Dari Sejarah Alkitab Indonesia
|
Penerjemah Mazmur Pertama
Biografi singkat |
---|
George Henric (Henrik) Werndly (1694-1744) adalah seorang Swiss. Ia dikenal karena merupakan orang pertama yang menerjemahkan Mazmur ke dalam bahasa Melayu (1735). |
Dari: Organisasi, Ajaran, dan Kehidupan Gereja Pada Zaman VOC
Sudah barang tentu yang terutama diperlukan ialah terjemahan Alkitab. Dengan kagumnya kita melihat terjadinya terjemahan-terjemahan Alkitab dalam jumlah yang banyak. Pada tahun 1629 keluarlah terjemahan Perjanjian Baru, pada tahun 1648 keempat kitab Injil, pada tahun 1668 seluruh Perjanjian Baru dan kitab Kejadian (Ds. Brouwerius). Pada akhirnya seorang pendeta di Jakarta, yaitu Leydekker menyelesaikan seluruh terjemahan Alkitab sesudah bekerja bertahun-tahun dengan rajinnya. Untuk tugas yang besar dan berat itu ia telah dibebaskan dari pekerjaannya sebagai pendeta. Tetapi pada tahun 1701 meninggallah ia sebelum tugasnya itu selesai. Mulai dari Epesus 6:6 terjemahan itu diteruskan oleh penggantinya, yaitu Ds. P. van der Vorm. Lalu seluruh terjemahan itu diperiksa sekali lagi oleh seorang pendeta Swis, namanya Werndly. Pada tahun 1723 siaplah Alkitab itu untuk dicetak, akan tetapi barulah pada tahun 1733 keluar cetakan yang pertama. Sebenarnya lebih dari dua puluh tahun lamanya naskah-naskah itu disimpan di dalam lemari tuan-tuan XVII. Sebabnya ialah karena mereka menunggu berakhirnya suatu pertikaian yang disebabkan oleh Ds. Valentiyn. Pendeta ini -- di samping pekerjaannya sebagai pendeta dan penulis dari 5 jilid buku "Oud en Nieuw Oost Indië" -- telah menterjemahkan pula Alkitab ke dalam bahasa Melayu Ambon dan mencoba supaya terjemahannya itu yang dicetak dan bukan terjemahan Leydekker. Pendapatnya ialah bahwa bahasa tinggi dari Leydekker itu toh tidak akan dimengerti oleh orang-orang Kristen di Indonesia bagian timur. Akhirnya VOC memberi putusan yang lain, dan justru terjemahan Leydekkerlah seakan-akan memperoleh nilai pusaka di Timur Besar.
Sebagaimana "ibu-gereja" hendak menjadi suatu Gereja di bawah Alkitab, demikian juga halnya dengan anaknya di Indonesia. Meskipun begitu agak mengherankan kita, bahwa sesudah seabad berselang barulah diberikannya kepadanya segenap Alkitab. Akan tetapi hal itu tentu disebabkan juga oleh kenyataan, bahwa untuk kebaktian-kebaktian Belanda setidak-tidaknya orang memiliki Alkitab Belanda yang disebut "Statenvertaling". Dan selanjutnya untuk dipergunakan oleh "para guru" ternyata cukuplah buku-buku katekisasi dan terjemahan-terjemahan kitab-kitab Injil yang sudah disebut tadi itu. Dalam hubungan ini patut disebutkan bahwa juga orang-orang Kristen berbahasa Portugis memperoleh Alkitabnya di dalam bahasa Portugis. Malah terdapat tiga terjemahan Perjanjian Baru dalam bahasa Portugis. Tetapi yang diterima dan dicetak di Belanda pada tahun 1681, ialah terjemahan Ferreira (lih. hlm. 51), seorang keturunan Portugis. Terjemahan Perjanjian Lama yang pada tahun 1691 hampir selesai ketika Ferreira meninggal dunia, barulah dicetak pada tahun 1753.
Persesuaian itu tentunya meliputi juga penggunaan nyanyian-nyanyian mazmur di dalam kebaktian-kebaktian. Pada permulaan abad ke-17 kita jumpai sudah di Banda empat nyanyian gereja yang pertama, yaitu "Kesepuluh firman", "doa Bapa Kami", "Mazmur 100" yang telah digubah dan sebuah "nyanyian malam". Hingga 1652, terutama oleh Heurnius, selesailah dikarang 150 nyanyian mazmur. Kira-kira seabad kemudian jaitu pada tahun 1735 terbitlah suatu terjemahan serta gubahan baru oleh Ds. Werndly. Memang tidaklah mungkin untuk menyesuaikan juga lagunya dengan "ibu-gereja". Sejak tahun 1624 sudah sering diadakan surat-menyurat, bahwa hendaknya ditinggalkan saja "cara Inggris" dalam menyanyikan mazmur-mazmur itu. Sebenarnya "cara Inggris" ini tak ada sangkut pautnya dengan cara pembacaan mazmur di dalam doa pagi dan malam di Gereja Anglikan, dimana seorang juru baca (liturg) dan jemaat berganti-ganti dalam mengucapkan ayat-ayat mazmur. Kesulitan terutama untuk mengucapkan mazmur-mazmur itu sebaris demi sebaris sebelum jemaat menyanyi ialah kurangnya buku-buku nyanyian mazmur dan tidak pandainya kebanyakan orang-orang Kristen Indonesia membacanya.
[ Dr. Th. Muller Kruger, 1966, 40-41 ]
Dari: Alkitab Terjemahan Leijdecker
Setelah Pdt. Valentyn meninggal dunia pada tahun 1727, naskah terjemahan Dr. Leijdecker diteliti oleh suatu team yang terdiri dari Pdt. Pieter van der Vorm dari Batavia, Gerorge Henric Werndly dari Makassar (sekarang Ujung Pandang), Engelbertus Cornelis Ninaber dari Ambon, Arnoldus Brants dari Batavia, dan pakar-pakar bahasa Melayu setempat. Terjemahan itu dibandingkan dengan naskah bahasa-bahasa asli Alkitab dan dengan terjemahan Alkitab dalam bahasa Arab, Aram (Siria), Latin, Inggris, Jerman, Perancis dan Spanyol. Kemudian diterbitkanlah Perjanjian baru pada tahun 1731 dan Alkitab lengkap pada tahun 1733. Selain edisi huruf Latin yang dicetak di Amsterdam (1733) juga dicetak Alkitab Leijdecker edisi huruf Arab di Batavia pada tahun 1758, karena pada masa itu bahasa Melayu lazim ditulis dengan aksara Arab (di Semenanjung Malaka disebut aksara Jawi) - bahkan di beberapa tempat aksara Arab ini lebih dikenal dari pada aksara Latin. Edisi huruf Arab ini terdiri dari 5 jilid (volume).
[ Dr. Daud H. Soesilo, Ph.D, 2001, 50-51 ]
Dari: Alkitab: Di Bumi Indonesia
Terjemahan Leydekker diteliti kembali menurut bahasa-bahasa asli Alkitab. Versi itu pun dibandingkan dengan Kitab Suci dalam bahasa-bahasa Arab, Siriak, Latin, Belanda, Inggris, Jerman, Perancis, dan Spanyol. Pada bulan September 1729, selesailah peredaksian itu.
Terjemahan baru dari Alkitab lengkap itu dua kali ditulis dengan tangan: sekali dalam huruf latin, sekali dalam huruf Arab. Kedua naskah itu dikirim ke Belanda dalam dua kapal yang berbeda: Jangan sampai kedua-duanya hilang di dasar laut! Salah seorang redakturnya, G.H. Werndly, juga berlayar ke Belanda. Dengan pertolongan Ds. C. G Seruys dari Ambon dan dua pendeta pembantu bangsa Indonesia, ia mengawasi proyek penerbitan yang mahabesar itu.
Perjanjian Baru keluar pada tahun 1731. Seluruh Alkitab menyusul dua tahun kemudian. Barulah terbit pada tahun 1758 edisi yang berhuruf Arab, dalam bentuk lima jilid yang tebal. Edisi huruf Arab itu dicetak di Jakarta, karena dianggap terlalu mahal di Belanda.
Jadi, pada tahun 1733 muncullah Firman Allah yang lengkap dalam bahasa Melayu. Terjemahan Leydekker itu diterima dengan gembira. Lama sekali versi itu lebih disukai daripada yang lain-lain, bahkan mengungguli yang lebih baru dan lebih mudah dibaca. Masih dalam abad ke-20 ini ada cetakan ulang dari Alkitab Leydekker, atas desakan jemaat-jemaat di Ambon. Bahkan hingga kini belum ada satu terjemahan Alkitab yang lebih banyak mempengaruhi pikiran dan perbendaharaan kata umat Kristen Indonesia daripada Alkitab karya Melchior Leydekker.
[ H.L. Cermat, 21-22 ]
Referensi:
- End, Dr. Th. van den. 2001. Harta Dalam Bejana: Sejarah Gereja Ringkas. PT. BPK Gunung Mulia, Jakarta. Halaman 220.
- End, Dr. Th. van den. 2001. Ragi Carita 1. PT BPK Gunung Mulia, Jakarta. Halaman 115-127, 227-229.
- Kruger, Dr. Th. Muller. 1966. Sejarah Gereja Di Indonesia. Badan Penerbit Kristen, Jakarta. Halaman 38-46, 46-52, 84-97.
- Kilgour, Rev. R, D.D. Alkitab di Tanah Hindia Belanda. Halaman 171-176.
- Soesilo, Dr. Daud H., Ph.D. 2001. Mengenal Alkitab Anda. Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta. Halaman 49-51.
- Berkhof, Dr. H. dan Dr. I. H. Enklaar. 2001. Sejarah Gereja. PT BPK Gunung Mulia, Jakarta. Halaman 239-241.
- Cermat, H.L. Alkitab: Dari Mana Datangnya?. Lembaga Literatur Baptis, Bandung. Halaman 17-23.
- 1967. Judul belum diketahui, tapi kami menyebutnya sebagai buku hijau. Halaman 1-4.
Galeri
Sjiar Segala Mazmûr Dâ'ûd. Amsterdam 1735
Buku Mazmur dalam bahasa Melayu yang disertai dengan not angka. Buku ini dicetak di Amsterdam pada tahun 1735. Buku ini disampul vellum dan berwarna merah, dengan dekorasi berwarna emas.
18.4 x 10 cm.