Dari Sejarah Alkitab Indonesia
k (memindahkan Agama Kristen Orang-orang Barat ke artikel/agama kristen orang barat.htm) |
Revisi per 12:54, 28 Juni 2011
Dalam pasal ini kita berbicara mengenai bangsa-bangsa Barat yang datang ke Indonesia pada abad ke-16 dan ke-17, yaitu orang-orang Portugis dan orang-orang Belanda. Selain daripada mereka itu, di Indonesia Utara untuk sementara waktu terasa juga pengaruh orang-orang Spanyol yang menetap di Filipina.
Daftar isi
|
Agama Katolik ± tahun 1500
Orang-orang Portugis dan Spanyol menganut agama Kristen Katolik. Di sini, kita tidak perlu memberi keterangan terperinci mengenai agama itu. Cukup kalau disebut beberapa cirinya yang menentukan bentuk misi di Indonesia.
Agama Katolik dalam Abad Pertengahan bersifat hirarkis. Kaum awam kurang mempunyai suara dalam gereja; mereka berada di bawah imam, dan para imam pula membawahi uskup serta paus. Tetapi susunan hirarkis berarti juga bahwa gereja mempunyai organisasi yang rapih, sehingga sanggup menyelenggarakan usaha misi yang sangat luas. Berhubung dengan susunan hirarkis itu, gereja mengusahakan keseragaman yang sebesar mungkin, antara lain dalam hal ibadah. Bahasa ibadah pun harus sama di mana-mana (yaitu bahasa Latin).
Tekanan atas sakramen, iman, tidak diadakan terjemahan Alkitab
Selanjutnya dalam gereja zaman itu, pelayanan sakramen dianggap lebih penting daripada pelayanan Firman. Sakramen khususnya baptisan, perlu mutlak demi keselamatan. Pada anggota gereja biasa, tekanan atas sakramen ini bisa membawa kepada keyakinan bahwa unsur-unsur sakramen (air, roti, anggur) merupakan benda-benda sakti (bnd ± 1). Pentingnya sakramen membawa juga kepada anggapan yang tertentu tentang apa itu iman. Beriman tidak pertama-tama berarti memahami Firman Tuhan, tetapi terutama takluk pada kekuasaan gereja. Agar orang bisa menerima sakramen-sakramen, cukuplah kalau mereka mengenal rumusan-rumusan pokok agama Kristen dan mengakui bahwa gereja memiliki ajaran yang benar. Katekisasi dan pembinaan jemaat agak diabaikan. Secara khusus orang-orang awam tidak didorong untuk membaca dan memahami isi Alkitab; dari sebab itu terjemahan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa daerah di Eropa tidak diusahakan dengan rajin. Perjanjian Baru untuk pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Portugis menjelang akhir abad ke-18.
Negara harus melayani gereja
Perlu diperhatikan juga hubungan antara gereja dan negara. Masyarakat Eropa dalam Abad Pertengahan masih mengakui kesatuan azasi seluruh kehidupan. Tidak ada bidang yang tidak diatur oleh agama. Dalam hal ini corak berpikir yang terdapat dalam agama suku masih hidup terus di Eropa (sampai zaman Pencerahan). Tetapi, berlainan dengan agama suku, agama diatur oleh suatu lembaga khusus, yaitu gereja. Dengan demikian, gereja menguasai seluruh kehidupan masyarakat. Negara pun dianggap berada di bawah gereja. Tugas negara ialah melayani gereja, melindungi iman Kristen dari serangan musuh-musuhnya dan mendukung penyiarannya ke luar.
Ordo-ordo sebagai cadangan misionaris
Akhirnya masih mau disebut ordo-ordo kebiaraan. Dalam gereja Abad Pertengahan, pertarakan dipandang sebagai bentuk kehidupan Kristen yang paling tinggi. Orang-orang yang menuntut kehidupan yang demikian berkumpul membentuk ordo-ordo, misalnya ordo Fransiskan, ordo Dominikan, di kemudian hari juga Serikat Yesus. Mereka itu tidak terikat oleh harta-benda atau keluarga dan sering mereka adalah orang-orang Kristen yang bersemangat. Oleh karena itu anggota-anggota ordo cocok sekali untuk di pakai sebagai tenaga misionaris. Dari ordo-ordo itu berasal hampir semua misionaris di Indonesia.
Ideologi orang-orang Barat, imperialisme
Itulah agama orang-orang Barat yang pertama datang ke Indonesia, yaitu orang-orang Portugis dan Spanyol. Akan tetapi mengetahui agama mereka belum cukup. Kalau kita mau memahami tindakan mereka, kita harus mengenal juga pandangan-dunia mereka, ideologi mereka. Agama Kristen Abad Pertengahan hanya mengenal dua jenis agama yang lain, yaitu agama suku (yang di Eropa) dan agama Islam. Agama Islam sedikit-banyak dihormati: theologia Katolik mengakui bahwa orang-orang Islam menyembah Allah yang sama seperti orang-orang Kristen. Akan tetapi penilaian terhadap agama suku sama sekali bersifat negatip. Dalam agama suku, demikian orang-orang Kristen zaman itu, yang disembah ialah iblis. Pun kurang sekali minat atau pengertian bagi kebudayaan-kebudayaan lain. Satu-satunya kebudayaan yang sesuai dengan agama Kristen ialah kebudayaan orang-orang Kristen, berarti kebudayaan Eropa Barat. Kalau orang dari luar mau menerima iman Kristen maka serentak dengan itu ia harus menerima kebudayaan Eropa khususnya kebudayaan bangsa yang membawa Injil kepadanya.
Ideologi bangsa Spanyol dan Portugis, Islam musuh utama
Ideologi ini kuat sekali di tengah bangsa-bangsa Portugal dan Spanyol. Orang-orang Spanyol dan Portugis telah dijajah berabad-abad lamanya oleh orang-orang Islam, dan mereka baru memperoleh kemerdekaan setelah perang yang panjang. Pengalaman sejarah itu membuat mereka yakin bahwa mereka adalah bangsa yang paling setia kepada agama Kristen Katolik. Mereka merasa superior, bukan berdasarkan ras melainkan berdasarkan agama mereka. Dan mereka merasa terpanggil untuk mempertahankan agama Kristen terhadap musuh-musuhnya, dan menyiarkan iman ke mana-mana. Untuk itu, perang merupakan alat yang wajar. Menurut pandangan mereka, musuh utama ialah Islam, tetapi orang-orang kafir perlu dihadapi pula. Dalam pada itu, tidak ada bagi mereka perbedaan azasi antara penyiaran iman dan perluasan wilayah pengaruh Spanyol/Portugis. Mengkristenkan sama dengan men-spanyolkan atau mem-portugiskan. Dalam ideologi ini, gereja tidak berada di atas negara, tetapi keduanya merupakan kesatuan yang tak terpisahkan - tak ubahnya seperti dalam corak berpikir agama suku.
P.I. dan imperialisme Barat tidak selalu terjalin
Namun demikian, kita tidak boleh berpendapat seakan-akan dalam abad ke-16 di mana-mana serta terus-menerus gereja dan negara bergandengan tangan. Dalam praktek sehari-hari, kepentingan negara tidak tertindih tepat dengan kepentingan gereja. Dan tentu saja selalu ada pejabat-pejabat yang lebih memperhatikan kepentingan negara. Di daerah-daerah jajahan selalu juga ada banyak oknum-oknum, pedagang-pedagang atau lain, yang bersikap acuh-tak-acuh terhadap iman Kristen dan yang dengan perbuatan mereka menghalangi penyiarannya. Dari pihak gereja, ideologi imperialisme didobrak oleh Kontra-Reformasi (± 1540) yang menegaskan kembali bahwa gereja berada di atas negara dan bahwa misionaris mempunyai tugas dan tujuan lain daripada penjajah (bnd ±± 6, 7).
Orang-orang Belanda Protestan Calvinis
Satu abad setelah orang-orang Portugis, orang-orang Belanda datang ke Indonesia. Mereka adalah orang-orang Kristen juga, tetapi dengan cara percaya yang lain, karena mereka telah menjadi pengikut Reformasi, khususnya Reformasi Calvin. Orang-orang Protestan itu mempunyai organisasi gereja, ibadah dan ajaran yang jauh berbeda dari yang terdapat dalam Gereja Katolik-Roma. Tidak ada lagi hirarki dalam gereja. Alkitab harus disebarkan seluas mungkin dalam bahasa yang bisa dimengerti orang, dan penafsirannya dalam khotbah merupakan salah satu bagian ibadah yang terpenting. Ibadah tak usah seragam di mana-mana. Negara tidak berada di bawah gereja, tidak juga di atasnya, tetapi di sampingnya, dan keduanya harus bekerja sama demi kemajuan kerajaan Allah.
Cara-cara lama yang hidup terus
Namun demikian, dalam kehidupan bangsa-bangsa Protestan cara-cara lama masih berpengaruh. Kecenderungan untuk berpikir menurut kerangka hirarkis tidak begitu mudah hilang dari gereja. Lagi pula orang-orang Belanda pun berpendapat bahwa gereja mereka mempunyai bentuk yang paling baik, sehingga lebih aman kalau diikuti saja oleh orang-orang lain. Sikap-sikap ini akan paling menonjol di daerah-daerah jajahan.
Dua halangan untuk P.I.
Dalam dua hal perbedaan dengan Gereja Katolik mula-mula menghalangi usaha pekabaran Injil oleh kaum Protestan. Pertama-tama, Reformasi telah menghapuskan ordo-ordo kebiasaan. Akibatnya, tidak ada dalam Gereja Protestan suatu cadangan tetap orang-orang yang tidak terikat dan yang rela pergi ke mana-mana. Selanjutnya, kedudukan gereja terhadap negara telah menjadi lebih lemah. Theologia tidak memandang lagi negara sebagai pelayan gereja, dan Gereja Protestan tidak mempunyai organisasi internasional yang lebih luas daripada wilayah satu negara saja. Sebaliknya, negara-negara Protestan berusaha untuk menguasai gereja di daerahnya masing-masing. Setidak-tidaknya bagi negara-negara itu kepentingan sendiri mendahului kepentingan gereja dan agama. Sikap ini juga paling menonjol di daerah-daerah jajahan.
Ideologi orang-orang Belanda, Katolik musuh utama
Terhadap agama dan kebudayaan lain, orang-orang Belanda Protestan tidak mempunyai pandangan yang lebih positif daripada orang-orang Barat lainnya pada zaman itu. Khususnya agama suku bagi mereka adalah takhyul belaka, atau malahan penyembah iblis. Namun demikian, mereka tidak mempunyai ideologi seperti Portugal dan Spanyol, yaitu rasa superioritas yang didukung oleh agama. Ajaran Calvinis mewajibkan negara untuk membantu gereja dalam mempertahankan iman yang murni dan dalam mengabarkan injil. Dan secara resmi negara Belanda bersedia melaksanakan tugas itu. Akan tetapi orang-orang Belanda adalah pedagang, dengan mental pedagang. Fanatisme agamani dapat merusakkan kemakmuran dan oleh karena itu mereka bersikap toleran. Pekabaran Injil pun boleh, asal tidak merugikan perdagangan. Selain dari pada itu, orang-orang Belanda mempunyai sejarah yang lain daripada bangsa-bangsa Eropa Selatan. Mereka belum pernah berurusan langsung dengan Islam. Tetapi mereka harus mengadakan perang kemerdekaan melawan Spanyol yang Katolik. Maka dari itu yang mereka pandang sebagai musuh utama bukan agama Islam, melainkan Gereja Katolik. Hal ini akan mempengaruhi politik mereka di Indonesia.
Ringkasan
Kita menyimpulkan. Orang-orang Barat yang datang ke Indonesia adalah orang-orang Kristen. Tetapi pola berpikir (ideologi) mereka mengandung unsur-unsur yang mengingatkan kita kepada agama-agama suku. Unsur-unsur ini mempengaruhi bentuk Injil yang dibawa ke Indonesia, dan dengan demikian ikut menentukan bentuk kekristenan di Indonesia. Secara khusus, kita melihat bahwa semangat mengabarkan Injil sering -- tetapi tidak selalu -- jalin-menjalin dengan keinginan memperluas wilayah pengaruh bangsa sendiri.
Bibliografi | |
Artikel ini diambil dari: |