Tweet
Dari Sejarah Alkitab Indonesia
Sejarah (Bicara | kontrib)
(←Membuat halaman berisi ''''1. Pemandangan umum mengenai usaha pengindjilan dipulau Djawa''' # Sedjarah Geredja di Djawa barulah dimulai pada abad ke-19. Memang sebelum itu jakni dizaman VOC sud...')
Revisi selanjutnya →
(←Membuat halaman berisi ''''1. Pemandangan umum mengenai usaha pengindjilan dipulau Djawa''' # Sedjarah Geredja di Djawa barulah dimulai pada abad ke-19. Memang sebelum itu jakni dizaman VOC sud...')
Revisi selanjutnya →
Revisi per 07:15, 26 April 2011
1. Pemandangan umum mengenai usaha pengindjilan dipulau Djawa
- Sedjarah Geredja di Djawa barulah dimulai pada abad ke-19. Memang sebelum itu jakni dizaman VOC sudah terdapat beberapa djemaat dipantai-pantai, misalnja Djakarta (1619), Semarang (1753) dan Surabaja (1785). Selandjutnja terdapat lagi beberapa kumpulan seperti di Tjirebon dan Banten jang menerima pemeliharaan geredjani dari djemaat-djemaat tadi. Tetapi kumpulan-kumpulan ini se-mata-mata terdiri dari golongan Eropa. Pemeliharaan geredjani bagi "djemaat-djemaat berbahasa Melaju" hanjalah terdapat di Djakarta, Semarang dan Surabaja. Disamping itu patut disebut pula dua "anak-djemaat" dari Djakarta jaitu Depok dan Tugu. Harus diakui bahwa Geredja di zaman VOC tidak berusaha sedikitpun untuk membawa Indjil kepada rakjat Djawa. Adanja Geredja di Djawa hampir 200 tahun lamanja tidak mengakibatkan pengaruh apapun bagi pengindjilan pulau Djawa (1619 hingga 1815 jakni saat pengambilan alih kekuasaan oleh Keradjaan Belanda). Kita bertanja, mengapakah Geredja sepanjang masa jang lama itu bersikap begitu atjuh-tak-atjuh? Memang, ia merupakan Geredja suatu badan perdagangan jaitu VOC, dan kita telah melihat bahwa ia banjak sedikitnja menaklukkan dirinja kebawah paksaan pemerintah VOC ini. Tetapi berdasarkan oktroinja maka pemerintah VOC berkewajiban untuk memberitakan Firman Allah. Ia harus memberikan kepada Geredja segala keperluan supaja Geredja dapat menunaikan panggilannja. Tetapi berdasarkan pertimbangan-pertimbangan politik dan ekonomi hal itu tidak dilakukannja, sungguhpun pulau Djawa terbuka lebar bagi VOC. Dengan kekerasan sendjata ia bertindak terhadap kekatjauan dinasti dibeberapa kesultanan, bahkan ia menetapkan perbatasan masing-masing kesultanan itu. Ia menuntut padjak dari rakjat dengan perantaraan para bupati, wilajah kekuasaannja tidak sadja terbatas di-pantai-pantai dan pengaruhnja meluas sampai ke-mana-mana. Ia memiliki tjukup kekuasaan dan kewibawaan untuk menolong Geredja dalam menunaikan panggilan pekabaran Indjilnja. Tetapi sedikitpun ia tak menaruh perhatian, bahkan hal itu dianggapnja berbahaja. Dan Geredja dimasa lalu itu sama sekali belum atau tidak mengenal tugas kerasulannja. Tidak pernah kita mendengar bahwa ia menjadari sedikitpun akan panggilannja, apalagi untuk mentjari pelbagai djalan dan tjara bagaimana hendak melaksanakannja. Barulah pada masa apa jang disebut "pemerintahan sementara" Inggris (1811-1815) dilakukankan usaha-usaha pekabaran Indjil jang pertama di Djawa. Ini terdjadi atas inisiatif Gubernur Raffles sendiri, dan tenaga-tenaga jang diutus bukannja berasal dari Geredja melainkan dari perhimpunan-perhimpunan Pekabaran Indjil Inggris.
- Tetapi djuga setelah pemerintah Belanda berkuasa kembali (1815) tidaklah berubah sikap jang lama terhadap soal pekabaran Indjil di Djawa. Malah penjebaran Indjil dirintangi oleh pemerintah ber-puluh-puluh tahun lamanja. Sebenarnja pada waktu itu pemerintah lebih menjerupai suatu badan perdagangan. Hal ini terutama ternjata dari pembentukan apa jang disebut "kultuurstelsel". Agar supaja ushaa-usaha tersebut memberikan hasil jang menguntungkan setjara ekonomi, maka pemerintah berpendapat bahwa harus disingkirkan segala pengaruh jang dapat mengganggu "keamanan dan ketertiban umum". Terutama pemerintah takut akan adanja suatu gerakan pekabaran Indjil, sehingga dunia Islam di Djawa akan tergontjang karenanja. Dan djustru oleh sebab dalam perang-perang Djawa (1825-'30) melawan Diponegoro sudah harus dikorbankan demikian banjak djiwa dan wang, maka pemerintahpun mendjadi kuatir terhadap setiap gangguan jang mungkin timbul. Dengan demikian tertutuplah pulau Djawa bagi Pekabaran Indjil hingga 1850.Tidak usah diherankan bahwa "Geredja-gubernemen" jaitu Geredja Protestan, sama sekali merasa tak perlu untuk mengadakan perubahan dalam keadaan jang serba pintjang itu. Sikapnja lamban dan ia senang sudah djika dapat memelihara djemaat-djemaatnja sendiri. Kita sudah maklum bahwa hanja itulah tudjuannja. Memang, djumlah djemaat-djemaatnja makin bertambah di Djawa berhubung dengan masuknja orang-orang Kristen Belanda dari luar Djawa. Di-keresidenan-karesidenan bertempatlah pendeta-pendeta jang memelihara djemaat-djemaat dan kelompok-kelompok Kristen jang terdapat di-perkebunan-perkebunan jang terpentjil. Gedung-gedung geredjapun didirikan mendjadi tempat kebaktian. Tetapi orang-orang kristen Indonesia bolehlah dikatakan hampir tidak memperoleh pemeliharaan rohani sedikitpun. Belumlah terdapat pendeta-pendeta Indonesia, sedangkan pendeta-pendeta Belanda jang dapat berbahasa Indonesia setjukupnja sedikit sekali. Tidaklah ada harapan, bahwa Geredja itu akan sanggup melaksanakan tugasnja dalam menjebarkan Indjil diluar lingkungannja. Apalagi karena sikapnja kedalam adalah lambat dan lamban.Tetapi para pekabar Indjil di Belanda jang baru bergabung dalam NZG (1797) tidak puas dengan keadaan tersebut. Seringkali tertjantum dalam atjara sidang soal Pekabaran Indjil dipulau Djawa. Tetapi adpis-adpis jang diterima oleh NZG dari "Hindia-Belanda" terutama dari para tokoh jang bertanggung-djawab membuat orang mengalah terhadap pendirian pemerintah. Misalnja Gubernur Djendral Baud (1833), seorang Kristen jang telah mengaku pertjaja, menulis bahwa pemerintah akan mengawasi dengan keras "tiap usaha untuk bekerdja di Djawa guna kepentingan Pekabaran Indjil, buat mentjegah agar keamanan djangan terganggu oleh tindakan-tindakan jang keterlaluan". Bahwa kata-kata ini bukanlah kata-kata kosong belaka ternjata pada tahun 1831, ketika seluruh buku-buku Perdjandjian Baru jang baru ditjetak dalam bahasa Djawa terdjemahan Brückner disita oleh pemerintah. Bahkan sedjumlah traktat (surat selebaran) harus diserahkan djuga, meskipun orang-orang Djawa di Semarang hampir menjerbu kedalam rumah Brückner untuk memperoleh sebuah traktat dengan harga jang tinggi sekalipun jakni 30 sen. Masih dalam tahun 1847 Gubernur Djendral Van Rochussen berkata kepada Ds. Van Rhijn disuatu audiensi ketika ia sedang melakukan perdjalanan keseluruh Indonesia, bahwa "pemberitaan Indjil jang bebas mau tak mau harus mengakibatkan suatu perubahan besar dalam sistim pemerintahan".Dan bagaimanakah reaksi kalangan Pekabaran Indjil di Belanda terhadap sikap pemerintah ini? Tentulah mereka diliputi oleh perasaan kuatir, tetapi segera mereka mengalah. Lagi pula ternjata, bahwa djustru orang-orang mereka di Indonesialah jang membela politik pemerintah. Bahkan seorang kawan Pekabaran Indjil seperti Ds. Lenting jang ikut membentuk Lembaga Alkitab Indonesia, menulis bahwa "sebelum pemerintah dengan tak bersjarat memberi izin kepada para pekabar Indjil, maka ia berusaha mempertinggi perabadan rakjat dengan memberikan pengadjaran kepada anak-anak tentang soal-soal kesusilaan dalam bahawa Djawa agar supaja mereka memperoleh persiapan untuk memeluk agama Kristen". Dan ketua Lembaga kerdjasama Pekabaran Indjil di Djakarta, jang adalah seorang pegawai tinggi, berkata bahwa "sebagai pegawai pemerintah ia tidak menjetudjui dilakukan pengindjilan terhadap orang-orang Djawa".
- Djadi pulau Djawa sebenarnja merupakan lapangan tertutup. Para pekabar Indjil jang dikirim oleh NZG, diteruskan ke Indonesia Timur sungguhpun sebenarnja mereka diuntukkan bagi pulau Djawa. Hanja Lembaga Alkitab Belanda sadjalah jang boleh menempatkan seorang ahli bahasa, jaitu Gericke di Surakarta. Satu-satunja pekabar Indjil di Djawa ialah Brückner, jang ditempatkan oleh NZG di Semarang sebagai pendeta Geredja Protestan. Tetapi setelah setahun berpindahlah ia ke Perhimpunan Pekabaran Indjil Baptis (Baptist Missionary Society). Sajang bahwa perkumpulan ini tidak mau menundjang pekerdjaanja. Sesudah perdjalanan keliling oleh Ds. Van Rhijn (1847-'49) barulah terdjadi perubahan jang besar, ketika Jellesma ditempatkan di Surabaja. Dari sana ia mendapat izin untuk memasuki daerah pedalaman Djawa sebagai pekabar Indjil jang pertama. Iapun menetaplah di Modjowarno.Sikap pemerintah dan kelambanan masjarakat Kristen telah menjebabkan, bahwa setengah abad lamanja ter-buang-buanglah segala kesempatan untuk menanamkan Geredja Kristus dipulau Djawa. Hampir tak dapat kita menduga betapa besarnja kesempatan-kesempatan tersebut. Jang pasti ialah bahwa pada waktu itu Islam hampir belum berakar didalam masjarakat Djawa. Memang ia telah meresap djuga, mula-mula kedalam istana-istana para sultan lalu dari sana kerakjat djelata, tetapi sudah tak dapat dilenjapkannja tradisi Djawa-Hindu jang kaja itu serta kegemaran akan mistik. Kebanjakan orang pada waktu itu tidaklah setjara sadar serta penuh kejakinan menganut agama Islam itu. Mereka mengikuti kiainja, gurunja sadja, dan banjak bukti menundjukkan bahwa tanpa berpikir mereka akan bersedia memeluk agama lain djika itu misalnja diinginkan oleh radjanja ataupun pemerintah. Seandainja telah dilakukan suatu gerakan pekabaran Indjil jang sungguh-sungguh, tak dapat tiada banjak orang dapat dihimpunkan disekitar Kristus.
- Tetapi kita melihat bahwa daja hidup Indjil mendjelma dengan tjara-tjara jang lain, djika djalan-djalan resmi ternjata tertutup baginja. Malah dapat dikatakan bahwa puluhan tahun pertama dari sedjarah Geredja di Djawa merupakan suatu sedjarah daripada daja-saksi beberapa oknum. Se-mata-mata atas inisiatif sendiri tanpa tjampur tangan Geredja dan organisasi Pekabaran Indjil mereka merasa terpanggil untuk mengaku Tuhannja di-tengah-tengah masjarakat Djawa. Nama-nama seperti bapak Emde, Coolen, njonja Philips, Oostrom dan Le-Jolle bahkan pegawai-pegawai tinggi seperti Esser, dan terutama Anthing patutlah ditjatat dalam sedjarah Geredja di Djawa.Kesaksian para saksi ini anehnja disambut dengan hati terbuka oleh pihak masjarakat Djawa. Maklum dalam masjarakat ini terdapat banjak sekali "pentjari ngelmu". Mereka berkumpul disekeliling guru dan kiainja supaja dengan demikian bisa memperoleh pengetahuan tentang hidup sedjati dan kekuatan untuk mendapat selamat serta kesedjahteraan. Dengan pelbagai tjara para guru dan kiai ini menuntut ilmu jang dalam-dalam. Diantara mereka terdapat pertapa-pertama jang ber-bulan-bulan bahkan ber-tahun-tahun lamanja hidup sendirian di-kaki-kaki atau di-lereng-lereng gunung terutama digunung Kelud. Ada djuga "santri-santri" jang telah memperoleh pendidikan Islam dan mistik disalah suatu pesantren. Dalam pada itu apa jang disebut "primbon" memainkan djuga peranannja jang penting. Terutama kedatangan seorang Ratu Adil dimasa jang akan datang mendjadi perhatian serta buah pembitjaraan banjak orang.Selandjutnja kita melihat bahwa para kiai dan guru ini rada saling berkonkurensi. Dalam perdebetan jang sering terdjadi mereka saling mentjoba mejakinkan kebenaran serta kekuatan adjaran-adjaran-nja. Sering terdjadi bahwa guru jang kalah sesudah perdebatan demikian mendjadi pengikut dari sang guru itu jang ternjata memiliki ngelmu jang lebih kuat. Dengan sendirinja para pengikutnja akan diserahkannja djuga kepada sang pemenang. Djadi suasana rohani di Djawa tidaklah tenang dan lembek, tetapi serba terbuka dan hidup. Ini ternjata djuga dengan djelas pada asas-asas agama Kristen di Djawa. Perdjumpaan antara para saksi Jesus Kristus dengan para "pentjari-ngelmu" mengakibatkan dibentuknja kumpulan-kumpulan bahkan djemaat-djemaat jang sebenarnja merupakan permulaan Geredja di Djawa.Hal jang djelas ialah bahwa perdjumpaan Indjil dengan ngelmu mengakibatkan suatu pergumulan. Sebab Indjil bukan merupakan ngelmu tertinggi seperti jang di-harap-harapkan, penuh daja hidup dan hikmat seperti jang diinginkan, dan Sang Ratu Adil tidak dapat disama-oknumkan begitu sadja dengan Tuhan Jesus Kristus beserta KeradjaanNja. Pergumulan rohani ini malah menjentuh tingkah-laku orang-orang Kristen muda itu. Haruskah mereka tinggalkan tjara hidup Djawa atau tidak? Itulah soal jang sudah muntjul pada Kristen dalam bentuk Djawa ataukah Barat.
masa pertama hidup Geredja di Djawa, jaitu soal tentang agamaBahwa ada orang-orang Djawa jang minta dibaptiskan, agak menimbulkan djuga pelbagai persoalan bagi pemerintah dan Geredja jang resmi, jaitu Geredja Protestan. Seperti telah kita lihat, pemerintah mentjegah Pekabaran Indjil untuk mengindjili pulau Djawa. Tetapi ia tak dapat melarang orang-orang Djawa mendjadi Kristen, sebab menurut undang-undang dasar ia bersikap "netral" dalam soal agama. Jang dianggapnja mendjadi tugasnja ialah mendjaga supaja djangan timbul kerusuhan dan djangan terdjadi hal-hal jang tidak adil. Memang ada beberapa kedjadian dimana pegawai-pegawai Eropa harus bertindak untuk melindungi orang-orang Kristen Djawa terhadap para bupati dan para lurah. Mereka ini mentjoba merintangi terbentuknja kumpulan-kumpulan Kristen, sebab orang-orang Kristen itu tidak lagi bersedia pergi kepada penghulu jang resmi untuk meneguhkan pernikahan mereka; dan ini berarti bahwa pemasukan-pemasukan wang tertentu kedalam kas desa dan sebagainja mendjadi berkurang. Ditindjau dari keadaan ini dapatlah dimengerti, bahwa orang-orang Kristen ini lebih suka mendirikan desa-desa sendiri supaja dengan demikian dapat menghindari gangguan-gangguan para bupati dan lurah itu. - Tetapi bagaimanakah sikap "Geredja jang resmi" terhadap orang-orang Kristen Djawa ini? Pada waktu itu dialah satu-satunja jang berhak untuk memiliki anggota-anggota serta menerimanja dengan perantaraan baptisan. Sebenarnja disamping Geredja ini tidak ada seorangpun di Djawa jang berhak menghimpunkan djemaat-djemaat serta membentuk kumpulan-kumpulan. Keadaan ini mendjelaskan mengapa orang-orang Djawa jang pertama telah dibaptiskan dilingkungan Geredja Protestan. Buku-buku baptisan di-djemaat-djemaat Surabaja, Semarang, Purwokerto penuh dengan nama-nama Djawa. Bahkan beberapa diantaranja dibaptiskan di Djakarta, misalnja Sadrach, seorang tokoh pemimpin jang besar diantara orang-orang Kristen di Djawa. Dalam pada itu hampir tidak pernah dipersoalkan kalau-kalau disamping Geredja Protestan harus dibentuk djuga suatu Geredja chusus untuk orang-orang Djawa. Di Djawa Tengah pernah ditawarkan kepada beberapa pekabar Indjil untuk bekerdja sebagai "pendeta pembantu" Geredja Protestan dan berusaha memasukkan kumpulan-kumpulan Djawa jang sudah ada kedalam lingkungan Geredja Protestan. Tetapi maksud tersebut dilepaskan sehingga tidak djadi dilaksanakan, ketika Pekabaran Indjil sudah tjukup mengutus tenaga-tenaga jang diberi hak memimpin ibadat dan membaptiskan orang. Dengan demikian maka djemaat-djemaat Pekabaran Indjil berdiri sendiri lepas dari Geredja Protestan. Pada asasnja kalangan Geredja Protestan menjetudjui peraturan tersebut. Tambahan pula mereka merasa tak sanggup untuk memperluas Geredjanja itu. Terikatnja Geredja itu kepada negara "netral" dan buruknja keadaan keuangannja membuat ia tidak mungkin untuk melaksanakan pekabaran Indjil. Peranannja ketika itu hanjalah berupa hak untuk memberi tempat perlindungan bagi orang-orang Kristen Djawa, sehingga mereka achirnja bisa memperoleh Geredjanja sendiri.Djadi lukisan Geredja di Djawa pada abad ke-19 adalah sangat beraneka warna. Indjil bukannja memasuki suatu dunia jnag belum didjamah sama sekali, melainkan kesaksian Kristen itu berbentrokan dengan segala aliran rohani jang serba muskil dari agama Islam dan tradisi lama, dan dengan segala nisbah jang sama muskilnja didalam kehidupan masjarakat dan ekonominja. Didunia sematjam itulah Indjil harus membuktikan daja hidupnja.