Dari Sejarah Alkitab Indonesia
Daftar isi
|
VOC memulihkan perdamaian di Ambon
Pada tahun 1605, angkatan laut VOC merebut benteng-benteng Portugis di Banda dan di Ambon. Orang-orang Kristen di Ambon dan Lease, yang telah merupakan sekutu orang-orang Portugis, menjadi rakyat Kompeni. Sebaliknya orang-orang Islam di Hitu, musuh kawakan orang-orang Portugis tadi, menjadi sekutu VOC. Namun demikian, kedatangan orang-orang Belanda membawa satu hadiah besar bagi kampung-kampung Kristen, malahan bagi seluruh Ambon dan Lease. Sebab mereka itu berhasil mengikat perjanjian perdamaian antara semua kampung di pulau-pulau itu. Berhentilah peperangan antar-kampung, yang selama masa Portugis menjadi salah satu halangan besar bagi perkembangan agama Kristen.
Kebijaksanaan ekonomi-politis VOC
VOC adalah badan perdagangan. Tujuannya sama dengan tujuan orang-orang Portugis sebelumnya, yaitu memperoleh monopoli, hak tunggal untuk jual-beli rempah-rempah. Untuk itu, VOC tidak perlu menjajah seluruh Maluku; cukuplah menguasai daerah itu sehingga penguasa-penguasa serta penduduk dapat dipaksa mengakui monopoli tersebut. Orang-orang Portugis telah gagal dalam usaha ini, tetapi VOC jauh lebih kuat daripada mereka. Dalam serentetan perang, daerah-daerah yang tidak bersedia mentaati perintah-perintah VOC dibuat tak berdaya (Banda 1621, Hitu 1645, Seram Barat 1655). Orang-orang Kristen di Ambon-Lease memberontak juga, tetapi mereka pun terpaksa takluk. Produksi rempah-rempah dipusatkan di pulau-pulau tertentu, yang dijadikan jajahan Belanda: Ambon-Lease dan kepulauan Banda. Daerah-daerah lain tidak dijajah, tetapi pohon-pohon cengkeh dan pala di situ dirusakkan (hongi).
Akibatnya bagi perluasan agama Kristen
Kebijaksanaan VOC itu membawa akibat bagi penyiaran agama Kristen. Bagi VOC, sama seperti bagi negara Portugis, kepentingan agama dan kepentingan negara bertindih tepat. Berarti, VOC dengan segala tenaga mendukung pemeliharaan orang-orang Kristen dan pekabaran Injil di daerah-daerah yang secara langsung dikuasainya, yaitu Ambon-Lease dan Banda. Daerah-daerah ini menjadi daerah-pusat agama Kristen di Maluku. Kalau pulau-pulau yang terletak di sekitar pusat itu, seperti Seram Selatan, Kei, Aru, pulau-pulau Barat-daya, maka ada perhatian juga, tetapi sudah kurang. Daerah-daerah ini menjadi daerah-pinggir dalam riwayat kekristenan Maluku pada zaman VOC. Akhirnya daerah-daerah yang jauh atau yang sama sekali tidak mempunyai arti bagi VOC dibiarkan saja, walaupun dalam beberapa hal Injil sudah dikabarkan di sana sebelumnya oleh Misi Katolik-Roma. Begitu misalnya Halmahera, juga Irian. Dibandingkan dengan zaman Portugis, agama Kristen pada zaman VOC berkurang di Maluku Utara, tetapi memperoleh wilayah yang lebih luas di Maluku Selatan.
Orang-orang Kristen Ambon dijadikan Protestan
Orang-orang Kristen di Ambon dan Lease mempunyai agama yang sama seperti orang-orang Portugis, musuh VOC. Hal itu tak dapat diterima oleh penguasa-penguasa yang baru, "Yang empunya negara, menentukan agama", jadi orang-orang Kristen yang baru ditaklukkan itu harus menjadi Protestan. Imam-imam Katolik diusir. Tetapi untuk sementara waktu mereka tidak diganti. Tidak ada lagi ibadah, sekolah dihentikan. Sebab VOC belum mempunyai tenaga untuk memelihara orang-orang Kristen yang sudah ada ataupun mengabarkan Injil kepada orang-orang bukan-Kristen. Di benteng hanya ada seorang "penghibur orang-orang sakit", yang bertugas juga mengucapkan doa pagi dan doa malam, dan yang pada hari Minggu membacakan khotbah yang ditulis oleh seorang pendeta di Belanda. Orang yang demikian ditempatkan di setiap kapal dan setiap benteng VOC. Mereka tidak diberi pendidikan khusus, dan mereka belum ditugaskan untuk memperhatikan orang-orang Indonesia.
Mereka menghendaki Baptisan (1605)
Patut diperhatikan bahwa dalam kekosongan ini orang-orang Ambon tetap mau menjadi Kristen. Mereka mendatangi "penghibur orang-orang sakit" yang ditempatkan di benteng itu dan meminta agar ia membaptis anak-anak mereka. Kebetulan orang itu telah mendapat izin untuk melayankan sakramen Baptisan, sehingga ia dapat memenuhi permintaan mereka. Kita boleh menduga bahwa hal ini hanya menyangkut orang-orang Kristen yang tinggal di kampung-kampung sekitar benteng (§ 9). Negeri-negeri di pegunungan dan di pulau-pulau lain untuk sementara waktu masih terlantar sama sekali.
Sekolah dibuka kembali (1607)
Setelah dua tahun, ketika Ambon dikunjungi lagi oleh suatu armada VOC, orang-orang Kristen Ambon meminta juga agar sekolah dibuka kembali, dan permintaan itupun dikabulkan. Mantri kesehatan dari kapal-kapal Belanda turun ke darat dan menjadi guru sekolah di Ambon. Di sekolah itu anak-anak belajar membaca, menulis dan menghitung -- semuanya dalam bahasa Belanda -- dan mereka menghafal Doa Bapa Kami, Pengakuan Iman Rasuli dan Dasatitah dalam bahasa Belanda maupun Melayu. Orang-orang Ambon, atas kehendak mereka sendiri, tetap berada dalam lingkungan agama Kristen dan kebudayaan Kristen, dalam "Corpus Christianum", yaitu dalam "Corpus Christianum Belanda" ganti yang Portugis.
Pendeta-pendeta (mulai 1612)
Masa peralihan masih berlangsung selama beberapa tahun lagi. Selama itu VOC sibuk mencari tenaga pendeta di tanah air; yang pertama datang ke Ambon pada tahun 1612. Sejak itu terus-menerus ada pendeta Belanda di sana; mula-mula satu, kemudian lebih banyak, sampai enam orang. Pernah juga ada usaha mendidik pendeta-pendeta Ambon, tetapi pendeta Belanda yang memprakarsai pendidikan itu tiba-tiba dipanggil ke Batavia (Jakarta) dan rencana itu putus, walaupun sudah ada sepuluh orang murid (th. 1636). Pendeta-pendeta Belanda tersebut tinggal di pusat (di kota Ambon), tetapi ketika jumlah tenaga di sana sudah mencukupi maka ditempatkan juga satu orang di Saparua (mulai tahun 1633) dan satu di Haruku (sejak 1641). Jemaat-jemaat yang tidak di layani secara tetap oleh seorang pendeta, mendapat kunjungan dari pusat, seharusnya dua atau tiga kali per tahun.
Guru-guru sekolah/jemaat
Akan tetapi orang-orang Kristen di luar pusat itu tidak hanya mendapat pemeliharaan rohani pada saat-saat mereka dikunjungi oleh seorang pendeta. Kehidupan gerejani di jemaat-jemaat itu dijalankan oleh guru-guru sekolah. Orang-orang Ambon tidak puas dengan sekolah yang satu yang telah didirikan di pusat itu. Penduduk negeri-negeri lainnya meminta supaya diberi sekolah juga. Berkat keadaan damai, jumlahnya dapat bertambah dengan cepat, sampai setiap negeri mempunyai sekolahnya sendiri. Gurunya merangkap sebagai guru jemaat. Pada hari Minggu mereka memimpin ibadah. Mereka tidak boleh berkhotbah sendiri, tetapi sama seperti penghibur-penghibur orang-orang sakit berkebangsaan Belanda mereka membacakan khotbah yang telah disusun oleh seorang pendeta (dalam bahasa Melayu). Selain daripada itu, tiga kali seminggu mereka mengucapkan doa malam.
Majelis Gereja (1625)
Setelah keadaan menjadi tertib, dibentuklah suatu majelis gereja di Ambon (1625). Majelis ini menyelenggarakan pemeliharaan rohani di kota Ambon maupun di jemaat-jemaat di luarnya. Di kemudian hari, terdapat juga majelis di Haruku dan Saparua. Di dalamnya duduk orang-orang Belanda, pegawai-pegawai Kompeni atau lain-lain, tetapi juga orang-orang Ambon. Pada tahun 1636, misalnya, dua orang Ambon dipilih menjadi penatua dan dua yang menjadi diaken. Biasanya anggota-anggota di Ambon ini mempunyai kedudukan sebagai kepala negeri.
Jumlah orang-orang Kristen (± 1700), gedung-gedung gereja
Dengan adanya pemeliharaan rohani yang teratur, kekristenan Ambon-Lease berkembang dengan baik. Jumlahnya bertambah besar. Hal ini hanya untuk sebagian kecil merupakan hasil kegiatan pekabaran Injil. Orang-orang yang secara resmi masih menganut agama nenek-moyang sudah tidak banyak lagi ketika orang-orang Belanda datang. Dan hanya satu-dua kali sejumlah orang-orang Islam masuk Kristen. Tetapi dengan adanya keadaan damai, penduduk pulau-pulau itu bisa bertambah banyak, dan dengan demikian jumlah orang-orang Kristen naik dari 16.000 pada akhir masa Portugis menjadi 33.000 satu abad kemudian. Di antara mereka ada 1.600 orang yang telah melakukan sidi dan yang dengan demikian berhak ikut-serta dalam Perjamuan Kudus. Dari anak-anak, lebih dari separuh mengunjungi sekolah-sekolah. Setiap negeri mempunyai gedung gereja sendiri; lama-lama di banyak tempat didirikan gereja-gereja yang indah dengan tembok batu dan dengan perabot-perabot yang bagus. Tentu saja jemaat kota Ambon mendapat gereja-gereja yang paling besar. Kita mendengar bahwa khotbah-khotbah bahasa Melayu yang diadakan oleh salah seorang pendeta pertama, yakni Danckaerts, begitu disukai orang sehingga gereja lama warisan Misi menjadi terlalu kecil/sempit. Di kemudian hari, kota Ambon mempunyai tiga gedung gereja yang besar dan Indah.
Ibadah (bnd. §15), kunjungan ke rumah
Dengan cara bagaimana orang-orang Kristen ini digembalakan? Pertama-tama ada ibadah pada hari Minggu. Biasanya ibadah ini diadakan dalam bahasa Melayu; hanya di kota Ambon ada juga jemaat Belanda yang mempunyai ibadah tersendiri. Tata-ibadah mengikuti kebiasaan gereja-gereja di Belanda. Jemaat mulai dengan bernyanyi, kemudian ada doa, khotbah, doa dan bernyanyi lagi. Hanya apabila kebaktian dipimpin seorang pendeta, tata-ibadah bisa lebih luas. Sakramen Perjamuan Kudus dilayankan beberapa kali pertahun; di luar pusat hal itu dilakukan setiap kali ada seorang pendeta berkunjung ke sana. Sebelumnya, setiap anggota sidi mendapat kunjungan pendeta dan majelis di rumahnya (di pusat) atau diadakan rapat jemaat (di jemaat-jemaat lain). Pada kesempatan itu para pendeta berusaha mendamaikan orang-orang yang ada pertikaian, mereka menegor orang-orang berdosa dan dengan demikian menjaga supaya Perjamuan tidak dinajiskan. Bukan hanya doa-doa, tetapi juga nyanyian-nyanyian, formulir dan lain-lain merupakan terjemahan dari bahasa Belanda.
Khotbah, nyanyian
Sejak permulaan, pendeta-pendeta Belanda berkhotbah juga dalam bahasa Melayu; bahkan ada yang begitu mahir dalam bahasa itu sehingga mereka dapat berbicara tanpa memakai naskah yang tertulis. Khotbah beberapa orang pendeta disalin dan diberikan kepada guru-guru jemaat di kampung-kampung agar mereka bacakan dalam kebaktian di situ. Sebab guru-guru itu tidak diperkenankan mengucapkan khotbah yang disusun sendiri: orang takut bahwa mereka akan membawa ajaran yang tidak murni, berarti yang tidak sesuai dengan ajaran gereja di Belanda. Yang sangat laku ialah khotbah-khotbah pendeta Wiltens, salah seorang pendeta pertama di Ambon. Pada khotbah-khotbah tersebut dilampirkan sejumlah mazmur untuk dinyanyikan. Baru di kemudian hari khotbah-khotbah ini dicetak. Tetapi jumlahnya belum besar, hanya sepuluh-duapuluh saja. Itu berarti bahwa mula-mula guru-guru jemaat terpaksa menggunakan terus khotbah-khotbah yang sama dan jemaat setiap minggu mengangkat nyanyian-nyanyian yang sama! Tetapi lama-lama jumlah khotbah dan nyanyian gerejani yang tersedia bertambah besar (§ 15).
Doa malam katekisasi
Selain daripada ibadah pada hari Minggu, ada juga doa malam yang diadakan tiga kali per minggu yang diadakan tiga kali per minggu di setiap jemaat. Di sini hadir anak-anak sekolah serta sebagian orang-orang dewasa (tetapi tidak selalu orang mau datang). Guru jemaat membacakan doa yang tetap, dan bersama anak-anak sekolah menghafalkan pokok-pokok iman Kristen. Dengan demikian, doa malam ini merangkap sebagai semacam katekisasi bagi orang-orang dewasa.
Kunjungan pendeta
Beberapa kali setahun negeri-negeri di pegunungan Ambon dan pulau-pulau lain, yang jumlahnya 50 lebih, dikunjungi oleh pendeta dari pusat. Kunjungan semacam ini berlangsung sebagai berikut. Sang pendeta tiba sekitar jam 7 atau 8 pagi, setelah berangkat pagi-pagi dari negeri yang lain. Pertama-tama, anak-anak sekolah dikumpulkan, dan diuji pengetahuannya tentang Katekismus, Dasatitah, doa-doa serta Pengakuan Iman Rasuli. Ada juga yang disuruh membacakan ayat-ayat dari Alkitab atau menyanyi. Kecakapan mereka dalam menulis diperiksa pula. Yang sudah mahir dinyatakan tammat sekolah. Sekitar jam 11, diperiksa anggota-anggota sidi yang baru lalu di suruh jemaat berkumpul dan hasil ujian-ujian diberitahukan. Lalu pendeta mendengarkan pihak-pihak yang mempunyai pertikaian; perkara-perkara besar dibawa ke hadapan majelis gereja di Ambon. Setelah pertikaian didamaikan, maka ia melayankan Perjamuan Kudus; ia membaptis anak-anak yang lahir sejak kunjungan yang terakhir, lalu berkhotbah. Akhirnya nikah diikat dan diberkati seperlunya. Esoknya, pagi-pagi buta, perjalanan diteruskan. Sungguh-sungguh suatu pekerjaan berat, selama empat minggu terus-menerus, dan perjalanan itu berlangsung dua-tiga kali pertahun!
Terjemahan Alkitab dan karangan-karangan lain
Bahan-bahan apa yang tersedia untuk membina anggota-anggota jemaat dan untuk dibaca oleh mereka? Sebagai orang-orang Protestan, orang-orang Belanda berpendapat bahwa Alkitab harus disediakan dalam bahasa setempat. Pada masa permulaan VOC, sudah ada pendeta-pendeta maupun pegawai-pegawai Kompeni yang sibuk menterjemahkan bagian-bagian Alkitab ke dalam bahasa Melayu (bnd § 15). Yang pertama dicetak ialah Injil Matius (1629), kemudian menyusul beberapa kitab lain. PB lengkap diterbitkan pada tahun 1668, Alkitab seluruhnya (dalam terjemahan Leydecker) pada tahun 1731-1733. Di samping Alkitab, ada juga buku-buku katekisasi atau buku-buku pembinaan jemaat lainnya. Yang banyak dipakai di Ambon ialah Katekismus Heidelberg ("Pengajaran Iman Kristen"), terjemahan pendeta Danckaerts. Ada pula suatu Ikhtisar yang lebih singkat, juga terjemahan dari bahasa Belanda. Terjemahan doa-doa, formulir-formulir dan khotbah-khotbah sudah disebut di atas.
Soal bahasa
Bahasa yang dipakai dalam semua tulisan itu ialah bahasa Melayu (di daerah-daerah jajahan VOC lainnya dipakai juga bahasa Portugis, bahasa Tamil dan Singhala, dan beberapa bahasa-suku di Taiwan). Tetapi khususnya di Ambon tidak segera tercapai kepastian tentang bahasa yang akan dipilih menjadi bahasa-pengantar di gereja dan di sekolah. Mula-mula orang-orang Belanda ingin memasukkan bahasa Belanda. Mereka mengharap supaya dengan cara itu ikatan antara orang-orang Indonesia dengan VOC bisa diperkuat. Ada juga alasan agamani: bahasa Melayu oleh sementara orang dianggap terlalu miskin sehingga tidak cocok untuk dipakai sebagai bahasa-pengantar bagi kebenaran ilahi (bnd § 27). Selama sepuluh tahun pertama, pengajaran di sekolah diberikan dalam bahasa Belanda. Sejumlah anak Ambon dikirim ke Nederland untuk dididik menjadi pendeta berbahasa Belanda. Tetapi usaha-usaha ini ternyata gagal. Lalu tinggal pilihan antara bahasa Melayu dan bahasa Ambon-asli. Pada zaman itu, hanya sedikit orang-orang Ambon yang mengerti bahasa Melayu, apalagi bahasa Melayu-tinggi. Tetapi bahasa Ambon sulit untuk dipelajari, dan hanya bisa dipakai di Ambon sendiri, padahal para pendeta sering dipindahkan ke daerah lain. Sebaliknya bahasa Melayu bisa mereka gunakan di mana-mana. Lagipula, orang-orang Ambon sendiri menganggap bahasa mereka terlalu miskin, dan mereka merasa malu terhadap orang-orang Islam yang menggunakan bahasa Melayu dalam menjelaskan isi Al-Quran. Dengan demikian, yang dipilih ialah bahasa Melayu. Dan karena bahasa itu adalah bahasa gereja dan sekolah, bahasa Ambon-asli lama-lama terdesak olehnya dan hilang.
Heurnius
Hanya satu orang yang memihak kepada bahasa Ambon-asli, yaitu Heurnius (di Ambon 1633-1638). Ia adalah salah seorang pendeta yang datang dari Negeri Belanda, khusus dengan maksud hendak mengabarkan Injil kepada orang-orang yang bukan-Kristen. Ia mau dikirim ke Seram, tapi Gubernur menganggap tempat itu terlampau berbahaya dan mengutus dia ke Saparua. Di sini Heurnius belajar bahasa Lease, karena itu dianggapnya "bahasa hati", yang mesti digunakan kalau orang betul-betul mau menarik orang-orang Kristen-nama yang terdapat di sana. Ia berkhotbah dalam bahasa itu, dan malah mulai menterjemahkan Kitab Injil ke dalamnya. Ia mempersiapkan juga bahan-bahan dalam bahasa Lease untuk guru-guru jemaat dan mulai mendidik beberapa pemuda dari pulau-pulau Lease supaya nanti bisa memberitakan Firman Tuhan kepada teman-teman sebangsanya. Ternyata orang-orang Saparua tertarik oleh ibadah dalam bahasa mereka sendiri. Tetapi Heurnius kena racun, dan terpaksa meninggalkan pulau itu. Di kemudian hari, ketika ia sudah menjadi pendeta di Nederland, ia menerbitkan beberapa tulisan untuk dipakai di Ambon, tetapi semuanya dalam bahasa Melayu. Bahasa itulah yang menjadi bahasa masyarakat Kristen-Ambon. Begitu terikat orang-orang Ambon kepadanya, sehingga di kemudian hari guru-guru mereka yang bekerja di daerah-daerah lain enggan memakai bahasa setempat dan mau menggunakan bahasa Melayu saja di sekolah dan di gereja.
Metode pengajaran agama di Ambon
Soal bahasa itu tidak berdiri sendiri dan jangan dianggap sebagai soal formil saja. Orang memilih bahasa Melayu karena dalam menghadapi orang-orang Ambon mereka memakai pendekatan tertentu. Kita telah melihat bahwa orang-orang Belanda, sama seperti para misionaris sebelumnya, memakai metode hafalan. Rumusan-rumusan pokok iman Kristen disajikan kepada orang-orang yang bukan-Kristen atau orang-orang Kristen baru, lalu rumusan-rumusan itu dihafalkan. Kita melihat pula bahwa cara beriman dan beribadah diharapkan sama sekali sesuai dengan cara yang dipakai gereja di Eropa. Jadi, yang ditekankan ialah unsur pengetahuan dan unsur memelihara bentuk-bentuk tertentu. Pemakaian bahasa Melayu cocok dengan pola itu, dan kemudian memperkuat lagi pola itu.
Pendekatan terhadap agama/adat asli
Pendekatan tadi menjadi nyata juga dalam sikap orang terhadap agama dan adat asli. Orang-orang Eropa zaman itu tidak mau tahu tentang agama-agama yang bukan-Kristen. Agama-agama ini, khususnya agama-suku, dipandang sebagai penyembahan iblis. Dan kebudayaan/adat bangsa-bangsa di luar Eropa ditolak juga. Orang-orang Belanda di Ambon pada umumnya tidak berusaha untuk sungguh-sungguh mempelajari agama dan kebudayaan suku. Mereka puas sudah kalau tempat-tempat dan peralatan agama itu dirusakkan. Dalam hal ini seorang Heurnius tidak berbeda prakteknya dari praktek teman-teman sejabatan. Dalam dua tahun di Saparua, ia antara lain merusakkan seratus lebih tempat membawa sesajen. Dan sesuai dengan pandangan yang umum berlaku pada zaman itu, pemerintah VOC membantu membasmi "kekafiran". Kalau ada orang didapati masih melakukan penyembahan terhadap roh-roh, maka kepadanya dikenakan hukuman berat. Dengan demikian, tantangan agama suku tidak bisa dijawab dengan sungguh-sungguh (bnd § 21, 27).
Kecaman orang-orang Belanda terhadap kekristenan Ambon
Kekristenan dan orang-orang Kristen jenis apa yang dihasilkan oleh metode pendeta-pendeta dan pemerintah Belanda itu? Pendeta-pendeta, dan orang-orang Belanda yang lain, dari semula melancarkan banyak kecaman terhadap kekristenan orang-orang Ambon. Mereka ini "tidak tahu apa-apa", mereka "tidak mempunyai minat terhadap agama Kristen", mereka tetap "orang-orang kafir" dan seterusnya. Kritik yang paling mendalam ialah bahwa orang-orang Ambon tidak mengalami "pertobatan hati" dan tidak sungguh-sungguh menghayati iman Kristen. Pokoknya, kritik yang sama seperti yang telah diucapkan imam-imam Yesuit. "Kita tidak bisa mengharapkan agar orang-orang ini sungguh-sungguh menyesali dosanya, merendahkan diri dihadapan Allah, mengekang hawa nafsu mereka, bertekun dalam menghindari kejahatan dan melakukan kebajikan...", demikianlah seorang pendeta pada tahun 1615.
Kecaman orang-orang Ambon terhadap kekristenan Belanda
Menarik sekali bahwa orang-orang Ambon tidak menerima begitu saja kritik orang-orang Belanda terhadap dirinya. Mereka, sekurang-kurangnya dalam tahun-tahun pertama, membalas dengan kritik terhadap orang-orang Belanda, termasuk pendeta-pendeta. Pada tahun-tahun pertama, orang-orang Belanda di benteng belum mengadakan kebaktian-kebaktian umum. Lalu orang Ambon bertanya: apa kalian tidak mempunyai agama? Dan orang-orang Belanda terpaksa mengadakan kebaktian umum, khusus untuk membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang beragama. Para pendeta dalam surat-surat mereka terpaksa mengakui juga bahwa kehidupan orang-orang Belanda di kota Ambon, termasuk wanita-wanita, jauh lebih buruk daripada kehidupan orang-orang Ambon. Dan orang-orang Ambon jauh lebih setia dalam merayakan Perjamuan Kudus. Dengan kata lain, para pendeta telah mengukur orang-orang Ambon menurut cita-cita mereka tentang jemaat Kristen, bukan menurut kenyataan jemaat Belanda sendiri. Penghibur-penghibur orang-orang sakit serta pendeta-pendeta juga tidak luput dari kritik orang-orang Ambon. Mereka dibandingkan dengan para imam Yesuit yang telah mencurahkan seluruh perhatian pada tugas rohani, sedangkan tenaga-tenaga Belanda yang pertama datang itu melakukan banyak pekerjaan lain, antara lain untuk pemerintah VOC. Dan kita boleh menduga bahwa orang-orang Kristen di Ambon membandingkan juga kebijaksanaan Kompeni (hongi!) dengan tata-cara Kristen yang telah diajarkan kepada mereka melalui Dasatitah.
Penilaian, akibat-akibat metode yang dipakai
Kita tidak dapat menyangkal bahwa dalam kecaman-kecaman para pendeta terdapat unsur-unsur kebenaran. Hanya, kita perlu memperhatikan dua hal. Pertama-tama, keadaan kekristenan Ambon pada zaman itu merupakan akibat langsung dari metode yang dipakai. Metode main larang itu tak bisa tidak menghasilkan orang-orang Kristen yang menghafal rumusan-rumusan yang diajarkan kepada mereka, yang memelihara bentuk-bentuk yang diharuskan kepada mereka, tetapi yang tidak belajar memperkembangkan, "mengamalkan" iman mereka dalam seluruh kehidupan mereka. Metode itu tidak berusaha untuk memberi jawaban yang sungguh-sungguh terhadap tantangan agama suku. Akibatnya, iman Kristen tidak mungkin betul-betul meresap ke dalam dunia-pikiran orang-orang yang baru masuk Kristen itu. Iman Kristen dan kepercayaan suku tetap merupakan dua lapis yang tidak bercampur, seperti air dan minyak. Atau, bila keduanya sudah lama hidup berdampingan, maka iman Kristen itu diresapi oleh cara-berpikir agama suku. Cara orang memandang sakramen-sakramen merupakan contoh yang jelas. Air baptisan diminum: roti Perjamuan Kudus dibawa pulang sebagai obat, dan seterusnya. Di Ambon, orang-orang Eropa menjuluki campuran ini "Agama Ambon". Dan memang telah berdiri suatu "Corpus Christianum Ambon" dengan ciri-ciri yang khas. Dikemudian hari, pada abad ke-19 dan ke-20, orang-orang Ambon, bersama para zendeling dari Eropa, akan membawa agama mereka itu ke banyak daerah di Indonesia Timur, dan mempengaruhi kehidupan gereja-gereja yang berdiri di sana.
Soal Ambon adalah soal semua bangsa Kristen
Tetapi masalah ini perlu diingat dari sudut lain lagi. Di Ambon memang terdapat "agama Ambon", "Corpus Christianum Ambon", yang merupakan campuran antara unsur-unsur Kristen dengan unsur-unsur agama suku. Tetapi kita harus menyadari bahwa percampuran semacam itu terjadi di semua tempat di mana agama Kristen cukup lama menetap. Kita telah melihat contoh "ideologi" orang-orang Spanyol dan Portugis. Agama Kristen orang-orang Belanda pada abad ke-17 juga merupakan campuran yang demikian, dan orang-orang Ambon berhak mengkritik mereka sama seperti orang-orang Belanda mengkritik orang-orang Ambon. Tetapi sebenarnya perlu supaya kedua belah pihak membiarkan dirinya dikritik oleh Firman Allah.
Pendekatan lain contoh-contoh
Tidak selalu pendeta-pendeta dan pemerintah Belanda memakai pendekatan negatif yang digambarkan tadi. Adakalanya mereka menerima adat yang ada dan berusaha membelokkannya sehingga terpengaruh oleh iman Kristen. Di sini diberikan dua contoh. Di Ambon-Lease terdapat kebiasaan memberi "toteria" (mas kawin). Tetapi hal itu kurang diatur, sehingga sering melahirkan pertengkaran turun-temurun. Dalam hal ini oleh orang-orang Belanda adat yang lama itu tidak dilarang begitu saja, tetapi diatur: tuntutan-tuntutan berdasarkan "toteria" itu hanya dapat diajukan sampai 12 tahun sesudah pernikahan diikat, dan untuk seterusnya jumlah mas kawin itu harus didaftarkan secara tertulis oleh guru sekolah. Dengan demikian, maka akar banyak pertikaian dicabut dan kehidupan jemaat ditingkatkan. Contoh lain ialah kehadiran wanita dalam Perjamuan Kudus. Menurut adat Ambon, wanita tidak boleh makan bersama laki-laki (atau laki-laki tertentu?). Bagaimana dengan Perjamuan? Paksaan dalam hal ini tidak ada gunanya. Akhirnya pendeta-pendeta menemukan kompromi: dalam perayaan Perjamuan, wanita Ambon boleh memakai "tudung malu". Dengan demikian, adat lama dihormati, tetapi secara azasi tuntutannya yang mutlak ditiadakan.
Ringkasan SG Ambon
Setelah orang-orang Portugis dan misionaris-misionaris mereka diusir, gereja di Ambon-Lease selama beberapa tahun terlantar. Tetapi dalam waktu tigapuluh tahun terdapat perkembangan yang cepat di beberapa bidang. Perkembangan itu merupakan akibat kehendak orang-orang Ambon sendiri, dan didorong oleh kegiatan beberapa pendeta Belanda. Setelah masa pertama ini (1605-1635), keadaan gereja tetap agak sama selama satu setengah abad. Dengan peralihan dari Gereja Katolik-Roma menjadi Protestan, Gereja Ambon mengalami banyak perubahan. Tetapi secara azasi pola pendekatan dari pihak orang-orang Eropa tetap sama. Pola ini menghasilkan apa yang disebut "agama Ambon".
Banda
Daerah lain yang oleh VOC sungguh-sungguh diperhatikan ialah kepulauan Banda, daerah penghasil pala. Penduduk pulau-pulau itu sebagian besar beralih kepada agama Islam dalam tahun-tahun 1590-an. Ada di situ suatu benteng Portugis yang kecil, tetapi pekabaran Injil belum diusahakan di Banda. Mula-mula VOC menghormati kemerdekaan orang-orang Banda: diadakanlah perjanjian, dan tentang soal agama malah ditetapkan aturan yang sama seperti di Ternate (§ 8). Akan tetapi karena berbagai-bagai sebab, hubungan antara Kompeni dengan orang Banda lekas memburuk. Akhirnya VOC merebut pulau Banda; penduduk sebagian tewas, sebagian diusir, sebagian ditaklukkan.
Susunan jemaat
VOC mendatangkan penduduk baru ke pulau-pulau yang malang itu, yakni orang-orang Mardeka dari bagian-bagian Indonesia yang lain, dan budak-budak. Mereka sebagian besar adalah orang-orang Kristen, yang sudah dibaptis pada zaman Portugis. Selain daripada unsur-unsur itu, jemaat Kristen meliputi juga orang-orang Belanda dan Indo-Belanda yang dikirim ke sana oleh VOC. Jumlah anggota jemaat ini tidak pernah melebihi 2-3000 orang, tetapi karena Banda merupakan daerah penting bagi VOC, maka jemaat-jemaat Kristen yang kecil itu dilayani oleh dua sampai empat orang pendeta. Pendeta pertama datang pada tahun 1625; sebelumnya beberapa penghibur orang-orang sakit bekerja di situ.
Usaha-usaha p.I. tidak berhasil
Hubungan dengan Agama Islam di Banda dari semula menimbulkan kesulitan. Orang-orang Banda giat sekali membujuk orang-orang Belanda masuk agama mereka, dan usaha mereka membawa hasil juga. Hal ini adalah bertentangan dengan perjanjian yang telah diikat, dan karena itu menjadi salah satu sebab pecahnya perang. Setelah pulau-pulau Banda ditaklukkan, sisa penduduk, yang sebagian masih beragama nenek-moyang, mau dibawa kepada agama Kristen. Tetapi sudah tidak ada lagi kepercayaan, dan hasilnya tidak besar. Jemaat Kristen tetap terdiri dari ketiga unsur yang telah dicatat di atas ini. Sama seperti di Maluku Utara, begitu juga di Banda jemaat-jemaat Kristen merupakan "jemaat-jemaat benteng", berarti jemaat-jemaat para pendatang yang tidak mempunyai hubungan yang akrab dengan dunia pribumi. Hubungan akrab semacam itu hanya terdapat di Ambon-Lease. Akibatnya, jemaat di Banda tetap agak lemah. Sebab orang-orang Belanda dan Indo-Belanda pada umumnya bukan anggota-anggota gereja yang giat. Mereka tidak memandang agama Kristen sebagai perkara mereka sendiri, sebagaimana halnya dengan orang-orang Ambon.
Kei, Aru, Tanimbar, pulau-pulau Selatan-daya
Sama seperti Ternate merupakan pangkalan bagi pekerjaan gereja di Sulawesi Utara (§ 11), begitu juga Banda menjadi pangkalan bagi usaha pekabaran Injil di pulau-pulau di sebelah Selatan. Sekitar tahun 1635 ada usaha p.I. ke Kei, tetapi gagal. Dari tahun 1670-1675 seorang penghibur orang-orang sakit ditempatkan di Aru, dan di situ jemaat Kristen dalam abad ke-18 berjumlah beberapa ratus orang. Mereka dilayani guru-guru sekolah dan sekali-sekali mendapat kunjungan dari Banda. Di Tanimbar juga pada tahun 1682 ditempatkan seorang guru sekolah. Pada zaman yang sama pulau-pulau Selatan-daya (Babar, Wetar, Leti, dan seterusnya) mulai diinjili juga, dengan memakai tenaga guru. Di situ sekitar tahun 1750 terdapat 1300 lebih orang Kristen. Tetapi "daerah-daerah pinggir" ini tidak diberi perhatian sungguh-sungguh, sehingga jemaat-jemaat tidak bisa berkembang seperti di Ambon-Lease.
Kemerosotan sesudah tahun 1780
Setelah tahun 1780, kekuasaan VOC merosot dengan cepat. Dan gereja ikut menderita, terutama gereja di "daerah-daerah pinggir". Jumlah pendeta di Indonesia berkurang dengan cepat. Di Ambon tinggal satu orang saja; antara tahun 1803-1815 tidak ada seorang pendeta di seluruh Maluku. Itu berarti bahwa selama puluhan tahun jemaat-jemaat di luar pusat hampir tidak dikunjungi lagi, dan bahwa selama beberapa tahun di pusat pun tidak ada lagi pelayanan sakramen, tidak ada khotbah kecuali yang sudah dicetak satu abad yang lalu. Selama waktu itu, seluruh kehidupan gereja dijalankan oleh para guru sekolah. Baru pada tahun 1815, dengan kedatangan Joseph Kam, mulailah zaman baru bagi gereja di Maluku (§ 20).
Bibliografi | |
Artikel ini diambil dari: |