kebaktian-kebaktian dengan membatjakan chotbah-chotbah serta doa-doa menurut kebiasaan Geredja VOC. Tetapi kita dapat membajangkan keadaan Geredja jang berpuluh-puluh tahun lamanja tidak dilajani sakramen-sakramen serta pemberkatan nikah oleh seorang pendetapun.Pada waktu pemerintahan Inggris jang pendek itu (1811-1815) masuklah para pekabar Indjil Inggris jang pertama di Indonesia. Djuga ke Ambon diutus seorang, jaitu Jabez Carey, anak William Carey, perintis pekabaran Indjil jang ternama di India. Pergaulannja dengan orang-orang Ambon demikian baiknja sehingga dengan sangat sedih hati disertai tangisan mereka berpisah dari padanja ketika ia terpaksa meninggalkan Ambon pada tahun 1817.
Dari Sejarah Alkitab Indonesia
(←Membuat halaman berisi ''''I. Geredja Protestan Maluku''' # Sedjarah GPM sampai 1864 ## GPM mempunjai sedjarah jang paling lama di Indonesia. Sedjarahnja mentjerminkan hidupnja dari abad keabad...') |
k (1 revisi) |
Revisi per 09:00, 5 Mei 2011
I. Geredja Protestan Maluku
- Sedjarah GPM sampai 1864
- GPM mempunjai sedjarah jang paling lama di Indonesia. Sedjarahnja mentjerminkan hidupnja dari abad keabad sehingga beraneka warnalah keadaannja. Malah dapat dikatakan bahwa sedjarah GPM merupakan sebuah ringkasan dari sedjarah Geredja di Indonesia pada umumnja. Sedjarahnja itu dapat kita bagi sebagai berikut:
± 1540-1605 | Usaha Misi RK Portugis serta pengkristenan jang pertama |
± 1605-1815 | Geredja di Maluku dibawah pemeliharaan Geredja VOC sampai 1800 - dan djangka pendek jang berikutnja dibawah pemeliharaan Pekabaran Indjil dari pihak Inggris (1814- 1817). |
± 1815-1864 | Hidupnja kembali Geredja di Maluku oleh usaha Pekabaran Indjil NZG dalam kerdjasama dengan Geredja Protestan. |
± 1864-1935 | Geredja di Maluku dibawah pimpinan Geredja Protestan serta perkembangan Geredja itu. |
- Akan tetapi pada tahun 1816 tibalah seorang pekabar Indjil jaitu J. Kam jang kemudian mendapat gelar "Rasul Maluku", begitulah tertulis pada kuburannja di Ambon. Sebenarnja kita ingin merobah gelar itu mendjadi "Reformator Maluku", oleh karena pekerdjaan Kam itu bukannja untuk pertama kalinja menanamkan Indjil didaerah itu, melainkan dengan segala daja-upajanja ia berusaha memperbaiki keadaan geredjani jang sangat mengetjewakan itu. Kam sudah berusia 44 tahun ketika ia diutus ke Ambon. Sebelum itu ia melakukan pekerdjaan jang rendah sesuai dengan pendidikannja djuga. Akan tetapi ia sungguh jakin akan panggilan Tuhan terhadapnja. Sesudah pendidikannja beberapa tahun lamanja iapun diutus ke Indonesia ber-sama-sama dengan dua orang pekabar Indjil dari Djerman, jaitu Supper dan Bruckner, pada tahun 1814. Berhubung dengan keadaan politik pada waktu itu maka mereka diutus dengan perantaraan "Perhimpunan Pekabaran Indjil dari London". Baru pada tahun 1815 tibalah mereka di Djakarta. Disitu ketiga orang ini "disita" oleh Geredja Protestan jang pada waktu itu amat kekurangan tenaga-tenaga. Kam ditempatkan di Ambon untuk memelihara Geredja didaerah itu. Pada tahun 1816 tibalah ia di Ambon. Ketika ia melalui Surabaja ia menghidupkan disitu segolongan orang-orang Kristen jang mempunjai arti bagi permulaan Geredja Djawa Timur dikemudian hari.Di Ambon Kam mewakili Geredja Protestan untuk seluruh Indonesia Timur. Dialah satu-satunja pendeta jang ditempatkan diwilajah jang sangat luas itu dengan tugas geredjani. Bukankah wilajah itu begitu luas, sehingga ia seorang diri mustahil dapat mentjapai hasil biarpun sedikit sadja, bilamana Kam benar-benar mentjoba hendak mengerdjakan seluruh wilajah itu? Bukankah ia dapat bekerdja dengan hasil jang memadai disatu daerah jang terbatas sadja, misalnja di Ambon sendiri? Kam memberanikan dirinja untuk melakukan apa jang dianggap "mustahil". Sebuah perahu jang dibuat sendiri membawa dia kesana kemari, ber-kali-kali ia mengadakan pelajaran dengan tiada henti-hentinja. Ia berlajar sampai ke Ternate, Manado dan Sangir Talaud, kepulauan Baru dan kekepulauan sebelah selatan, sampai ke Aru, Kai dan Tanimbar, bahkan sampai ke Kupang. Ia mengundjungi djemaat jang sudah tidak terpelihara lagi. Dengan girangnja bahkan dengan gairahnja orang-orang Kristen itu menjambutnja. Tibanja seorang pendeta dikepulauan jang terpentjil berarti bahwa ada kesempatan untuk membaptiskan anak-anak untuk memberkati pernikahan-pernikahan jang sudah puluhan tahun lamanja. Dapatkah Kam memenuhi segala permintaan penduduk itu, jang kekristenannja sering menurut nama sadja? Ditjeritakannja bahwa dipantai sebuah pulau jang terpentjil ia disambut oleh sebuah pawai terdiri dari seluruh penduduk kampung itu. Radja beserta tua-tuanja, ja seluruh rakjat menjambut dia dengan gembira sekali. Dimuka pawai itu berdjalanlah wanita-wanita jang tua. Mereka berpakaian hitam dengan kain pikul seperti kebiasaan suku Ambon. Mereka masing-masing memegang sebuah buku mazmur ditangannja dan bernjanji dengan sungguh-sungguh hati. Memang lagu-lagu jang dinjanjikan mereka gandjil sekali kedengarannja, mereka sudah lupa lagu jang sebenarnja. Perkataan-perkataannja pun mereka tidak ingat lagi. Lagipula sebenarnja mereka itu buta huruf, sehingga tidak bisa membatja buku mazmur itu, bahkan diantara mereka ada beberapa wanita jang memegang buku mazmur itu terbalik. Peristiwa itu melukiskan kepada kita keadaan geredjani jang sedang dialami oleh Kam. Di mana-mana rakjat sangat menghargai Geredja Kristen, akan tetapi Geredja itu sudah hampir runtuh.Kam berpendapat, bahwa selaku pendeta ia Wadjib melajani sakramen dan pemberkatan nikah untuk mereka. Ribuan orang dibaptiskannja pada perkundjungan-perkundjungan itu, namun tidaklah mungkin baginja untuk melakukan pemeliharaan rohani setjukupnja buat mereka sekalian. Tetapi dengan sangat giat ia mentjari djalan untuk memperbaiki keadaan jang djelek itu. Per-tama-tama ia menempatkan pekabar-pekabar Indjil di-daerah-daerah itu. Sedjak tahun 1818 dan tahun-tahun jang berikutnja maka Ternate, Banda, Kupang diduduki oleh beberapa pekabar Indjil. Kemudian ia mengutus pekabar-pekabar Indjil baik ke Leti, Kisar, Moa dikepulauan Tenggara, maupun kedaerah Minahasa, Ambon merupakan pusat untuk segala pekerdjaan geredjani di Indonesia Timur. Dari situlah dilakukannja kehidupan kembali diseluruh wilajah.Akan tetapi bukan sadja penempatan para pekabar Indjil jang dapat menimbulkan hidup baru didalam tubuh geredja jang hampir mati itu. Soal kedua jang diperhatikan oleh Kam ialah memperoleh buku-buku katekisasi dan mazmur bagi djemaat-djemaat jang sudah lalai itu. Kekurangan buku-buku adalah sedemikian rupa hingga orang-orang Maluku bersedia untuk membajar 20 ringgit untuk sebuah kitab Perdjandjian Baru. Pada tahun 1819 ia mendirikan sebuah pertjetakan di Ambon jang menerbitkan ribuan buku katekismus, sedangkan dari Belanda dikirim 100.000 buku mazmur bahasa Melaju. Selain daripada itu Kam membuka sebuah sekolah guru djemaat pada tahun 1821, supaja dapat diperoleh tenaga-tenaga jang tjukup untuk djemaat-djemaat jang tidak terpelihara lagi itu. Pada tahun 1893 Kam meninggal dunia. Dengan giatnja dan bersusah-pajah ia bekerdja 17 tahun lamanja terus menerus. Pada waktu itu belum tampak apa-apa dari usahanja itu. Geredja-geredja jang dibentuk seabad kemudiannja jaitu GPM, GMIM dan GMIT, belum memperlihatkan apa-apa tentang batas masing-masing. Daerah-daerah itu masih merupakan suatu wilajah Geredja Protestan bagian Indonesia Timur. Akan tetapi tak dapat disangkal, bahwa terdjadinja Geredja-geredja itu adalah berkat persediaan Kam, jang sudah membangunkan kembali kekristenan di Maluku dari tidurnja. Benarlah djika Geredja Maluku menganggapnja selaku reformator kekristenan diwilajah itu.
- Ada kesulitan sedikit dalam bentuk pekerdjaan geredjani di Indonesia Timur pada waktu itu. Pada satu pihak hampir segala pekerdjaan itu dilakukan oleh para pekabar Indjil NZG. Pun NZG memberi banjak sokongan setjara materi, misalnja buku-buku dsb-nja, bagi usaha itu. Pada pihak lain Geredja Protestanlah jang memelihara Geredja Kristen di Indonesia Timur. Geredja itu menempatkan Kam di Ambon serta memberikan hak kepadanja untuk memimpin pekerdjaan geredjani diwilajah itu. Geredjalah pula jang membiajai para pekabar Indjil, andaikata mereka dipindjamkan oleh NZG kepadanja. Lambat laun Geredja ingin menempatkan pendeta-pendetanja sendiri disitu. Sedjak tahun 1835 sedjumlah pendeta Belanda dipindahkan ke Ambon untuk melakukan usaha-usaha geredjani disitu akan tetapi diantara mereka itu tidak terdapat lagi seorang seperti Kam. Sama seperti pada waktu VOC maka mereka lebih memperhatikan djemaat Belanda daripada orang-orang Kristen Ambon, jang ribuan djumlahnja itu. Memang tidak ada sedikitpun pergaulan dengan masjarakat, ter-lebih-lebih oleh karena seorang demi seorang mereka meninggal di Ambon dalam waktu jang singkat. Lagi pula masih ada beberapa pekabar Indjil NZG disitu jang mengerdjakan djemaat-djemaat di Ambon dan dikepulauan Lease. Mereka berusaha melakukan pekerdjaannja baik setjara rohani maupun setjara materiil. Salah satu usaha jang sangat bermanfaat ialah sekolah guru jang didirikan oleh Roskott pada tahun 1836 di Batu Merah, letaknja diteluk Ambon. Roskott bermaksud mendidik guru-guru untuk sekolah-sekolah Kristen jang disamping itu dapat memimpin djemaat-djemaat ketjil. Makin lama makin banyak hasil sekolah guru itu untuk seluruh kepulauan Maluku. Kira-kira 100 guru dihasilkannja untuk 80 sekolah rakjat. Bahkan pemerintah menghargai pekerdjaan Roskott demikian rupa, sehingga ia diangkat mendjadi Inspektur sekolah-sekolah pada tahun 1851.Dapat dimengerti bahwa lambat laun berkembanglah usaha kehidupan djemaat-djemaat didaerah itu. Tetapi djustru keadaan jang makin baik itu menimbulkan banjak kesulitan. Menurut tradisi di Ambon dan Lease maka rapatlah sekali hubungan djemaat dengan pemerintah desa disitu jang disebut "negorij" ("negeri", kampung). Sudah berabad lamanja Geredja, sekolah dan balai pemerintahan desa merupakan suatu kesatuan didalam negorij-negorij itu. Bahkan radja jang disebut "regent" mempunjai tempat duduk kehormatan didalam gedung geredja. Tetapi disebabkan hidup jang baru didalam djemaat masing-masing, kadang-kadang terdjadilah pertjektjokan diantara para pekerdja geredja dengan para pemerintah negorij itu, jang sering tidak puas dengan keadaan jang baru oleh karena mereka kuatir bahwa kekuasaannja akan dibatasi didalam djemaat, dan tidak bisa lagi melakukan perbuatan jang se-wenang-wenang. Bagaimanakah memperbaiki keadaan jang sulit itu? Roskott mengusulkan supaja para pekabar Indjil mendapat kuasa pemerintahan di-tempat-tempat mereka. Dengan demikian maka para "regent" itu harus tunduk sadja kepada mereka. Tetapi pemerintah Belanda menolak usul jang memang kurang bidjaksana itu. Bahkan pusat Geredja Protestan dengan tegas melarang para pekabar Indjil turut tjampur tangan dalam pemerintahan desa. Pusat itu agaknja tidak berkeberatan bahwa para "regent" tjampur tangan dalam hal ihwal djemaat - menurut kebiasaan jang sudah bersedjarah. Pusat Geredja Protestan tidak lain hendak menundjukkan ketaatannja terhadap pemerintah Belanda, jang pada pihaknja mau menutupi sadja kesulitan-kesulitan tersebut.Kedjadian itu mendjadi alasan bagi pusat Geredja Protestan untuk memutuskan bahwa di Ambon harus ditempatkan 4 pendeta Belanda, artinja tenaga geredjani jang tidak berasal dari pihak Pekabaran Indjil. Bahkan pemerintah Belanda memutuskan supaja daerah Ambon dan sekitarnja ditutup untuk Pekabaran Indjil sedjak tahun 1842, dengan dalih bahwa disitu sudah terbentuk Geredja jang tatap. Tetapi para pekabar Indjil masih dperlukan disitu, karena tenaga-tenaga pendeta Geredja Belanda tidak ada. Djalan keluar daripada kesulitan itu terdapat dalam perdjandjian antara NZG dan Geredja Protestan. Menurut perdjandjian itu NZG memindjamkan 6 orang pekabar Indjil kepada Geredja Protestan selama 10 tahun jakni 1854-1864. Gadji ke-6 orang itu ditetapkan sama tinggi dengan gadji dua orang pendeta Belanda. Demikianlah Geredja Protestan mendapat tenaga-tenaga jang diawasi pekerdjaannja oleh Geredja Protestan, sehingga pertjektjokan tersebut tidak timbul lagi. Perdjandjian itu menjebabkan pula suatu kedjadian jang sangat penting terhadap bentuk Geredja Protestan, ialah tersusunnja tingkat "pendeta pembantu". Kedjadiannja adalah sebagai berikut: pada tahun 1864 NZG tidak bersedia lagi untuk melandjutkan perdjandjian tersebut. Akan tetapi untuk mentjukupi kebutuhan tenaga-tenaga geredjani maka pemerintah beserta dengan Geredja Protestan mentjiptakan tingkat pendeta pembantu. Hal itu dibeslitkan pada tahun 1867. Beberapa peabar Indjil diambil alih mendjadi pendeta pembantu, lalu tenaga-tenaga baru dipanggil dari Belanda untuk pekerdjaan itu. Mereka biasanja menerima pendidikan untuk mendjadi pekabar Indjil serta diterima dalam pekerdjaan Geredja Protestan sesudah tamat dari salah satu udjian didepan "Komisi Den Haag".Djelaslah bahwa dengan dipekerdjakannja para pendeta pembantu didalam Geredja itu habislah pengaruh Pekabar Indjil setjara resmi. Kita sudah melihat diatas tadi, bahwa pada tahun 1842 daerah Ambon sudah ditutup untuk Pekabaran Indjil. Memang suatu Geredja jang didukung oleh pemerintah jang bersifat netral, tidak diizinkan lagi untuk mengabarkan Indjil kepada mereka jang bukan Kristen, karena hal itu menjinggung kenetralan pemerintah. Sikap itu menjebabkan pula dirobahnja sekolah-sekolah geredja mendjadi sekolah-sekolah pemerintah kira-kira pada tahun 1850. Memang suatu Geredja "pemerintah" tidak diizinkan mengusahakan sekolah-sekolah Kristen. Tindakan jang ketiga untuk melepaskan Geredja Maluku dari pengaruh-pengaruh Pekabaran Indjil jang tidak dikehendaki ialah terbentuknja tingkat "pendeta pembantu" jang dibentangkan diatas tadi. Merekapun mendjadi pegawai negeri seperti djuga para pendeta, dan tidak bergantung lagi kepada NZG. Dengan demikian tidaklah berlaku lagi bagi mereka tugas pekabaran Indjil dari NZG. Namun begitu pada sebagian dari mereka tetaplah ada hasrat untuk mengabarkan berita kesukaan. Memang diantara para pendeta pembantu ada djuga sedjumlah jang bersifat pekabar Indjil, sehingga usaha pekabaran Indjil tidak berhenti sama sekali didalam Geredja Maluku.'
- Dari 1864 sampai 1935
- Dengan terhentinja kerdjasama NZG dan Geredja Protestan maka berkembanglah organisasi Geredja Protestan diseluruh daerah itu. Makin lama makin tegaslah batas-batas daerah jang diliputi oleh Geredja Maluku, daerah-daerah Geredja Minahasa dan Timor kemudiannja. Hanjalah mengenai kepulauan dibarat daja, jaitu Leti, Moa, Kisar, Wetar belum ada keputusan, apakah itu termasuk daerah Maluku atau daerah Timor. Baru pada tahun 1936 ditetapkan oleh karena perhubungan jang lebih lantjar bahwa pulau-pulau itu terikat didalam Geredja Maluku. Djemaat-Djemaat Geredja itu terletak terutama dipulau Ambon bagian Laitimur, sedangkan bagian Hitu sudah diislamkan sebelum zaman VOC. Djemaat-djemaat jang lain terdapat pula dikepulauan Lease ialah Haruku, Nusalaut dan Saparua. Disebelah Utara termasuk pula Ternate, jang diduduki oleh seorang pendeta pembantu jang mengawasi djemaat-djemaat Batjan dan Tidore. Dipulau Seram ada djuga dua djemaat, di Amahai dan di Kamarian (Piru). Djuga dipulau Buru bagian utara terdapat djemaat Kajeli jang termasuk Geredja Maluku pada waktu itu. Achirnja harus ditjatat pula djemaat jang ada di Bandaneira. Pada achir abad ke-19 mendjadi lebih luaslah daerah Geredja Maluku. Ber-angsur-angsur beberapa kepulauan sebelah tenggara dan selatan dikerdjakan untuk pertama kali. Mengherankan bahwa suatu Geredja jang paling tua, jang sudah bersedjarah ber-abad-abad lamanja, tidak sanggup untuk melakukan pekabaran Indjil didaerahnja sendiri. Memang kira-kira pada tahun 1635 pulau-pulau Aru dikundjungi oleh seorang pendeta VOC, djuga dapat diduga bahwa dikepulauan Tanimbar terdapat sisa-sisa kekristenan dari zaman VOC. Akan tetapi orang-orang Kristen disitu diabaikan sadja, sehingga Kam jang mengundjungi kepulauan itu kira-kira pada tahun 1819 tidak menemukan seorang Kristen lagi disitu. Usaha pekabaran Indjil jang mulai pada achir abad itu disebabkan oleh dua alasan, pertama bahwa baru pada bagian kedua abad ke-19 pemerintah memberikan perhatian kepada kepulauan itu. Hal itu berhubung dengan perobahan politiknja diseluruh wilajah Indonesia. Dan memang, bilamana pemerintah membuka tanah, maka Geredjapun lantas mengikutinja. Alasan kedua jakni perhatian jang ditjurahkan oleh pihak RK kepada kepulauan tersebut mulai tahun 1880. Sesudah RK mengusahakan misi disitu, barulah Geredja Protestan bertindak djuga. Pulau Tanimbar misalnja sudah dikundjungi oleh Kam pada tahun 1825, tetapi baru pada tahun 1882 pekerdjaan dapat dimulai disitu. Demikian pula halnja dipulau Kai, tempat markas RK memulai pada tahun 1890 sedangkan Geredja Protestan memulai usahanja pada tahun 1900. Pada bagian pertama abad ini hampir selesailah pengkristenan kepulauan-kepulauan itu. Kita telah mengetahui bahwa sebenarnja perluasan setjara pekabaran Indjil tidak diizinkan kepada Geredja Protestan pada waktu itu. Hal itu berarti bahwa sebagian besar dari biaja itu harus mendjadi beban Geredja Protestan sendiri.Pulau Burupun sebagiannja dari "Utrechtsche Zendings Vereniging" (UZV) diserahkan kepada Geredja Maluku pada tahun 1933. Usaha pekabaran Indjil dipulau itu sudah dimulai pada zaman VOC. Di Kajeli jang letaknja di Buru Utara terdapat segolongan orang Kristen Ambon. Akan tetapi baru sedjak tahun 1879 usaha pekabaran Indjil diadakan oleh beberapa guru Ambon, jang dipimpin oleh pendeta pembantu di Alang (pulau Ambon). UZV-lah jang mengutus seorang pekabar Indjil kedaerah Buru Selatan (Masareta) pada tahun 1885. Para pekabar Indjil UZV mendjalankan pengindjilan dipulau itu sampai saat perang dunia kedua. Sedjak 1911 djuga daerah Buru Utara (Namlea) dimasuki oleh mereka, dan mulai 1917 dipedalaman (Waekatin). Pada tahun 1934 daerah sebelah utara (Kajeli dll.) diserahkan oleh UZV kepada Geredja Protestan, sedangkan disebabkan oleh perang dunia kedua maka seluruh daerah itu termasuk kedalam wilajah GPM. Selain daripada itu kita mentjatat bahwa djemaat-djemaat Ambon dan Lease bersedia menjokong usaha Pekabaran Indjil di Irian Barat, bagian Fakfak dan Kaja-kaja (Merauke). Melihat luasnja wilajah jang diliputi oleh Geredja Maluku maka mengertilah kita bahwa tidak ada sebuah Geredja lainpun di Indonesia jang begitu sulit keadaan geografisnja seperti Geredja Maluku itu. Sebenarnja Geredja itu merupakan Geredja kepulauan.
- Sedjak 1864 setjara ber-angsur-angsur organisasi Geredja itu mendjadi rampung. Ditetapkanlah bahwa di Ambon selaku pusatnja bertempat dua pendeta Belanda, diantaranja seorang untuk melajani djemaat jang berbahasa Belanda dan jang lain sebagai Ketua Geredja di Maluku. Di-daerah-daerah ditempatkanlah sedjumlah pendeta-pendeta pembantu jang menurut peraturan tahun 1867 pekerdjaannja diawasi oleh ketua tersebut. Setahun sekali mereka wadjib mengadakan konperensi dibawah pimpinan pendeta itu. Mereka pada pihaknja mengawasi pekerdjaan para guru Indjil jang ditempatkan didaerah masing-masing. Tingkat dan pekerdjaan para guru Indjil itu djuga ditetapkan dalam peraturan 1867. Mula-mula barangkali belum dipikirkan soal tingkat mereka supaja kemudian mereka didjadikan pendeta jang berhak dan bertanggung-djawab penuh. Agaknja tudjuan peraturan tersebut ialah untuk memperoleh sedjumlah pembantu dalam segala pekerdjaan geredjani, misalnja untuk memimpin kebaktian-kebaktian, untuk mengadjarkan katekisasi dll. Dan sangat lama kemudian terbukalah kemungkinan untuk mentahbiskan mereka dengan hak untuk melajani sakramen-sakramen. Sampai tahun 1935, jaitu terbentuknja Synode jang berdiri sendiri, maka sedjumlah jang ketjil berhak sedemikian. Hal itu berarti bahwa guru-guru Indjil tersebut tinggal tetap didalam tingkat bawahan terhadap para pendeta pembantu. Pendidikan mereka direntjanakan pada permulaan seperti pendidikan jang diperoleh mereka dalam rumah-rumah pendeta pembantu masing-masing. Kemudian pendidikan itu dipersatukan didalam sebuah sekolah guru Indjil jang disebut STOVIL (School tot opleiding van Inlandse leeraren). Sekolah guru Indjil jang pertama didirikan di Ambon pada tahun 1885, kemudian djuga di Tomohon (1886) dan dipulau Roti (1902). Guru-guru Indjil tersebut diangkat mendjadi pegawai pemerintah seperti djuga para pendeta dan para pendeta pembantu. Tetapi tingkat-tingkat jang lebih rendah dibawahnja berlainan dalam hal itu. Guru-guru djemaat jang melajani djemaat-djemaat jang ketjil tidak dibiajai oleh pemerintah tetapi oleh djemaat atau Geredja sendiri. Achirnja kita melihat didalam Geredja tingkat penatua sjamas. Belumlah ada tatageredja jang menetapkan tingkat dan kewadjiban mereka itu. Baru pada tahun 1935 waktu mana GPM menetapkan tatageredjanja maka segala sesuatupun diaturlah serta ditetapkan.'
- Dari 1935 sampai sekarang ini
- Pada tanggal 6 September 1935 Geredja Malukupun berdiri sendirilah. namanja disebut Geredja Protestan Maluku (GPM), Tatageredjanja disahkan pada tahun 1936. Seluk-beluk tatageredja itu tidak perlu dibentangkan disini. Kita tak heran melihat didalam tatageredja itu penetapan mengenai pengakuan iman jang hampir sama isinja dengan apa jang sudah ditetapkan untuk Geredja Protestan Am, 1933. Pula kita tak heran bahwa fasal mengenai keanggotaan didalam Geredja memperlihatkan tjiri dari sebuah Geredja bangsa. Misalnya menurut fasal tersebut terhitung kepada Geredja djuga anak-anak jang belum dibaptiskan, bilamana orang tua mereka anggota Geredja. Bahkan anak-anak mereka jang bukan anggota, terhisab djuga kepada Geredja, bilamana mereka disekolahkan didalam sekolah Geredja terketjuali mereka jang sudah memberitahukan, bahwa mereka tidak ingin dihitungkan kepada Geredja. Artinja, terdapatlah anggota-anggota Geredja jang dilahirkan didalam Geredja, dan bukan hanja dibaptiskan sadja didalamnja. Faktor-faktor sebagai keturunan masih berlaku dalam hal ini.Selain daripada itu kita melihat beberapa gedjala dari sebuah Geredja menurut tata presbyterial-synodal. Hak memilih dipunyai oleh anggota sidi jang sudah berusia 21 tahun, sehingga dengan pemilihan-pemilihan itu dapat terbentuk madjelis-madjelis djemaat jang terdiri dari penatua-penatua dan sjamas-sjamas jang dipilih. Djuga klasis-klasis jang terdiri dari sedjumlah djemaat-djemaat dibentuk, dan para utusan klasis merupakan synode. Disamping itu kita melihat djuga banjak tjiri dari suatu Geredja pemerintah, artinja jang didalamnja hak dan kuasa bukannja berada dalam tangan badan-badan jang dipilih melainkan dalam tangan badan jang ditetapkan dari atas. Misalnja para pemimpin djemaat setempat, jaitu pendeta-pendeta, guru-guru djemaat bukannja dipilih serta dipanggil oleh madjelis-madjelis itu, melainkan ditetapkan oleh Badan Pekerdja Synode. Pula para ketua klasis tidak lain daripada para pendeta pembantu jang ditetapkan oleh Badan Pekerdja Am Geredja Protestan. Achirnja ketua synode dan badan pekerdja synode pun adalah pendeta Belanda jang ditetapkan oleh Badan Pekerdja Am Geredja Protestan. Susunan itu berarti, bahwa pengaruh Geredja Prostestan Am masih kuat, sehingga kesempatan GPM untuk bertindak sendiri sangat terbatas adanja. Badan pekerdja synode pun terdiri dari 10 anggota, jang diantaranja hanja 3 orang jang bukan pendeta. Hal itu berarti bahwa pengaruh para pendeta, jaitu para pendeta pembantu dan para guru Indjil sangat kuat djuga. Geredja jang merupakan suatu Geredja Pemerintah dengan ini mendjadi djuga Geredja Pendeta.Bentuk ini dapat dimengerti, djika kita menginsafi keadaan jang istimewa dari daerah geredjani di Maluku. Seperti sudah djelas dari jang dikatakan diatas, maka daerah itu sangat luas dan sangat sulit perhubungannja dari satu bagian ke bagian lain. Bajangkanlah djarak dari Ternate ke Babar, dari Buru atau Sulu ke Merauke dan Fakfak. Bagaimanakah tjaranja untuk menghubungkan badan Geredja jang begitu djarang-djarang djemaat-djemaatnja, supaja mereka merupakan suatu persekutuan jang hidup? Lagi pula, tampaklah perbedaan jang sangat besar diantara djemaat-djemaat tersebut. Diantaranja ada sedjumlah jang sudah tua sekali, bahkan jang tertua diseluruh Asia. Akan tetapi disampingnja ada pula jang masih amat muda sekali, bahkan jang belum terbentuk selaku djemaat jang tetap. Harus diakui bahwa susunan GPM itu menimbulkan banjak kesulitan jang tidak dapat diatasi dengan menetapkan sebuah tatageredja jang tjoraknja se-mata-mata presbyterial-synodal.Djalan jang ditempuh oleh tatageredja GPM adalah sebagai berikut. Daerah-daerah Geredja di-bagi-bagi menurut kedewasaan mereka masing-masing. Ditetapkanlah tiga bagian: (a) Klasis-klasis jang berhak penuh, oleh karena djemaatnja masing-masing sudah berdiri tetap dengan mempunyai madjelis-madjelisnja jang dipilih, dll. (b) "Bagian-bagian" Geredja (jang disebut "afdeling") jang belum mempunyai hak penuh daripada klasis-klasis tersebut, oleh karena djemaat-djemaat disitu masih muda serta madjelisnja masing-masing belum berdjalan sebagaimana mestinja. ( ) "Bidang" (jang disebut "terrein"), ialah lapangan-lapangan usaha pekabaran Indjil, jang sebenarnja belum membentuk djemaat serta jang berhak membentuk synode, sedangkan "bagian-bagian" tersebut diwakili oleh pendeta pembantu jang ditempatkan disitu. Akan tetapi "bidang-bidang" tidak mempunyai suara didalam synode. Terbentuklah 7 klasis jaitu Ambon, Lease, Seram Barat, Seram Timur, Banda, Ternate, termasuk djemaat Ambon-kota dengan tingkat jang istimewa. Djumlah bagian adalah 6, jaitu pulau Aru, pulau Kai, pulau Tanimbar, Babar, Kisar, Irian Barat. Achirnja "bidang" berdjumlah 2, jaitu Irian Barat-Daja dan Buru Utara.Memang, rentjana dari permulaannja ialah supaja ber-angsur-angsur "bagian-bagian" dan "bidang-bidang" achirnja dapat diakui sebagai klasis djuga. Synodelah jang berhak untuk menetapkannja itu. Dan ternjata pada tahun-tahun jang berikut, bahwa satu demi satu bagian-bagian itu diangkat mendjadi klasis. Pada tahun 1947 pulau Kai menerima tingkat itu selandjutnya pada tahun 1948 bagian-bagian dipulau Tanimbar, Barbar, Kisar, dan Aru. Sehingga selaku "bagian" dan "bidang" tinggallah sadja djemaat-djemaat di Irian Barat. Pada umumnja harus diakui, bahwa tatageredja tersebut adalah bidjaksana dan sewadjar dengan keadaan Geredja di Maluku pada saat itu, oleh karena diberikan kesempatan kepada daerah-daerah jang masih muda dan terbelakang untuk berkembang supaja mentjapai tingkatnja jang semestinja. Tak boleh tidak berpusatkan pimpinan GPM didalam badan pekerdja synodenja. Keadaan GPM dilihat dari sudut geografi dan sedjarah agaknja tidak mengizinkan adanja suatu desentralisasi, sehingga beban pimpinan dapat dibagikan kepada daerah-daerah. Bukankah Geredja itu akan terpetjahbelah, djika daerah-daerahnja dapat bertindak sendirian? Bukankah diperlukan suatu pimpinan jang tegas untuk memelihara kesatuan Geredja-geredja itu? Bukankah dengan demikian sadja kehidupan geredjani di-pulau-pulau jang terpentjil dapat dipelihara? Memang suatu Geredja kepuluan jang begitu luas dan terpentjil daerah-daerahnja tidak dapat diukur dengan ukuran-ukuran jang berlaku didalam suatu "Geredja daratan". Betapa gampang usaha untuk mentjiptakan persaudaraan diantara djemaat-djemaat, bilamana mereka itu dapat saling mengundjungi satu sama lain, oleh karena perhubungan djalan selalu ada! Betapa sulit usaha itu diantara djemaat-djemaat kepulauan! Agaknja tatageredja pemerintah, jang berarti pula "Geredja pendeta" serta "Geredja sentral" merupakan djalan jang sangat lantjar untuk mengatasi segala kesulitan tersebut.Akan tetapi tidak dapat disangkal, bahwa pada djalan itu timbullah pula bahaja-bahaja jang dapat menghalangi perkembangannja jang sehat. Djelaslah bahwa pemerintahan Geredja dibentuk oleh mereka jang paling berpengalaman. Dan mereka jang paling madju serta berpengalaman memang berasal dari djemaat jang paling tua. Oleh karena itu ternjata di GPM bahwa pengaruh djemaat-djemaat Ambon dan Lease sangat kuat adanja. Hampir 95% dari sekalian pendeta berasal dari djemaat-djemaat itu, sehingga timbul perasaan segan dikepulauan jang lain se-olah-olah mereka "didjadjah" sadja oleh orang-orang Ambon dan Lease, serta tidak beroleh kesempatan jang sepenuhnja untuk berkembang menurut wataknja sendiri. Sangat diperlukan kebidjaksanaan jang tidak sedikit, untuk memperhatikan keadaan tersebut. Itulah tugas jang berat bagi pimpinan GPM.
- Djelaslah bahwa pekerdjaan geredjani disuatu wilajah jang begitu luas memerlukan sedjumlah besar guru Indjil dan guru djemaat. Kita sudah melihat, bahwa pendidikan para guru Indjil dipusatkan di Stovil Ambon. Jang tamat dari sekolah itu dibagi dalam dua bagian, jaitu guru Indjil klas I dan klas II. Jang klas II makin lama makin banjak memperoleh hak untuk melajani sakramen djuga, oleh karena mereka ditempatkan di-djemaat-djemaat jang tidak dilajani oleh para pendeta pembantu. Tetapi jang bertingkat demikian djarang terdapat. Jang klas I biasanja diperbantukan kepada para pendeta pembantu. Baru sesudah 10 tahun dinas dengan setia dan dengan tiada ada apa-apa jang kurang, maka mereka mendapat hak melajani sakramen. Hal itu berlaku sedjak tahun 1916. Barulah dalam synode pada waktu perang dunia kedua peraturan jang gandjil dan jang tak dapat dipertahankan itu dihapuskan.Para guru djemaat dididik sampai tahun 1864 didalam sekolah guru jang telah dibuka oleh Roskott pada tahun 1836. Sekolah itu ditutup pada tahun tersebut, oleh karena sekolah-sekolah Kristen diambil alih oleh pemerintah, sehingga guru-guru sekolah Kristen tidak diperlukan lagi. Untuk waktu jang lama tidak terdapat pendidikan jang sewadjarnja bagi guru-guru djemaat. Baru pada permulaan abad ini kursus-kursus guru djemaat dibuka di Ambon. Hal itu terdjadi berhubung dengan adanja kebutuhan-kebutuhan akan guru-guru sekolah Kristen dikepulauan selatan. Disitu sekolah-sekolah Kristen dibuka di-daerah-daerah jang baru diindjili. Dan memang guru-guru sekolah Kristen disitu mempunjai tugas geredjani djuga didalam djemaat jang masih muda. Oleh karena itu pendidikan mengenai pimpinan djemaat dsbnja dilaksanakanlah. Sebuah sekolah jang sama tudjuannja dibuka pula di Tual (ibukota pulau Kai). Pada tahun 1936 sekolah-sekolah itu beserta dengan Stovil diserahkan oleh Geredja Protestan kepada synode GPM. Sesudah perang dunia kedua, maka Stovil jang selama pendudukan Djepang disuruh tutup, dibuka kembali sebagai "Sekolah Theologia Menengah". Pula dibuka lagi sekolah-sekolah guru Kristen di Ambon dan di Tual.
- Perkembangan GPM pada perdjalanannja untuk berdiri sendiri telah dipertjepat oleh keadaan jang ditimbulkan oleh perang dunia kedua. Dengan ditangkapnja para tenaga Belanda, maka para pendeta suku maluku mendjalankan pimpinan atas Geredja di Maluku sedjak tahun 1942. Memang sesudah perang dunia kedua ketua synode jang berbangsa Belanda ditempatkan lagi oleh Badan Pekerdjaan Am Geredja Protestan disitu, sedangkan para pendeta pembantu tidak lagi diperlukan oleh karena para tamatan HTS Djakarta dianggap sama deradjatnja dengan mereka. Sedjak tahun 1949 tidak ada lagi seorang pendeta Belanda jang duduk dalam pimpinan GPM.'
- Tjorak GPM Tak heran bahwa sebuah Geredja jang bersedjarah sedemikian mempunjai tjoraknja jang amat bertradisi. Masih terdapat beberapa gedung geredja, jang asalnja dari zaman VOC dan jang bentuknja sangat indah. Gedung-gedung jang tua itu didirikan dengan batu, ukuran-ukurannja biasanja besar dan bentuknja hampir sama dengan bentuk gedung-gedung geredja ditanah Belanda jang berasal dari abad ke-17. Pada pertengahan dinding depan berdirilah mimbar, sedangkan diantara tempat-tempat duduk adalah beberapa jang diutamakan, jaitu tempat-tempat duduk untuk "regent dengan golongan-golongannja, selaku tanda dari keadaan tersangkut-pautnja pemerintah dengan Geredja pada zaman VOC. Sajang sekali bahwa gedung geredja jang sangat indah beserta perabot-perabotnja, jaitu geredja di Ambon, diruntuhkan pada waktu dan sesudah perang dunia kedua. Ada pula keistimewaan Ambon jaitu pakaian-pakaian jang dipakai oleh orang-orang Ambon didalam kebaktian-kebaktian. Terutama para wanita masih berpegang kepada pakaian jang hitam warnanja. Mereka jang sidi memakai "kain pikul", jakni sebuah kain setelempap lebarnja, berwarna hitam dihias dengan manik-manik hitam dan disandangkan pada bahu kiri. Agaknja pakaianl itu chususnja kain pikul itu, merupakan sisa-sida dari zaman Portugis. Seperti diketahui para padri RK membentuk persekutuan-persekutuan Kesalehan, jang biasanja memakai salah satu tanda pada pakaian mereka.Musik geredjani merupakan pula suatu keistimewaan. Biasanja di-negeri-negeri Ambon dan Lease njanjian-njanjian djemaat diiringi orkes suling, jang terdiri dari sedjumlah pemuda-pemuda. Bila dibandingkan dengan iringan orgel-orgel ketjil jang dipakai oleh kebanjakan djemaat-djemaat di Indonesia maka dapatlah dikatakan, bahwa orkes-orkes suling itu djauh lebih baik dan bermanfaat bagi djemaat-djemaat itu. Kepandaian untuk meniup suling nampaknja hal biasa sadja diantara pemuda-pemuda sedangkan sering ternjata bahwa kepandaian memainkan orgel hampir tidak ada. Alat-alat musik pun diperoleh dengan kepandaian kerdjatangan sendiri dan dari bahan-bahan jang ada di Indonesia, sedangkan orgel-orgel itu harus dibeli dengan mahal dari luar negeri. Taraf musikpun daripada orkes-orkes suling lebih baik dan lebih indah daripada orgel-orgel. Manfaatnja ada pula untuk hidup geredjani, oleh karena para pemuda diberikan salah satu tugas jang tetap didalam kebaktian-kebaktian. Orkes-orkes suling itu telah didirikan atas usul Kam dan memang GPM patut berterima kasih kepadanja oleh sebab usul jang sangat bermanfaat itu.Termasuk pula tradisi Ambon ialah penghargaan orang-orang Ambon atas Alkitab terdjemahan Leydekker. Meskipun sudah lama terdjemahan itu diganti dengan terdjemahan Klinkert dan Bode, namun terdjemahan Leydekker masih berlaku seperti suatu pusaka. Dilihat dari sudut sedjarah penghargaan itu dapat mengagumkan kita. Sebenarnja Valentijnlah jang menjediakan sebuah terdjemahan Alkitab kedalam bahasa Melaju-Ambon djustru pada waktu terdjemahan Leydekker sedang disiapkan (lih. hlm. 40). Tetapi pemerintah VOC mengutamakan terdjemahan Leydekker, sehingga terdjemahan Valentijn tidak diterbitkan pada waktu itu.Mazmur dan Tahlil pun berlaku didalam kebaktian-kebaktian, sedangkan didalam ibadat-ibadat dirumah buku-buku njanjian "Dua sahabat lama" sangat disukai oleh orang-orang Kristen Ambon. Mengherankan bahwa mereka jang mempunjai pembawaan jang istimewa untuk mentjiptakan lagu-lagu duniawi, belum memperkaja djumlah njanjian-njanjian rohani dengan tjiptaan sendiri. Bolehkah dikatakan, bahwa mereka itu merasa segan mempergunakan pembawaan itu untuk mentjiptakan njanjian-njanjian rohani se-olah-olah didalam kebaktian-kebaktian dan didalam hidup rohani pada umumnja hanjalah dianggap resmi apa jang sudah dikuduskan oleh tradisi?Tradisi memang memainkan peranan jang luar biasa didalam kegeredjaan Ambon. Kebiasaan-kebiasaan dianggap oleh mereka itu seperti anasir-anasir kekristenan jang hakiki. Terdjadilah suatu tjorak kegeredjaan demikian rupa, sehingga boleh dikatakan bahwa kekristenan sudah diambonisasikan. Dengan sendirinja tjorak itu dibawa dan disebarkan oleh orang-orang Ambon ke-mana-mana sadja. Misalnja dikepulauan Selatan jang baru sadja dikristenkan, bahkan sampai ke Irian Barat berlaku tradisi tersebut jaitu memakai pakaian geredjani dan mengadakan koor (orkes) suling.Djikalau anasir-anasir kekristenan sudah bertjampur dengan anasir-anasir suku itu setjara begitu djauh, maka kita tak merasa heran, bahwa didalam tjampuran agama Ambon terdapat pula anasir-anasir tachjul. Kita mentjatat disini misalnja pemberian kolekte-kolekte dengan uang logam 2 atau 3 sen, atau kebiasaan mengadakan upatjara "malam ketiga" berhubung dengan peristiwa "penguburan" dan sebagainja. Pula sakramen-sakramen ditjampuri dengan tachjul-tachjul. Pada pihak lain harus diakui, bahwa djustru tradisi geredjani memperteguh hati-hati mereka untuk berlaku setia terhadap Geredjanja. Schisma-schisma serta keinginan-keinginan memetjah-belah djemaat-djemaat hampir tidak terdapat di GPM.Memang penghargaan terhadap tradisi itu menghalangi pula segala usaha untuk menghidupkan kerohanian didalam Geredja itu. Boleh dikatakan bahwa sering kesaksian Geredja keluar djemaat tidak dapat berbitjara lagi oleh karena tradisi tidak mengizinkan. Pada satu pihak tradisi memelihara kegeredjaan pada pihak lain tradisi pulalah jang tidak memungkinkan berkembangnja kegeredjaan didalam suatu usaha jang hidup. Misalnja ter-bagi-bagilah suku Maluku di Ambon dan Lease antara negorij-negorij Kristen dengan negorij Islam. Masing-masing menghargai batas-batas negorijnja. Adat istiadat menguasai hubungan satu sama lainnja, sehingga pekabaran Indjil terhadap negorij-negorij Islam tak mungkin dilaksanakan. Saling mengakui, saling menghormati bahkan saling menolong itulah jang mendjadi tradisi. Dan selama tiga abad orang-orang Kristen Ambon boleh dikatakan tidak menjadari tugasnja sebagai garam dan terang dalam dunianja jang berdekatan, tak lain karena tradisi tersebut.Pada pihak lain kita melihat bahwa hati orang-orang Kristen Ambon terbuka untuk melakukan pekabaran Indjil, akan tetapi kedaerah jang djauh. Sudah disinggung diatas tadi, bahwa kira-kira pada tahun 1930 mereka mengambil alih tanggungdjawab untuk mengusahakan Pekabaran Indjil di Irian Barat, dan ratusan pekerdja geredja, pendeta-pendeta, guru-guru dan pengindjil mentjurahkan tenaga mereka disitu. Ber-kali-kali dan dengan hati jang tabah sebagai perintis-perintis jang benar mereka "membuka tanah" - jaitu istilah jang sering mereka pergunakan untuk usaha pekabaran Indjil. Bukan dikepulauan selatan, dipedalaman Seram, dan di Irian Barat sadja mereka membuka tanah, melainkan segolongan besar orang-orang Ambon menuruti panggilan usaha pekabaran Indjil untuk merintis di Sulawesi Tengah dan Selatan, dan di Halmahera. Memang itu djuga merupakan suatu tradisi. Kita mengetahui bahwa sudah pada zaman VOC guru-guru Ambonlah jang siap sedia untuk diutus dan dipekerdjakan diluar daerahnja, sampai-sampai kepulau Sangir. Akan tetapi djumlah mereka jang mau diperbantukan dalam bidang-bidang pekabaran Indjil jang baru terbuka pada abad ini, djauh melebihi djumlah mereka pada zaman VOC. Dan tak boleh tidak timbullah perhatian bahkan keinsafan dalam djemaat Ambon dan Lease untuk mengambil bagiannja dalam tugas pekabaran Indjil itu. Terbentuklah beberapa perhimpunan pekabaran Indjil jang mempunjai nama-nama seperti "Ora et labora", "Sebidji sesawi" ("Het mosterzaad") dll. Sudah lama pada tiap-tiap tahun jaitu pada "Hari reformasi" (31 Oktober) dirajakan "pesta zending". Memang terpisahnja Irian Barat dari wilajah Indonesia menjebabkan djuga terputusnja GPM dari bidang pekabaran Indjil jang chusus itu. Tetapi hal itu tidak berarti, bahwa tugas pekabaran Indjil tidak berlaku lagi sesudah bidangnja itu ditutup. Baru dalam tahun-tahun jang lalu GPM mentjari djalan untuk melakukan tugasnja itu di-daerah-daerah jang berdekatan. Dengan itu GPM menghadapi orang-orang Islam dengan kesaksiannja selaku orang-orang Kristen. Dan hal itu untuk pertama kalinja terdjadi dalam sedjarahnja jang lama itu.