Sejarah Alkitab Indonesia

artikel/benarnja kitab sutji.htm

Bagikan ke Facebook

Dari Sejarah Alkitab Indonesia

Langsung ke: navigasi, cari
Buku Hijau
Sejarah Alkitab di Indonesia
Sejarah Alkitab Daerah Indonesia
Sejarah Alkitab di Luar Indonesia
Biblika
Doktrin Alkitab
Pengantar dan Garis Besar Kitab
Studi Kata Alkitab



Hasil inspirasi (lihat: Inspirasi) yang membuat Kitab Suci jadi Kitab Allah ialah: Kitab Suci adalah benar, oleh karena Allah bersabda didalamnya. Dengan sengaja dikatakan: Kitab Suci adalah benar. Dahulu biasanya dikatakan: Kitab Suci tidak dapat bersalah, keliru. Tetapi Konsili Vatikan II (Konstitusi tentang Pernyataan ilahi) tidak lagi berbicara demikian. Konstitusi itu berkata: Kitab Suci adalah benar. Memang rumus yang lama dapat diartikan dengan baik tapi mudah menyesatkan orang dan menimbulkan salah paham serta banyak kesulitan. Sebab jika diartikan seolah-olah dalam Kitab Suci tak mungkin terdapat kesalahan atau kekeliruan, tentu saja sukar dapat dipertahankan, oleh karena ada cukup banyak kekeliruan dalam Kitab Suci. Dunia, jagat raya, pasti tidak terjadi dalam waktu enam hari (Kej 1). Terwelu tidak termasuk kedalam jenis binatang yang memamah biak (Lev 11:6). Belsyasar tak pernah menjadi raja Babel (Dan 5:1) dan pengganti Raja Babel yang terakhir bukan Darios, orang Media (Dan 6:1) Wali negeri Romawi Kuirinus tidak membuat suatu cacah jiwa dimasa Kristus (Luk 2:1) dan masih ada banyak kesalahan lain lagi. "Kekeliruan-kekeluruan" sedemikian dewasa ini tidak lagi memusingkan kepala siapapun jua yang sedikit ahli dibidang ilmu Kitab Suci. Karenanya tak perlu dibahas lebih lanjut. Sungguhpun hal-hal itu dikatakan oleh Kitab Suci tapi sama sekali tidak mau dibenarkan atau disungguhkan oleh sipengarang atau oleh Allah.

Dengan demikian persoalannya sudah tersinggung sedikit. Benar adalah suatu pikiran atau ucapan apabila orang yang berbicara atau menulis mau membenarkan serta menyungguhkan apa yang dikatakan atau ditulisnya. Kalau demikian maka ia membenarkan bahwa apa yang dipikirkan, dikatakan dan ditulisnya sesuai dengan realitas sebagaimana nyata ada, salah satu pokok atau kejadian. Sebagai contoh yang berikut ini: Apabila Kitab Suci (Lev 11:6) berbicara tentang terwelu maka maksudnya melarang binatang itu dimakan, entah karena apa. Si pengarang tentu tidak berlagak ahli ilmu hayat, melainkan mengeluarkan undang. Sekalipun menurut anggapan rakyat dan pendapat si pengarang binatang itu termasuk ke dalam golongan binatang yang memamah biak, tetapi itu sekarang tidak menjadi pokok pembicaraan. Benar ialah: binatang itu tidak boleh dimakan. Itulah yang dimaksudkan si pengarang.

Jadi apa maksud Kitab Suci pada umumnya? Masalah itu mahapenting sehubungan dengan soal apakah yang dibenarkan dan disungguhkan oleh Kitab Suci. Sebab hanya itu saja "benar". Tidak boleh dikatakan tentang Kitab Suci, sebagaimana sementara orang berkata tentang Kur'an atau Alkitab, bahwa Alkitab memuat segala kebenaran. Tidak demikian halnya dengan Alkitab menurut paham Keristen. Sudah barang tentu Kitab Suci bukan buku ilmu bumi atau ilmu hayat, ilmu bangsa atau ilmu bahasa. Hal-hal yang termasuk kedalam wilayah ilmu-ilmu itu sesungguhnya diluar perhatian dan minat Kitab Suci. Memang kadang-kadang pokok-pokok sedemikian dibicarakan misalnya sehubungan dengan ilmu bahasa, cerita tentang menara di Babel (Kej 11) atau sehubungan dengan ilmu bangsa, silsilah yang banyak termuat dalam Kitab Suci (bdk. Kej. 10; Tawarikh 1-9 dll.) Namun demikian hal-hal itu bukan pokok pembicaraannya. Sehubungan dengan masalah sedemikian Kitab Suci menyesuaikan diri dengan alam pikiran dan anggapan yang ada dijaman tertentu dan dilingkungan kebudayaan khusus. Hal sedemikian tidak dibenarkan atau disangkal. Demikianpun halnya apabila Kitab Suci berbicara tentang susunan jagat raya dan manusia serta unsur-unsurnya. Ia mengambil alih anggapan yang laku. Mungkin si pengarang insani sungguh berpendapat demikian juga, tapi bukan itulah yang mau diutarakannya waktu menulis kitabnya. Alkitab bukan antropologi atau filsafat. Memang Kitab Suci banyak bercerita tentang kejadian-kejadian sejarah, namun ia bukan buku ilmu sejarah juga. Oleh karena demikian duduknya perkara, maka tak mungkin ada pertentangan antara ilmu pengetahuan dan Kitab Suci. Kitab Suci dan ilmu pengetahuan berbicara tentang sesuatu yang lain, wilayahnya adalah berbeda dan karenanya tidak dapat berbentrokan. Ilmu pengetahuan berbicara tentang apa yang termasuk kedalam dunia dan jagat raya ini, pada hal Kitab Suci membahas hubungan manusia dengan Tuhan dan campur tangan Allah dalam sejarah umat manusia, khususnya umat Allah.

Jadi maksud Kitab Suci ialah: menjelaskan dan menetapkan hubungan manusia dengan Allah dan hubungan satu sama lain atas dasar nasabah tersebut. Teranglah kiranya hal ini menyangkut juga kejadian sejarah, sebab Allah memimpin sejarah menuju ketujuannya, yakni keselamatan umat manusia. Namun kejadian-kejadian sejarah itu tidak disoroti oleh Kitab Suci sebagai kejadian-kejadian sejarah melainkan sebagai campur tangan Allah dalam sejarah untuk melaksanakan rencana penyelamatan. Dibidang keselamatan itulah letaknya kebenaran Kitab Suci. Dalam hal ini Alkitab sungguh bermaksud membenarkan dan menyungguhkan sesuatu. Karena itu konsili Vatikan II menyatakan bahwa Alkitab adalah benar sehubungan dengan kebenaran yang mau dicantumkan Allah dalam Kitab Suci demi keselamatan kita. Segala sesuatu yang menyangkut keselamatan dan sejauh menyangkut keselamatan adalah benar, apabila disungguhkan dan dibenarkan oleh pengarang suci. Kalau demikian, maka kekeliruan tidak mungkin lagi, oleh karena dibenarkan oleh Tuhan sendiri, yang memang tidak dapat keliru. Tentu saja ada mungkin banyak kebenaran lain tercantum dalam Kitab Suci dan sesungguhnya termaktub didalamnya. Akan tetapi kebenaran-kebenaran sedemikian itu adalah kebenaran insani yang tidak dijamin oleh Tuhan, sehingga dapat tidak tepat.

Jadi benarnya Kitab Suci cukup sempit wilayahnya. Manusia pada umumnya dan khususnya manusia yang terdidik menurut filsafat Yunani begitu saja ingin bahwa segala pikirannya dan perkataannya cocok dengan realitas yang nyata. Sikap ini menjadi landasan segala ilmu pengetahuan. Dan memang baiklah sikap itu. Akan tetapi sikap itu jangan begitu saja dipindahkan kepada Kitab Suci serta pengarang-pengarangnya. Mereka hanya ingin menyesuaikan pikiran dan perkataannya dengan realitas tertentu, yaitu hubungan Allah dengan manusia, khususnya apa yang dikerjakan Tuhan demi keselamatan manusia. Selanjutnya harus ditambahkan yang berikut ini: Bukan kita ini, manusia yang menetapkan apa yang menyangkut keselamatan dan berapa jauhnya menyangkut keselamatan itu. Itu ditetapkan oleh Allah sendiri, maklumlah dalam Kitab Suci dan dengan perantaraan kawibawa rasmi, iman dan pimpinan umat Allah, Gereja. Harus diakui juga, bahwa maksud Kitab Suci itu tidak selalu mudah dilihat dan gampang ditangkap. Disini para ahli yang dipimpin oleh iman Gereja harus memeriksa dan menyelidiki.

Untuk mengetahui apa yang dimaksudkan pengarang suci dan Alkitab dan yang karenanya disungguhkan oleh Roh Kudus penting sekali dikenal jenis sastera manakah dipergunakan Alkitab. Masalah ini dikupas dalam suatu uraian tersendiri, sehingga tak perlu diulang disini (lihat: Jenis Sastra)

Akan tetapi setelah maksud sebenarnya sudah diketahui, masih ada beberapa kemungkinan sehubungan dengan benarnya Alkitab. Boleh dikatakan begini: Ada beberapa tingkatan dalam kebenaran. Boleh jadi sesuatu dibenarkan dan disungguhkan pada umumnya saja atau juga secara terperinci. Suatu contoh: Cerita-cerita dalam Kitab Suci mengenai para bapa bangsa memang menyangkut keselamatan, campur tangan Tuhan dalam sejarah. Karenanya pasti si pengarang bermaksud menyungguhkan cerita-ceritanya itu. Tapi bagaimanakah dibenarkannya? Bahwasanya para bapa bangsa dipimpin oleh Allah, dilindungi serta diberkati olehNya dan lagi diberi janji keselamatan tentu dibenarkan. Tetapi soal lain ialah: Adakah semua cerita-cerita yang mengungkapkan hubungan khas itu dibenarkan secara terperinci juga? Itu pasti tak perlu diterima, dan malah tak mungkin diterima. Tak perlu diterima karena "kebenaran keselamatan" yang tercantum didalamnya. Cukuplah cerita-cerita itu pada umumnya benar: Para bapa bangsa sungguh dipimpin dan diberkati oleh Allah, entah bagaimana. Dengan demikian belum disangkal bahwa pengarang suci berpendapat semua terjadi sebagaimana diceritakannya. Namun demikian mengingat maksudnya waktu menulis, tidak semua dibenarkan pada ketika itu. Boleh jadi salah satu ucapan atau ceritera dibenarkan secara mutlak atau disungguhkan dengan syarat saja. Mungkin sesuatu dikemukakan hanya sebagai dugaan dan perkiraan, sebagai keraguan atau juga sebagai suatu kepastian. Dugaan dan perkiraan, keraguan dan kepastian tetap sama sifatnya apabila tercantum dalam Kitab Suci. Boleh jadi sesuatu dibenarkan sebagai kebenaran insani belaka atau sebagai kebenaran iman, jadi kebenaran ilahi yang tak terganggugugat. Justru dalam hal ini kawibawa Kitab Suci mencapai puncaknya, yakni apabila kebenaran dari iman umat Allah diucapkan. Boleh jadi sesuatu dikemukakan sebagai benar untuk sementara waktu dengan jalan terbuka untuk kemajuan dan perkembangan lebih lanjut. Umpamanya: Kitab Suci Perjanjian Lama sungguh membenarkan sepenuhnya, bahwa Allah adalah Esa. Tetapi jalan tetap terbuka untuk kemajuan, sehingga Perjanjian Baru dapat mengatakan bahwa Allah yang Esa itu ialah Bapa, Putera dan Roh Kudus. Kemajuan dan perkembangan sedemikian itu khususnya perlu diperhatikan sehubungan dengan kebenaran praktis, yaitu yang menyangkut tingkah-laku manusia. Adalah mungkin dan nyata terjadi, bahwa salah satu tindakan atau kelakuan dikatakan "benar", artinya baik, pada masa tertentu, dalam keadaan dan lingkungan tertentu. Kemudian perbuatan baik yang dibenarkan oleh Kitab Suci itu dapat menjadi buruk dan jahat serta ditolak oleh Alkitab. Misalnya: polygami oleh Perjanjian Lama dianggap dan dikatakan baik sehingga dibenarkan juga. Tetapi oleh Perjanjian Baru dilarang, ditolak dan tidak dibenarkan lagi.

Maka itu Kitab Suci adalah benar sehubungan dengan segala sesuatu yang menyangkut keselamatan dan yang oleh pengarang suci dibenarkan dan disetujui serta disungguhkan dan lagi hanya sejauh dibenarkan olehnya. Kalau demikian maka ia terlindung terhadap kekeliruan oleh inspirasi ilahi. Alkitabnya ialah: tidak segala sesuatu yang dikatakan oleh Alkitab adalah benar dan terjamin kebenarannya. Bahkan tidak segala sesuatu yang dibenarkan oleh si pengarang begitu saja dibenarkan dan dijamin oleh Roh Kudus. Pabila si pengarang membenarkan sesuatu hanya secara sambil lalu dan sebagai manusia saja, niscaya ia tidak terlindung terhadap kekeliruan. Perlindungan itu baru diberikan kepadanya, pabila ia sebagai pengarang Kitab Suci membenarkan sesuatu sehubungan dengan iman dan keselamatan. Dengan maksud itu ia diinspirasikan oleh Roh Kudus, yang mau memberikan keterangan tentang keselamatan dan sejarahnya. Alkitab tidak mau mengajar ilmu pengetahuan mana saja. Kesemuanya itu diserahkan oleh Tuhan kepada kecerdasan manusia, yang diberiNya akal untuk itu. Kitab Suci bermaksud mengajar agama, memperbincangkan hubungan Allah dengan manusia dan segala sesuatu yang dikerjakan Tuhan untuk keselamatan umat manusia.

Apa yang dikatakan diatas mengenai Kitab Suci sebagai Kitab Allah yang memuat pernyataan illahi. Tetapi Kitab Suci juga suatu buku insani yang boleh diperlakukan sebagai setiap buku insani. Kalau demikian maka benar tidaknya boleh dinilaikan secara ilmiah. Ada banyak hal dalam Kitab Suci yang tidak langsung menyangkut keselamatan. Sehubungan dengan itu ada juga banyak kebenaran tercantum didalam Alkitab, yang boleh dan harus ditimba oleh ilmu pengetahuan, khususnya ilmu sejarah. Para ahli dengan bebas boleh memeriksa dan menilaikan, apa benar apa tidak benar. Kalau benar, maka kebenaran itu adalah kebenaran insani; jika keliru, kekeliruan itu harus ditanggungkan kepada manusia yang menulis buku itu. Orang dapat menimba dari Kitab Suci pengetahuan lebih kurang pasti tentang sejarah dahulu, alam pikiran dan kebudayaan; tercantum didalamnya umpamanya bagaimana pendapat dan anggapan orang Keristen dahulu. Ternyata mereka amat mengharapkan kedatangan Tuhan diakhir jaman yang dikirakan tidak lama lagi akan terjadi. Para rasulpun ikut serta dalam harapan dan keyakinan insani itu. Keyakinan itu nyata keliru juga. Kesemuanya itu tidak menyangkut Alkitab sebagai Kitab Allah, melainkan hanya sebagai buku insani dari jaman dahulu.

Jadi kebenaran yang harus kita cari dalam Alkitab sebagai Wahyu Tuhan, ialah kebenaran keselamatan. Kebenaran itulah terjamin oleh Roh Kudus yang telah menginspirasikan Alkitab demi keselamatan manusia.


Catatan: dialihaksarakan ke ejaan baru oleh SABDA
Artikel ini diambil dari:
Judul belum diketahui, tapi kami menyebutnya sebagai buku hijau.
kembali ke atas