Dari Sejarah Alkitab Indonesia
Sebelum kita meneruskan pembicaraan tentang keistimewaan-keistimewaan Gereja Indonesia pada zaman kolonial ini, kita harus menyadari, bahwa dalam kalangan Protestan seluruh dunia pada waktu itu sedang nampak aliran-aliran yang menyadarkan Gereja akan kewajibannya untuk menyebarkan Injil. Dalam arti yang luas aliran-aliran tersebut berciri "Pietisme". Proses ini telah mulai kira-kira pada tahun 1700, ketika "pekabar-pekabar Injil Halle" dibawah kekuasaan Raja Denmark diizinkan memulai pekerjaannya di tempat yang letaknya dekat sekali pada jajahan-jajahan Belanda (VOC) di India Selatan. Malahan pada tahun 1740 dikirim orang-orang "persaudaraan Moravi" (Herrnhut) untuk melakukan pekabaran Injil di Indonesia. Akan tetapi mereka dilarang lakukan pekabaran Injil di Indonesia. Akan tetapi mereka dilarang masuk baik oleh kalangan pemerintah maupun oleh kalangan Gereja.
Salah seorang dari para pekabar Injil yang pertama, A. Supper mendirikan pada tahun 1814 di Jakarta Balai Alkitab Indonesia dengan Raffles sebagai pelindung, pada tahun 1815 "Perkumpulan Pembantu Pekabaran Injil". Beberapa tahun kemudian terbentuk "Perkumpulan Pembantu Pekabaran Injil" di Ambon (1821) dan Timor (1823), bahkan di Surabaya muncul juga suatu perkumpulan pembantu pekabaran Injil diantara penduduk kota Surabaya, yang benar-benar dilahirkan oleh jiwa pietisme (1815). Kemudian pada tahun 1851 di Jakarta muncul suatu perkumpulan semacam ini, yang melakukan pekerjaan berharga: "Perkumpulan untuk Perkabaran Injil didalam dan diluar Gereja". Tidak dapat disangkal bahwa sejarah Gereja pada abad ke-19 di Indonesia sangat dipengaruhi oleh golongan-golongan itu yang sadar akan panggilan pribadi serta hendak mewujudkannya ber-sama-sama. Sikap hidup dan kepercayaan yang bersifat pietisme meninggalkan bekas-bekasnya dalam khotbah dan pemeliharaan jiwa dan dalam perhubungan dengan sesama manusia. Memang tampaklah juga dipihak lain beberapa corak pietisme yang tidak diterima diantaranya misalnya sikap acuh tak acuh terhadap gereja resmi dan peraturan-peraturannya. Oleh karena terlalu dipentingkan hal kerohanian, maka seringkali dilupakan untuk meletakkan batu-batu yang pertama bagi organisasi dan pembangunan jemaat serta Gereja. Hal ini baru pada abad ke-20 memperoleh perhatian yang seperlunya.
- Catatan: dialihaksarakan ke ejaan baru oleh SABDA
Bibliografi | |
Artikel ini diambil dari: |