Dari Sejarah Alkitab Indonesia
Keruntuhan V.O.C., yang beberapa kali kita singgung dalam Bab II -- ketika kita membahas masa merkantilisme theokratis -- terjadi pada akhir abad ke-XVIII. Oleh keruntuhan itu berakhirlah monopoli perdagangan yang V.O.C. miliki lebih dari satu setengah abad lamanya di Asia. Sebab yang terutama dari keruntuhan itu ialah praktik-praktik yang sangat merugikan, khususnya di bidang perdagangan, dari "pelayan-pelayan Kompeni", seperti: perdagangan gelap [1], kontribusi paksaan [2], pungutan liar [3] dan korupsi yang merajalela di mana-mana pada waktu itu. Ditinjau dari sudut ekonomi sebenarnya banyak sekali "keuntungan" yang V.O.C. peroleh dalam abad ke-XVIII, "tetapi oleh praktik-praktik yang licik dan immoril di atas, kekayaan yang berlimpah-limpah itu tidak mengalir ke dalam kas pemerintah, melainkan ke dalam saku pegawai-pegawainya". [4]
Untuk memperoleh suatu gambaran tentang "praktik-praktik yang licik dan immoril" itu, di bawah ini kita mengutip suatu "pengumuman", yang kita ambil-alih dari korespondensi antara Dirk van Hogendorp dan saudaranya Gijsbert Karel. [5] Dalam "pengumuman" itu kita antara lain membaca: "Seorang gubernur di Jawa pada waktu itu banyak mempunyai penghasilan, antara lain: hadiah dari regen-regen pribumi waktu ia tiba [6], hadiah pada permulaan tiap-tiap tahun [7], hadiah pada waktu kelahiran anak-anaknya, hadiah pada waktu pengangkatan regen-regen. Selanjutnya denda yang dikenakan pada tiap-tiap orang yang bersalah, bagaimana kecilnyapun kesalahannya, sehingga penghasilannya berjumlah kira-kira 20.000 ringgit setahun. Dari raja-raja pribumi ia memperoleh hadiah yang lebih besar daripada itu. Kalau seorang dari mereka meninggal dan harus diangkat penggantinya, ia [8] menerima paling sedikit 50.000 gulden. Juga orang-orang Tionghoa tidak sedikit memberikan 'hadiah' untuk tiap-tiap penggilingan-gula dan periuk-garam yang disewakan kepada mereka. Semua gula harus dijual kepadanya [9] dengan harga 30 kelip per pikul, dengan kelebihan berat 12%. Gula ini ia jual kepada Kompeni [10] dengan harga 6 ringgit per pikul. Itu berarti suatu keuntungan yang tidak sedikit. Juga dari candu dan sarang burung ia memperoleh keuntungan yang sangat besar. Tetapi yang paling jahat ialah ...... keuntungan yang ia peroleh dari beras, bahan makanan yang paling dibutuhkan oleh rakyat di pulau Jawa. Beras itu dibeli dengan harga yang sangat murah dan -- dengan perantaraan orang-orang Tionghoa -- dijual dengan harga yang mahal".
Oleh praktik-praktik ini bukan rakyat saja yang bertambah miskin, tetapi pemerintah juga demikian. Hutangnya bertumpuk-tumpuk. Monopoli, yang ia pertahankan dengan ketat di Indonesia, tidak dapat menolongnya. Malahan sebaliknya: ia lebih merusak dan mengacau ekonominya. Daerah-daerah yang dahulu kaya dan makmur -- seperti Maluku dengan cengkeh dan palanya -- telah menjadi miskin dan menderita. Begitu miskin dan menderita, sehingga "penduduknya tidak mampu lagi membeli cita [11] yang diimpor oleh V.O.C." [12] Sementara itu konkuren-konkurennya makin bertambah aktif. Terutama Inggris "mendesaknya keluar dari banyak daerah, di mana ia dahulu mempunyai hubungan-hubungan yang menguntungkan". [13]
Pada saat-saat yang terakhir pemerintah Belanda masih berusaha mengadakan suatu reorganisasi, tetapi sebelum usaha itu berhasil Revolusi Perancis -- yang mempunyai pengaruh yang luas di banyak negara Eropa-Barat -- telah mengakibatkan, bahwa pada tahun 1796 dibentuk di Belanda suatu pemerintah baru, yang disebut "Bataafsche Republik" [14]. Dengan itu mulailah suatu zaman baru, baik bagi Belanda maupun bagi Indonesia. Pada tanggal 31 Desember 1799 V.O.C. dengan resmi dibubarkan. Menurut salah satu ketentuan dari "Bataafsche Republiek" [15] semua koloni [16] harus diserahkan kepada Negara pada tanggal 1 Januari 1800. Oleh ketentuan ini mulailah suatu periode baru dari sejarah politik Indonesia: Indonesia -- sejak itu -- tidak lagi merupakan milik dari suatu "badan dagang", tetapi koloni dari Negara Belanda.
Sebagai Letnan-Jenderal pertama dari pemerintah baru ini di Indonesia diangkat Pieter van Overstraten, yang kemudian digantikan oleh Johannes Siberg [17] dan Albertus Hendricus Wiese pulang oleh raja Lodewijk Bonaparte dan sebagai penggantinya diangkat Herman Willem Daendels, marsekal dari Belanda. Tugasnya yang terutama ialah mempertahankan pulau Jawa dari serangan Inggeris, yang pada waktu itu sedang berperang melawan Perancis. Dalam penuanian tugas itu ia menggunakan apa saja yang ada padanya. [18] Ia kasar [19] dan bertindak sewenang-wenang [20]. Karena itu pemerintahannya bukan saja ditakuti, tetapi juga dibenci. Juga di antara pegawai-pegawai dan tentara ia banyak mempunyai musuh. Untuk organisasi pertahanannya ia tidak segan-segan mengorbankan harta dan jiwa manusia: "jalan-raya pos" besar, yang menghubungkan Anyer [21] dan Panarukan [22] adalah "hasil" yang tetap dari pemerintahannya. Raja-raja pribumi ia taklukkan di bawah kehendaknya: Bantam, yang melawan rencana militernya, ia jadikan "daerah gubernemen", sultan Joogyakarta ia turunkan dan peraturan-peraturan -- yang menurut dia merendahkan martabat orang-orang Belanda -- ia hapus. Dengan tangan besi ia mengadakan pembersihan dalam "kandang V.O.C." [23] dan reorganisasi di banyak daerah, juga di luar pulau Jawa. Sampai tingkat tertentu ia berhasil menertibkan aparat pemerintah dan membasmi segala macam bentuk korupsi. Betawi, yang ia anggap sebagai tempat tinggal yang tidak sehat, ia ganti dengan Weltevreden. Hanya kebijaksaannya di bidang keuangan tidak begitu berhasil, karena alat-alat moneter pada waktu itu sangat kacau, sehingga untuk menutup kas Negara yang telah kosong, harus ditempuh rupa-rupa jalan, seperti: penjualan tanah-tanah pertikulir dan lain-lain.
Ia terkenal sebagai seorang sahabat Perancis. Pemasukan negeri Belanda sebagai bagian dari Perancis, ia sambut dengan gembira. Sungguhpun demikian ia tidak dapat lama mempertahankan kedudukannya di Indonesia. Tuduhan-tuduhan dari musuh-musuhnya terhadap dirinya, antara lain di bidang keuangan, merembes sampai ke negeri Belanda.
Karena itu pada tahun 1811 ia terpaksa dipecat oleh Napoleon dan digantikan oleh Jan Willem Jansens. [24] Tetapi penggantian itu tidak dapat menolong Belanda. Pada tanggal 18 September 1811 -- kapitulasi di Tuntang -- ia harus menyerahkan Indonesia kepada Inggeris. [25]
Sebelum itu -- pada tahun 1810 -- Ambon telah jatuh ke dalam tangan Inggeris, segera disusul oleh Ternate dan Banda. Timor, yang dengan segala tenaga dipertahankan oleh Belanda, menyerah juga pada tahun 1811. [26]
Untuk menjalankan pemerintahan di Indonesia, Inggeris -- dengan perantaraan Gubernur-Jenderal Lord Minto dari Bengalen [27] -- menempatkan di situ Thomas Stamford Raffles sebagai Letnan-Gubernur. [28] Tugasnya tidak begitu mudah, terutama di bidang keuangan. Namun selama pemerintahannya yang relatif singkat itu [29] ia banyak mengadakan perobahan, sekalipun tidak semuanya berhasil. Salah satu dari perobahan-peroobahan itu ialah penggantian "pajak sawah" yang tradisionil dengan "pajak tanah", seperti yang terdapat di India. Tetapi berhubung dengan kekurangan tenaga [30], usaha itu tidak dapat dijalankan dengan baik. Sama seperti Daendels, ia bertindak tegas terhadap raja-raja pribumi: Bantam dan Cirebon ia masukkan ke dalam daerah kekuasaannya, Jogyakarta dan Solo ia kurangi haknya, dan sultan Palembang ia turunkan. Seluruh pemerintahan ia susun kembali [31]. Pulau Jawa ia bagi atas 16 [32] karesidenan. Perbudakan dan perdagangan candu ia larang. Juga di bidang ilmu-pengetahuan ia banyak berjasa. Khususnya terhadap bahasa dan kebudayaan Indonesia ia mempunyai interesse yang besar. Ia bermaksud untuk mempertahankan Indonesia untuk Inggeris, tetapi maksudnya itu tidak tercapai. Berdasarkan perjanjian di London [33], ia harus menyerahkan Indonesia kepada Belanda dan kembali ke Inggeris [34]. [35]
Dalam bulan Oktober 1817 ia diangkat menjadi Letnan-Gubernur di Bengkulu, yang diduduki oleh E.I.C. [36] sejak tahun 1685. [37]
Sesudah Indonesia dikembalikan kepada Belanda, raja Willem I mengangkat tiga Komisaris-Jenderal untuk menjalankan pemerintahan di situ. Dengan rupa-rupa jalan mereka berusaha memperbaiki ekonomi Indonesia [38]. Usaha mereka, yang memberikan harapan itu, kemudian diteruskan oleh Gubernur-Jenderal Baron van der Capellen, antara lain dengan jalan melarang pengluasan pemilikan tanah dalam bentuk tanah partikulir [39], penyewaan tanah, khususnya kepada orang-orang Tionghoa [40], dan lain-lain. Oleh gangguan peperangan, yang banyak terjadi pada waktu itu -- perang melawan Palembang [41], perang Jawa [42] dan perang Padri [43] -- usaha-usaha itu tidak banyak membawa hasil, malahan sebaliknya: hutang pemerintah, baik di Indonesia, maupun di Belanda, makin bertambah besar. Untuk mengatasi kesukaran-kesukaran keuangan ini, jenderal Van den Bosch -- yang pada tahun 1828 diangkat menjadi Gubernur-Jenderal -- mengambil keputusan untuk meningkatkan ekspor Indonesia, kalau perlu dengan kekerasan dan paksaan. Berdasarkan keputusan itu, yang disetujui oleh raja Belanda [44], ia -- pada tahun 1830 -- mengintrodusir "peraturan tanam paksa" [45]: kewajiban untuk menanam tanaman-tanaman ekspor tertentu -- khususnya tebu, nila [46], kopi dan teh -- dan menjualnya dengan harga yang murah kepada pemerintah. Oleh peraturan ini keadaan ekonomi Belanda, dalam waktu yang singkat, pulih kembali dan berkembang dengan cepat: ratusan juta gulden mengalir ke dalam kas pemerintah. [47]
Sekalipun demikian banyak orang di Belanda tidak menyetujui peraturan itu. Juga anggota-anggota parlemen [48], karena ia sangat merugikan rakyat. Bukan saja karena untuk tanaman-tanaman ekspor itu dibutuhkan tanah yang sangat luas [49], tetapi juga tenaga manusia yang sangat banyak [50], apalagi karena kadang-kadang pekerjaan mereka sebagai "kuli" harus mereka jalankan jauh dari desa mereka. Terutama, ketika terus-menerus timbul kelaparan di Jawa-Tengah [51], antipathi orang makin bertambah besar terhadap peraturan itu dan terhadap campur-tangan pemerintah dalam hidup perekonomian rakyat. [52]
Dalam bagian kedua dari abad ke-XIX keberatan terhadap "peraturan tanam paksa" itu makin meluas. Baik di Belanda, maupun di Indonesia, orang menuntut liberalisasi perdagangan. Sebagai jawaban atas tuntutan itu pemerintah Belanda [53] pada tahun 1864 mengambil beberapa tindakan penting: menghapus kewajiban menjual cengkeh kepada pemerintah, mengsahkan undang-undang komptabilitas, yang menjamin kontrol parlemen atas kebijaksanaan yang dijalankan terhadap daerah-daerah jajahan, perbaikan irigasi, dan lain-lain. Untuk membantu inisiatif partikulir dengan kredit, didirikan bank-bank [54] dan lembaga-lembaga keuangan lain. Oleh undang-undang agraria, yang mulai berlaku pada tahun 1870, perdagangan bebas berkembang dengan cepat. Di samping petani-petani pribumi, muncul pengusaha-pengusaha Belanda yang memiliki perkebunan-perkebunan besar. Keuntungan pengusaha-pengusaha ini berlimpah-limpah, terutama ketika pada tahun 1891 campur-tangan pemerintah di bidang perdagangan terhenti seluruhnya dan harga rupa-rupa tanaman ekspor -- seperti teh, tembakau dan gula -- melonjak dengan cepat. Sungguhpun demikian tidak ada usaha untuk menciptakan pasaran-kerja yang bebas. Ganti itu -- sebagai tindakan untuk menjamin penghasilan pengusaha-pengusaha dan dengan itu juga penghasilan pemerintah -- dikeluarkan peraturan [55] yang yang melarang "kuli-kuli" perkebunan untuk meninggalkan pekerjaannya [56]. Sama seperti "peraturan tanam paksa" [57], demikian pula liberalisasi perdagangan tidak membawa kemakmuran bagi rakyat Indonesia, seperti yang diharapkan, tetapi sebaliknya: kemiskinan dan penderitaan.
Hal itu turut disebabkan oleh banyaknya perang kolonial yang berlangsung menjelang akhir abad ke-XIX, khususnya perang Aceh [58].
Bukan saja di bidang politik dan ekonomi, juga di bidang agama [59] terjadi perobahan-perobahan yang penting dalam periode ini. Yang paling penting di antara perobahan-perobahan itu ialah kebebasan agama -- sebagai akibat dari Revolusi Perancis -- yang Daendels umumkan juga di Indonesia, ketika ia menjadi Gubernur-Jenderal. Sampai pada waktu itu Gereja Gervormd di Belanda, seperti yang kita baca dalam Bab II, adalah satu-satunya Gereja yang diakui oleh pemerintah [60] dan yang mendapat izin untuk menjalankan aktivitas-aktivitasnya di Indonesia. Tetapi sejak pengumuman di atas "monopoli" itu tidak berlaku lagi. Gereja-gereja lain juga boleh masuk dan bekerja di Indonesia. [61]
Kesempatan ini -- yang lebih luas terbuka di bawah pemerintahan Raffles -- digunakan dengan baik oleh banyak Perhimpunan Pekabaran-Injil yang ada pada waktu itu. Perhimpunan-perhimpunan Pekabaran-Injil itu berasal dari berbagai negara di luar-negeri. Tetapi mereka umumnya mempunyai ciri yang sama: ciri pietis.
Pietisme [62] adalah suatu gerakan-iman yang dimulai di dalam Gereja-gereja Calvinis dan yang mencapai ekspansinya yang paling besar di dalam Gereja-gereja Lutheran. Gerakan ini menentang pemberitaan doktriner [63] yang kering, pengakuan yang hanya didasarkan atas penerimaan dengan otak [64] dan hidup kesusilaan yang lemah dan dangkal dari anggota-anggota Jemaat. Orang-orang pietis dengan positif menghendaki suatu penghayatan iman dengan hati, mulut dan perbuatan. Mereka berkumpul dalam persekutuan-persekutuan kecil untuk berlatih dalam doa, nyanyian, pembacaan Kitab Suci dan pemeriksaan diri sendiri. Panggilan Kristen bagi mereka berarti: pemisahan diri dari dunia, pengekangan hawa-nafsu dan keinginan-keinginan duniawi, dan usaha menghasilkan buah-buah iman. Dari mulanya pietisme mempunyai corak legalistis. Pengaruh pietisme sangat luas, khususnya di Jerman, di mana Spener -- yang bertolak dari imamat-am-orang-orang-percaya dan yang terkesn oleh tulisan-tulisan puritan Inggeris -- mendirikan "Collegia pietatis". [65] Inti-inti ini telah memberikan rupa dan wajah kepada kesalehan yang hidup pada waktu itu. Di samping Spener, kita harus sebut Francke, yang sangat menekankan "agama Kristen dengan perbuatan", seperti yang ia praktikkan di Halle dalam bentuk: sekolah-sekolah, panti-panti asuhan, wisma untuk janda-janda, dan lain-lain. Orang-orang pietis bukan saja bergerak di bidang sosial, tetapi juga di bidang-bidang lain: di bidang penggembalaan, di bidang kebangunan rohani dan di bidang penggubahan nyanyian gerejani. Khususnya di bidang pekabaran-injil mereka sangat berjasa. Tanpa pietisme gerakan pekabaran-injil dalam abad ke-XIX tidak dapat kita pikirkan.
Dari catatan di atas jelas bagi kita, bahwa Perhimpunan-perhimpunan Pekabaran-Injil itu bukanlah Perhimpunan-perhimpunan Pekabaran-Injil gerejani: Perhimpunan-perhimpunan Pekabaran-Injil yang didirikan dan dibiayai oleh Gereja-gereja. Gereja-gereja, pada waktu itu, umumnya belum sadar, bahwa pekerjaan pekabaran-injil adalah tugas mereka. Pekerjaan itu mereka serahkan kepada Perhimpunan-perhimpunan Pekabaran-Injil, yang anggota-anggotanya terdiri dari orang-orang pietis: orang-orang yang telah bertobat dan beroleh keselamatan, dan yang karena itu merasa diri terpanggil untuk memberitakan keselamatan itu kepada orang-orang lain, khususnya kepada orang-orang kafir. Pekerjaan pekabaran-injil oleh orang-orang pietis ini sebenarnya telah mulai pada permulaan abad ke-XVIII, ketika Halle [66] dalam kerjasama dengan raja Denmark mengutus puluhan pendeta-sending ke daerah-daerah pekabaran-injil. [67] Cara pendekatan dan pekerjaan mereka sangat dipengaruhi oleh pietisme: terarah kepada penyelamatan pribadi [68]. Tetapi dalam praktik -- berdasarkan pengalaman dan iman mereka -- mereka juga memberikan perhatian terhadap pekerjaan pendidikan [69], pekerjaan sosial [70] dan pekerjaan medis [71]. Hal itu paling jelas kita lihat dalam pekerjaan Graf Nicolaus Ludwig von Zinzendorf [72] dan pendeta-pendeta-sending Herrnhut lain yang diutus ke berbagai-bagai daerah di seluruh dunia. [73]
Perhimpunan-perhimpunan Pekabaran-Injil yang terkenal pada waktu itu ialah: Baptist Missionary Society di London [74], London Missionary Society [75], Nederlandsch Zendelinggenootschap [76], American Board of Commissioners for Foreign Missions [77], American Baptist Foreign Mission Society [78], Evangelische Mission Gesellschaft, yang biasanya disebut Basler Mission [79], Board of Foreign Mission of the Methodist Episcopal Church di Amerika [80], Domestic and Foreign Mission Society of the Protestant Episcopal Church di Amerika [81], Gossnersche Missions Gesellschaft, yang biasanya disebut Berliner Mission [82] dan Rheinische Mission Gesellschaft, yang juga terkenal dengan nama Barmer Mission [83]. Selain daripada Nederlandsch Zendellinggenootschap bekerja juga di Indonesia dalam abad yang lalu: Doopsgezinde Zendingsvereeniging [84], Salatiga-Zending [85], Jawa Comité [86], Nederlandsche Zendingsvereeniging [87], Utrechetsche Zendingsvereeniging [88], dan Nederlandsche Gereformeerde Zendingsvereeniging [89], dan Sangir- en Talaud- Comité [90].
Pekerjaan pekabaran-injil di Indonesia dipengaruhi juga oleh pietisme. Kalau dibandingkan dengan pekerjaan pekabaran-injil yang dijalankan oleh Gereja di Belanda dengan perantaraan V.O.C. dalam abad ke-XVII dan ke-XVIII di Indonesia, nyata sekali perbedaannya. Pertama: Maksud Perhimpunan-perhimpunan Pekabaran-Injil, yang bekerja di sini, bukanlah untuk "mempropagandakan" ajaran atau pengakuan suatu Gereja yang tertentu di Barat, tetapi untuk, secara murni, memberitakan Injil Yesus Kristus. N.Z.G. [91], yang bekerja di banyak daerah di Indonesia -- di Maluku, di Minahasa, di Timor, di Tanah Karo, di Poso, di Jawa-Timur, di Bolaang-Mongondow -- merumuskan tujuan dan isi pemberitaannya seperti berikut: "Menanamkan secara sederhana dan jujur dalam hati manusia Agama Kristen yang benar dan aktif, seperti yang tertulis dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dan yang terungkap dalam keduabelas pasal Pengakuan Iman Rasuli, tanpa ditambahkan dengan pikiran-pikiran manusia". [92] Kedua: Perhimpunan-perhimpunan Pekabaran-Injil itu bukan saja memberitakan Injil kepada orang-orang kafir di Indonesia, tetapi membawa juga peradaban[93] bagi mereka.
"Agama Kristen dan peradaban bekerja bahu-membahu ...... Peradaban tanpa Agama Kristen adalah suatu angan-angan yang indah, tetapi tanpa hidup yang menjiwai dan kekuatan yang bekerja. Agama Kristen tanpa peradaban adalah suatu roh, yang tidak mempunyai tubuh untuk menggerakkan kegiatannya di dalam hidupnya. Kalau manusia -- dan bangsa-bangsa -- mau mengembangkan dirinya secara harmonis, maka keduanya perlu mereka miliki" [94], kata seorang pendeta-sending.
Dengan Injil pendeta-sending membawa peradaban dan kebudayaan [95] kepada bangsa-bangsa. [96] Karena itu dalam literatur Perhimpunan-perhimpunan Pekabaran-Injil pengkristenan dan peradaban sering dipakai sebagai pengertian-pengertian yang mempunyai arti yang sama.
Dalam alam-pikiran ini tidak ada tempat bagi kebudayaan [97] otokhton. Ia dianggap sebagai sesuatu "yang primitif dan kafir". Untuk kepentingan orang-orang Kristen Indonesia ia harus ditolak dan diganti dengan nilai-nilai kebudayaan Barat. Bagi pemberitaan Firman ia paling banyak dapat dipakai sebagai landasan. Kepada pendeta-pendeta-sending diberikan nasihat, supaya mereka "dengan rasa terima-kasih dan secara bertanggung-jawab memakai titik-titik-terang dalam dunia kekafiran yang gelap", tetapi segera ditambahkan, bahwa "kalau jalan telah terbuka, mereka tidak boleh berusaha mencampur-baurkan apa yang sebenarnya bukan satu". [98] Dilihat dalam terang ini anjuran, yang dikemukakan oleh beberapa orang, untuk "menyucikan dan meningkatkan mutu nilai-nilai nasional [99] dalam arti Kristen" [100], dalam praktik sebenarnya tidak banyak mempunyai arti. Hanya bentuk-bentuk "Kristen" -- dan yang dimaksudkan di sini dengan bentuk-bentuk "Kristen" ialah bentuk-bentuk yang diimpor dari Barat -- yang dianggap baik sebagai wahana untuk pemberitaan Firman.
Juga di Indonesia didirikan perhimpunan-perhimpunan yang sama oleh pendeta-pendeta-sending [101]. Yang terpenting di antaranya ialah: Balai Alkitab [102], Perhimpunan Pekabaran-Injil di Betawi [103], keduanya diketuai oleh Raffles, Perhimpinan Pekabaran-Injil di Surabaya [104], Perhimpunan Pekabaran-Injil di Ambon [105], Perhimpunan Pekabaran-Injil di Kupang [106]. Oleh Perhimpunan-perhimpunan Pekabaran-Injil itu anggota-anggota Jemaat di berbagai-bagai daerah di Indonesia diikutsertakan dalam pekerjaan apostolat [107].
Catatan
- ↑ = yang dilakukan atas nama V.O.C., tetapi untuk kepentingan sendiri
- ↑ = "hadiah" yang secara paksa diambil dari penyewa-penyewa tanah
- ↑ = yang diperoleh dari regen-regen pribumi
- ↑ **C.W. Th. Baron van Boetzelaer van Asperen en Dubbledam, De Protestantsche Kerk in Nederlandsch-Indië; (dikutip: Van Boetzelaer II), 1947, blz, 162 v.
- ↑ **E. du Perron-Ross, De correspondentie van Dirk van Hogendorp met zijn broer Gijsbert Karel (dalam: Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-indië), 1934.
- ↑ di tempat pekerjaannya
- ↑ = Tahun Baru
- ↑ = gubernur
- ↑ = kepada gubernur
- ↑ tanpa kelebihan berat
- ↑ dan kebutuhan-kebutuhan primer lain
- ↑ **Th. Müller Krüger, Sejarah Gereja di Indonesia, 1959, hal. 55.
- ↑ **Van Boetzelaer II, blz. 163.
- ↑ sebagai pengganti "Staten-Generaal"
- ↑ **Ketentuan pasal 247.
- ↑ = jajahan
- ↑ 1801-1805
- ↑ **Bnd L.W.G. de Roo, Documenten omtrent Herman Willem Daendels, 1909.
- ↑ terhadap raja-raja dan kaum bangsawan pribumi
- ↑ terhadap rakyat biasa
- ↑ Jawa-Barat
- ↑ Jawa-Timur
- ↑ **Bnd Van Boetzelaer II, blz. 263.
- ↑ **Untuk "jasa-jasanya" Daendels menerima penghargaan dari Negara: ia diangkat menjadi "Grootofficier in het Legioen van Eer".
- ↑ **Bnd P.J. Vet, Java, 1896. Bnd juga H.T. Colenbrander, Koloniale Geschiedenis, 1925-1926 dan F.W. Stapel, Geschiedenis van Nederlandsch-Indië, 1930.
- ↑ **Bnd Van Boetzelaer II, blz. 263.
- ↑ India
- ↑ **Bnd D.C. Bougler, The Life of Sir Stamford Raffles, 1899 dan R. Coupland, Sir Stamford Raffles, 1926.
- ↑ 1811-1816
- ↑ = pegawai
- ↑ = reorganisasi
- ↑ = enambelas
- ↑ 13 Agustus 1814
- ↑ 1816
- ↑ **Bnd H.D. Levysohn Norman, De Britsche heerschappij over Java en Onderhoorigheden, 1811-1816, 1857.
- ↑ = East India Company
- ↑ **Dari sini ia sekali lagi berusaha mematahkan pengaruh Belanda. Ketika Bengkulu pada tahun 1824 diserahkan juga kepada Belanda, ia tetap menduduki Singapura untuk Inggeris.
- ↑ dan secara tidak langsung juga ekonomi Belanda
- ↑ oleh orang-orang Belanda
- ↑ oleh raja-raja pribumi
- ↑ 1819-1825
- ↑ 1825-1830
- ↑ 1821-1845
- ↑ **Keputusan itu ditentang oleh banyak orang di Belanda, antara lain Elout (= menteri daerah-daerah jajahan) dan yang karena itu mengundurkan diri dari jabatannya Mei 1829.
- ↑ = cultuurstelsel
- ↑ = indigo
- ↑ **Bnd G. Gonggrijp, Schets ener economische geschiedenis van Nederlandsch-Indië, 1938.
- ↑ **Antara lain Baron van Hoëvell, yang pernah bekerja sebagai pendeta dalam Jemaat Melayu di Betawi.
- ↑ **Ada periode, di mana untuk tanaman ekspor digunakan lebih dari 60.000 ha tanah sawah.
- ↑ **Dalam periode itu kira-kira 800.000 keluarga (=2/5 dari penduduk Indonesia pada waktu itu) bekerja di perkebunan-perkebunan tanaman ekspor.
- ↑ antara 1848-1850
- ↑ **Dalam publikasi-publikasi dari penulis-penulis pada waktu itu -- seperti Pierson, Van Soest, dan lain-lain -- campur-tangan pemerintah ini sangat keras dikritik.
- ↑ **Dengan perantaraan menteri Fransen van de Putte.
- ↑ **Antara lain Bank Dagang Hindia-Belanda.
- ↑ = ordonansi
- ↑ = poenale sancties
- ↑ = cultuurstelsel
- ↑ 1873-1904
- ↑ = religius
- ↑ V.O.C.
- ↑ **Bnd antara lain Müller Krüger, k.t., hal. 56.
- ↑ berasal dari kata Latin pietas = kesalehan
- ↑ = dogmatis
- ↑ = akal
- ↑ **Bapak dari pietisme ialah Philipp Jacob Spener (1635-1705) dan August Hermann Francke (1663-1727) yang kita sebut di atas. Tujuan usaha pembaharuan mereka dirumuskan oleh Spener dalam karyanya "Pia desideria".
- ↑ = Francke
- ↑ **B. Ziegenbalg dan H. Plütschau adalah pendeta-pendeta-sending pertama yang diutus oleh Halle dan raja Denmark ke Tranquebar, India.
- ↑ = individu
- ↑ = sekolah-sekolah
- ↑ = panti-panti asuhan
- ↑ = kesehatan
- ↑ 1700-1760
- ↑ **Antara lain ke Alaska, ke Groenlandia, ke Himalaya, ke Labrador, ke Afrika-Selatan, dan lain-lain.
- ↑ 1792
- ↑ 1795
- ↑ 1797
- ↑ 1810
- ↑ 1814
- ↑ 1822
- ↑ 1819
- ↑ 1820
- ↑ 1825
- ↑ 1828
- ↑ 1847
- ↑ 1854
- ↑ 1855
- ↑ 1858
- ↑ 1859
- ↑ 1859
- ↑ 1887
- ↑ = Nederlandsch Zendelinggenootschap
- ↑ **Bnd Algemeene bepalingen en reglementen van het Nederlandsch Zendelinggenootschap (diterbitkan ulang), 1917, blz. 3.
- ↑ = "civilisatie"
- ↑ **N. Graafland, De Minahasa. Haar verleden en haar tegenwoordige toestand (dikutip: Minahasa), II, 1869, blz. 13.
- ↑ =kultur
- ↑ **Minahasa, I, blz. 173, di mana dikatakan, bahwa pendeta-sending memberikan kepada orang-orang kafir "suatu agama yang agung", dan dengan itu suatu "peradaban Kristen", yang mengembangkan dan mengangkat derajat manusia.
- ↑ = kultur
- ↑ **N. Graafland, Evangelieprediking voor heidenen(dalam: mededeelingen vanwege het Nederlandsch Zendelinggenootschap), 1882, blz. 194.
- ↑ dari bangsa Indonesia
- ↑ **S.E. Harthoorn, Oude grieven en nieuwe bewijzen ten aanzien van de evangelische zending, 1864, blz. 192.
- ↑ dalam kerjasama dengan anggota-anggota Jemaat setempat
- ↑ 1814
- ↑ 1815
- ↑ 1815
- ↑ 1821
- ↑ 1823
- ↑ **Bnd Van Boetzelaer II, blz. 275, 285 dan Müller Krüeger, k.t., hal. 58
Bibliografi | |
Artikel ini diambil dari: |