Dari Sejarah Alkitab Indonesia
Daftar isi
|
Keadaan Umum
Sama seperti Minahasa, begitu juga bagian-bagian Sulawesi Utara lainnya sudah didatangi orang Eropa, termasuk pekabar-pekabar Injil, sejak abad ke-16 (§ 11). Meskipun demikian, daerah-daerah lain itu kurang mendapat minat penguasa Eropa ketimbang daerah Minahasa. Seluruh wilayah Sulut sudah termasuk lingkungan pengaruh Belanda sejak zaman VOC, namun kekuasaan Belanda barulah dimantapkan pada tahun 1882 di Sangir-Talaud, 1889 di Gorontalo, 1900 di Bolaang Mongondow. Dalam abad ke-19, di wilayah ini sebagian besar penduduk sudah tidak lagi menganut agama nenek moyang: agama Isalam dan agama Kristen telah masuk pada abad ke-16, dan dalam abad ke-19 pengaruh kedua agama tersebut semakin meluas.
Sangir-Talaud
Gugusan pulau Sangir-Talaud terbentang sepanjang 600 km. di pinggir lautan Pasifik. Di antara pulau-pulau itu, yang jumlahya 70, terdapat beberapa yang agak besar, a.l. pulau Siau dan pulau Sangir Besar (Sangir Besar kira-kira seluas wilayah kota Jakarta Raya). Jumlah penduduk pada abad ke-19 berkisar sekitar 70.000 jiwa. Mereka ini memakai dua bahasa, yaitu bahasa Sangir dan bahasa Talaud, yang berbeda-beda logatnya menurut daerah. Nafkahnya diperolehnya dari perikanan dan dari perkebunan kelapa dan pala. Di Sangir Besar, sebagian penduduk sejak abad ke-16 sedah masuk Islam, sedangkan sebagian lain pada zaman itu telah masuk Kristen. Tetapi sampai akhir abad ke-19 mayoritas orang Sangir dan Talaud masih beragama suku. Selama masa penjajahan Belanda terdapat dua faktor yang, di samping perhubungan yang sulit, secara khusus mempersulit karya pI, yaitu kehadiran sejumlah besar pedagang yang a.l. memasukkan minuman keras, dan sikap bermusuhan yang diperlihatkan oleh sebagian pejabat pemerintah (Controleur) Belanda, yang ditempatkan di daerah itu sejak tahun 1882.
Keadaan jemaat sekitar tahun 1850
Sekitar tahun 1850, di kepulauan Talaud sudah tidak ada lagi orang Kristen. Di pulau-pulau Sangir tetap ada jemaat-jemaat Kristen, lengkap dengan gedung gereja dan sekolahnya. Jemaat-jemaat ini tetap memelihara kerangka kehidupan Kristen. Di dalam gedung gereja yang terawat dengan baik terdapat bangku-bangku khusus untuk para pemuka kampung. Setiap hari Ahad jemaat berkumpul mengikuti kebaktian yang polanya masih seperti pada zaman Kompeni (§ 10). Pengumpulan dana pun tidak terlupakan. Pada hari Kamis malam diadakan kelompok doa. Tidak diadakan ketekisasi, tetapi di sekolah anak-anak menghafal beberapa Mazmur serta doa berikut bahan-bahan dari katekismus. Penduduk itu pun memiliki kesadaran Kristen yang tinggi: apabila seorang pendeta datang berkunjung (yang jarang terjadi), maka mereka berdesak-desakan meminta agar dibaptis, sehingga pada kesempatan itu ada sampai 5.000 lebih orang dibaptis. Namun agama Kristen tidak berhasil meresap dalam kehidupan sehari-hari; agama itu merupakan "agama upacara". Soalnya, para penghantar jemaat tidak berpendidikan khusus; kebaktian dijalankan dalam bahasa asing, yakni bahasa Melayu; tidak ada majelis gereja; tidak ada pelayanan Perjamuan Kudus, karena tidak ada anggota sidi; buku Kitab Suci (yang tentu dalam bahasa Melayu, yang kuno lagi) sudah amat langka, pengajaran agama yang sedikit diperoleh di sekolah pun hanya dinikmati oleh segelintir anak-anak. Pendeknya, jenis kekristenan seperti yang terdapat di jemaat-jemaat VOC yang terlantar itu sangat bertentangan dengan cita-cita yang dikandung oleh para pekabar Injil yang dalam tahun 1850-an datang ke Sangir-Talaud (bnd. § 26).
Para zendeling pertama
Para pendeta dan pekabar Injil yang dari Minahasa melakukan kunjungan ke Sangir-Talaud mendesak NZG (§ 29) agar menangani karya pI di pulau-pulau itu. Tetapi NZG, selain memiliki lapangan kerja di Maluku, Timor, dan Minahasa, baru saja mulai mengutus tenaga ke Jawa Timur pula (§ 24), sehingga merasa tidak mampu. Maka Panitia Zendeling-tukang (§ 19, 30) merasa terpanggil untuk mengisi lowongan itu. Dalam tahun 1857, sesudah dua tahun dalam perjalanan, empat zendeling-tukang mendarat di pulau-pulau Sangir, dua tahun kemudian empat orang lagi tiba di Talaud. Sesuai dengan asas yang dianut oleh Panitia tersebut, mereka tidak mendapat gaji yang tetap. Namun, pemerintah mengakui jemaat-jemaat di Sangir sebagai jemaat-jemaat VOC, sehingga bersedia menyediakan anggaran untuk para pekerja baru itu. Mereka ini kebanyakan orang Jerman dari kelompok Gossner (§ 30, 36). Yang menjadi tokoh yang terkenal di antara mereka ialah E. T. Steller, yang selama masa 1857-1897 bekerja di Manganitu, Sangir Besar.
Pendekatan para zendeling
Steller bersama rekan-rekannya segera menjalankan upaya untuk membenahi jemaat. Mereka ingin supaya semua anggota memiliki kesalehan hati dan kesucian hidup. Secara negatif, mereka memberantas kepercayaan takhyul, kebiasaan minum minuman keras dan perkawinan poligami yang banyak terdapat di kalangan orang Kristen. Secara positif, mereka secepat mungkin mulai menggunakan bahasa daerah sebagai ganti bahasa Melayu. Beberapa bagian Alkitab mereka terjemahkan ke dalam bahasa daerah (1883, PB dalam logat Siau; 1942, PB dalam bahasa Sangir), begitu pula Katekismus Heidelberg (1871), Perjalanan seorang Musafir karangan J. Bunyan, dan lain-lain. Jumlah kebaktian diperbanyak: pada hari Minggu petang bahan yang telah dikhotbahkan dalam kebaktian pagi dibahas lagi, disusul oleh katekisasi dan Sekolah Minggu. Tiap-tiap hari diadakan kebaktian pagi dan malam, yang juga digunakan untuk maksud pengajaran agama. Tiap bulan ada kumpulan pekabaran Injil di Manganitu. Di sana diberikan keterangan mengenai karya pI di seluruh dunia, lalu diadakan doa syafaat serta pengumpulan dana untuk karya itu. Di samping itu, Steller banyak berkunjung ke rumah anggota jemaat, khususnya yang sakit atau yang jatuh ke dalam dosa, dan rumah Zendeling itu pun terbuka bagi orang Sangir. Bertentangan dengan para pendeta yang telah datang berkunjung sebelum tahun 1857, Steller dan mayoritas teman-temannya enggan membaptis orang dewasa kalau tidak ada persiapan yang matang.Lamanya persipan itu harus minimal satu tahun, tetapi kalau zendeling meragukan mutu kepercayaan sang calon, baptisan itu pun ditunda sampai tiga empat tahun. Lebih baik jemaat-jemaat yang kecil dan setia daripada yang besar namun suam-suam kuku, demikian pandangan mereka.
Perkebunan Gunung
Tunjangan yang diperolehnya dari pemerintah tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga zendeling sendiri, apalagi keluarga besar yang terdiri dari anak-anak asuh dan lain-lain. Oleh Panitia Zendeling tukang mereka telah disuruh mencari rejeki melalui kecakapan masing-masing selaku tukang. Tetapi bagaimana seorang pembuat kereta dapat mencari nafkah di negeri yang tidak ada jalan-jalan, atau seorang tukang sepatu di tempat tidak memakai sepatu? Khususnya dalam tahun-tahun pertama para pekabaar Injil itu sungguh melarat, apalagi di Talaud. Di situ para zendeling terpaksa hidup sesuai dengan pola penduduk setempat, termasuk jenis makanan, serta mengawini putri daerah. Maka Steller mencari jalan keluar dengan membuka hutan di pegunungan di atas Manganitu. Dengan demikian lahirlah perkebunan "Gunung", yang bisa berhasil karena zendeling sendiri dengan tidak mengenal lelah membabat pohon-pohon dan mengerjakan kebun itu. Tetapi yang dihasilkan "Gunung" itu bukan hanya pendapatan tambahan bagi kas pribadi Steller ataupun bagi kas zending. Perkebunan itu dijadikan sebagai dasar seluruh karya pI, karena merupakan persemaian tenaga pemimpin dalam gereja dan juga dalam masyarakat luas. Sesuai dengan cita-cita pietis, Steller ingin merombak seluruh pola kehidupan masyarakat Sangir. Ia ingin membina orang yang, di samping menjadi pribadi yang saleh, juga biasa dengan kehidupan yang teratur, yang menghargai pekerjaan keras dan, meskipun termasuk golongan bangsawan, tidaklah menghina pekerjaan tangan. Anak-anak yang menawarkan diri untuk menjadi anak asuh di "Gunung" mendapat pendidikan sekolah pada malam hari; pada siang hari mereka bekerja di kebun, dan pagi serta malam mereka diikutsertakan dalam ibadah doa, sehingga di situ dijalankan kehidupan yang subur dalam kerangka liturgis yang kokoh. Jumlahnya bisa sampai 90 orang sekaligus, dan mereka tinggal di sana lima sampai sepuluh tahun atau lebih. Di antara para tamatan "Gunung", banyak yang menjadi guru/penghantar jemaat ataupun kepala kampung, atau merantau ke daerah lain menjadi mantri kesehatan dan lain-lain. Salah satu hasil sampingan usahanya ialah bahwa pada masa kelaparan Steller dapat menyediakan bahan makanan untuk orang banyak.
Tanggapan orang Sangir
Mula-mula penduduk Kristen bersikap agak negatif terhadap upaya para zendeling. Kan mereka sudah dibaptis, maka kenapa pula status mereka selaku orang Kristen perlu diragukan? Kalau mereka sudah mengikuti katekisasi, kenapa mereka diharuskan belajar lagi? Mereka enggan menerima disiplin gerejawi terhadap kebisaan mereka, seperti poligami dan sebagainya. Namun, dalam waktu relatif singkat kehidupan jemaat berhasil dirombak Jumlah anggota sidi, yang pada waktu sebelum kedatangan para zendeling masih praktis nol, meningkat menjadi ribuan, meskipun diadakan penyaringan yang ketat. Poligami hilang, pengaruh agama suku mundur. Jemaat-jemaat memiliki penatua-penatua dan diaken-diaken. Jemaat belajar membiayai sendiri pembangunan dan pemeliharaan gedung gereja serta sekolah; mereka memberi sumbangan untuk gaji penghantar jemaat dan untuk biaya pekabaran Injil di daerah lain ataupun untuk menolong korban bencana alam. Jemaat Manganitu sejak tahun 1865 membiayai tenaga penginjil orang Sangir di kepulauan Talaud. Di kampung-kampung Kristen, masyarakat kampung merupakan semacam teokrasi, sebab gereja dan sekolah, perayaan hari Minggu, dan kehidupan sehari-hari semua ditandai oleh agama. Jumlah anggota gereja pun meningkaat dengan cepat, dari § 20.000 (35% seluruh penduduk) pada tahun 1855 menjadi 121.000 (75%) pada tahun 1936, belum terhitung puluhan ribu orang Sangir dalam perantauan. Pada tahun 1891 dibuka sekolah pendidikan guru di Siau(1908 pindah ke Kaluwatu, 1933 ditutup).
Perombakan organisasi
Sejak tahun 1858, Panitia Zendeling-tukang tidak begitu aktif lagi, dan dengan kematian Heldring pada tahun 1876 kegiatan Panitia itu sama sekali berhenti. Dengan demikian, para utusannya tidak lagi memiliki pangkalan di tanah air, sedangkan tidak juga ada badan yang bisa mengutus tenaga tambahan. Maka pada tahun 1887 di Negeri Belanda didirikan Panitia Sangir-Talaud (§ 30). Atas desakan Panitia itu, para pekerja di Sangir-Talaud yang selama itu bekerja sendiri-sendiri dengan mengikuti selera masing-masing dalam hal metode, digabungkan menjadi Konferensi para Zendeling, yang berkumpul setahun sekali. Di samping itu, dibentuk pula Konferensi para pengerja pribumi, yang berkumpul dua tahun sekali bersamaan waktu dan tempat dengan Konferensi para Zendeling.
Menuju pembentukan GMIST
Meskipun tingkat kehidupan jemaat sudah berhasil dinaikkan, para zendeling menganggap jemaat belum "matang", sehingga belum bisa berdiri sendiri. Masih terlampau banyak orang Kristen secara nama saja, masih terlampau banyak "sisa-sisa kekafiran" yang bertahan dalam jiwa anggota jemaat, masih kurang tenaga Indonesia yang mampu menggantikan para zendeling bangsa Eropa. Akan tetapi, dalam tahun-tahun 1920-an pola berpikir yang berlaku di kalangan para zendeling itu mulai berubah (§ 29). Tidak mungkin jemaat belajar untuk berdiri sendiri, baik secara rohani maupun secara material, selama jemaat itu berada di bawah perwalian zending terus-menerus. Maka pada tahun 1921 sudah ditahbiskan enam belas pendeta pribumi (inlands leaars), yang berhak melayankan sakramen-sakramen sehingga berwenang sama dengan para utusan Injil dari Eropa. Salah seorang di antara mereka ialah Yahya Salawati (§ 1890-1964), yang dikemudian hari menjadi ketua sinode yang pertama. Dia bersama orang lain memainkan peranan penting sebagai penasihat para zendeling. Akan tetapi, para zendeling kemudian menjadi sadar bahwa para pendeta pribumi sebaiknya tidak dipandang sebagai pengganti mereka, dengan akibat struktur hierarki yang berlaku dalam zending boleh jadi diteruskan dalam gereja yang berdiri sendiri kelak. Maka mulai tahun 1930 diadakan pembicaraan dengan maksud mempersiapkan peraturan gereja berpola presbiterial. Prosesnya berkepanjangan, sehingga belum selesai waktu Perang Dunia II meletus. Pada tahun 1926 dua kelompok malah telah memisahkan diri dari jemaat zending, karena tidak lagi menerima perwalian zending itu. Tetapi zaman Jepang yang penuh kesusahan itu (sejumlah pemuka masyarakat Sangir tewas terbunuh oleh Jepang) untuk sementara waktu menghentikan proses peralihan pimpinan; lagi pula pada masa itu para zendeling lagi ditawan oleh Jepang. Namun, pada taun 1974 (tanggal 25 Mei) berdirilah Gereja Masehi Injili Sangihe Talaud.
Sesudah tahun 1947
Selama tahun-tahun pertama, sebagian besar jemaat-jemaat di kepulauan Talaud tidak masuk menjadi bagian gereja yang baru berdiri sendiri itu. Barulah pada tahun 1955, ketika ketua Sinode yang pertama Y. Salawati, diganti oleh seorang talaud, jemaat-jemaat itu bergabung dengan GMIST. Di masa kemudian, hubungan antara kedua wilayah GMIST itu bukan tidak menimbulkan persoalan. Pun hubungan dengan klasis Indonesia Barat, yang mencakup jemaat-jemaat orang Sangir dalam perantauan di Jawa dan Sumatera, mengalami kesulitan karena jarak yang jauh. Terdapat pula sejumlah besar orang Sangir yang dari dulu sudah menetap di Filipina Selatan. Pada tahun 1943, bakal GMIST sudah merencanakan usaha pekabaran Injil di tengah kelompok tersebut, tetapi pelaksanaannya dicegah oleh campur tangan pihak Jepang. Pada tahun 1965, GMIST meminjamkan seorang pendetanya kepada DGI, yang mengutusnya ke Filipina Selaatan untuk bekerja di situ di bawah naungan Dewan Gereja-Gereja Filipina, bersama beberapa guru Sangir.
Organisasi gereja
Dalam hal organisasi gereja, GMIST dengan susah payah mencari pola yang cocok dengan keadaan di gugusan pulau yang terbentang luas dan yang sebagian besar miskin itu. Pada sidang sinode tahun 1961 diambil keputusan untuk mengupayakan desentralisasi (bnd. § 34). Dibentuklah "jemaat-jemaat otonom", yang diberi wewenang seperti yang sesungguhnya dinikmati oleh klasis-klasis. Akan tetapi, ternyata sistem ini tidak memenuhi harapan, sehingga sinode tahun 1970 menempuh jalan yang justru lain: baik jemaat-jemaat otonom maupun klasis-klasis dihapuskan dan diganti tiga resort besar. Dengan demikian jemaat-jemaat langsung berurusan dengan sinode. Tujuannya a.l. supaya dengan adanya organisasi baru itu keadaan kas sinode membaik (bnd. § 35). Ternyata keadaan tidak menjadi lebih baik, maka pada tahun 1978 klasis-klasis dipulihkan. Dalam pada itu, timbul kesadaran bahwa lebih dulu GMIST perlu memikirkan secara mendalam dasar dan tujuan kehidupannya sebagai gereja. Maka dengan maksud itulah sejak tahun 1983 GMIST mulai meninjau kembali secara sungguh-sungguh tata gereja yangg pada tahun 1947 diwariskan kepadanya oleh zending, dan yang selama itu belum banyak mengalami perubahan. Jumlah anggotaa gereja kini (1997) 220.000 lebih (1972: 183.344), yang merupakan 90% lebih dari seluruh penduduk kepulauan Sangir-Talaud. Gereja-gereja terbesar lainnya di Sangir-Talaud. Gereja-gereja terbesar lainnya di Sangir-Talaud ialah Gereja Katolok Roma dan Pentakosta.
Bolaang Mongondow
Dalam abad ke-18 sudah terdapat ratusan orang Kristen di daerah pesisir Bolaang Mongondow. Tetapi daerah ini pun tidak mendapat perhatian yang cukup dari pihak VOC. Dalam abad ke-19, Islam masuk dan raja pun memeluk agama Islam. Tenaga NZG di Minahasa mengunjungi kelompok-kelompok perantau dari Minahasa yang terdapat di situ. Tetapi ketika NZG hendak mengutus seorang tenaga tetap, pemerintah Belanda melarangnya, dengan alasan tidak bisa menjamin keselamatan utusan itu. Pada tahun 1904 raja Cornelis Manoppo, seorang Islam, yang telah berbuat banyak untuk membangun kehidupan rakyat, meminta zending agar membuka sekolah-sekolah didaerahnya. NZG mengutus beberapa orang, yang a.l. membuka sekolah HIS di Kotamobagu. Di samping memperhatikan pendidikan, zending menekankan pemeliharaan terhadap orang Minahasa dan Sangir yang telah merantau ke daerah itu. Pekerjaan di kalangan orang asli yang beragama Islam tidak dilakukan secara langsung dan intensif. Pun para guru dan penghantar jemaat kebanyakan berasal dari Minahasa. Di antara mereka terdapat guru J. Pandegirot (guru sejak 1906, 1930 ditahbiskan menjadi pendeta pribumi) yang menjadi tokoh pemimpin waktu Perang Dunia. Namun, ada pula sebagian orang asli Bolaang Mongondow yang masuk Kristen. Pada tahun 1970 mereka ini merupakan 20% dari jumlah anggota gereja yang pada waktu itu meliputi 30.000 jiwa lebih (15-20% penduduk). Kini (1997) anggota GMIBM berjumlah 85.000.
Gereja berdiri sendiri
Kemandirian gereja barulah mendapat perhatian pada tahun 1938 dengan kedatangan seorang zendeling dari Sangir, yang secara khusus didatangkan untuk itu (J. Langeveld). Ia mengadakan rapat para penghantar jemaat (permulaan 1939), kemudian kumpulan wakil-wakil jemaat (Desember 1939). Dalam rapat itu ditetapkan organisasi gereja yang bersifat sementara. Peresmian gereja mandiri (secara formal) berlangsung sesudah perang, yaitu pada tahun 1950. Sama seperti gereja-gereja lainnya di wilayah Sulutteng, Gereja Masehi Injili Bolaang Momgondow ini banyak menderita akibat pergolakan PERMESTA.
Gorontalo Buol Toli-toli
Mulai tahun 1889, seorang asisten-residen Belanda menetap di Gorontalo. Oleh karena itu, di sana terdapat sejumlah orang Kristen Indonesia, khususnya orang Minahasa. penduduk asli sebagian besar menganut agama Islam. Pada tahun 1891-1898 seorang tenaga utusan NZG menetap di situ, tetapi tidak ada hasil yang nyata. Namun, Gorontalo termasuk resort pendeta GPI yang bertempat di Manado, dan jumlah orang Kristen bertambah terus karena datangnya perantau dari Minahasa. Pada tahun 1936, GMIM yang baru berdiri sendiri itu (§ 34) menerima Gorontalo bersama Donggala menjadi daerah pekabaran Injil-nya. pada tahun 1965 berdirilah gereja Protestan Indonesia Gorontalo (GPIG), yang anggotanya 14.000 lebih. Dengan cara yang sama berdiri pula Gereja Protestan indonesia Buol Toli-toli (GPIBT) pada tahun 1965, yang anggotanya berjumlah 14.500 lebih (1997).
Bibliografi | |
Artikel ini diambil dari: |