Dari Sejarah Alkitab Indonesia
Sama seperti di Belanda [1], demikian pula di Indonesia katekisasi pada waktu itu erat berhubungan dengan pengajaran-agama di sekolah-sekolah. Begitu erat, sehingga pengajaran-agama di sekolah-sekolah dianggap sebagai "bagian" dari katekisasi di Gereja. Hal itu nyata dengan jelas dari ketetapan Sidang Gereja Agung [2] di Betawi, di mana a.l. dikatakan, bahwa "anak-anak Belanda dan juga anak-anak yang bukan-Belanda harus dididik dan diajar secara Kristen di sekolah-sekolah" dan bahwa "untuk pengajaran-agama selanjutnya anak-anak itu harus mengikuti pengajaran katekisasi. [3]. Yang dimaksudkan di sini dengan pengajaran katekisasi ialah pengajaran yang diberikan oleh pendeta-pendeta di Gereja.
Untuk memungkinkan pelaksanaan ketetapan itu bagi anak-anak Indonesia, diusahakan penterjemahan bagian-bagian Kitab Suci </ref>**Yang terpenting di antaranya ialah: Injil Matius dan beberapa Mazmur dalam bentuk sajak, oleh A.C. Ruyl [4], Injil Matius dan Injil Markus, oleh A.C. Ruyl [5], Injil Lukas dan Injil Yohanes oleh J. van Hazel [6], Keempat Injil [7] dan Kisah Para Rasul [8], oleh J. Heurinus [9], Limapuluh Mazmur, oleh J. van Hazel dan diperbaiki oleh J. Heurinus [10], Seratus limapuluh Mazmur, oleh J. Heurinus [11], Kejadian, oleh D. Brouwerius [12] dan Kitab Mazmur dalam bentuk sajak, oleh G.H. Werndly [13]. Bnd Van Boetzelaer II, blz. 121 v., 257, Valetijn, a.w., blz. 54 v., Troostenburg de Bruyn, a.w., blz. 419, 435 v., dan Bouwstoffen, III, blz. 751</ref>, bahan-bahan katekisasi </ref>**Yang terpenting di antaranya ialah: Ikhtisar dari buku Marnix van St. Aldegonde, oleh J.C. Ruyl [14], Ikhtisar dari buku Marnix van St. Aldegonde dan beberapa karya lain dalam bahasa Melayu Ambon, oleh F. Houtman [15], Katekismus Heidelberg, oleh S. Danckaerts [16], [17], Buku Tanya-Jawab, oleh Spiljardus [18], Katekismus, dalam bahasa Melayu Ambon, oleh F. Valentijn [19]</ref> dan nyanyian-nyanyian </ref>**Yaitu: Mazmur-mazmur dalam bentuk sajak [20] dan kemudian "Mazmur dan Tahlil", oleh Schroder [21]</ref> dalam bahasa Melayu.
Salah satu buku katekisasi yang lama memainkan peranan penting dalam pelayanan Jemaat-jemaat di Indonesia pada waktu itu ialah Buku Tanya-Jawab dari Marnix van St. Aldegonde. </ref>**Bnd D. van Dijk, Het "vraegboecxken van St. Aldegonde" [22], 1950, blz. 150-164 dan 205-210.</ref> Buku ini, menurut Danckaerts, mula-mula diterjemahkan oleh A.C. Ruyl dalam "bahasa Melayu yang baik" [23], tetapi terjemahan itu di beberapa tempat -- khususnya "di Amboina, Banda dan Maluku" -- tidak dapat dipahami orang. Untuk mengatasi kesulitan ini Houtman mengusahakan suatu terjemahan lain dalam bahasa Melayu Ambon -- tetapi terjemahan ini juga sukar dimengerti. </ref>**Bnd Van Dijk, a.w, blz. 161.</ref> Berhubung dengan itu Danckaerts -- yang pada waktu itu menjadi pendeta di Ambon -- mengambil keputusan untuk sedikit merobah terjemahan Ruyl, sehingga buku itu dapat berguna bagi "anak-anak dan orang-orang Kristen baru". </ref>**Dalam kata-pendahuluannya Danckaerts katakan, bahwa maksudnya "bukanlah untuk memperbaiki terjemahan Ruyl dalam bahasa Melayu yang lebih baik, tetapi...hanya untuk merobahnya sedikit-sedikit dalam bahasa Melayu yang dapat dimengerti" oleh orang-orang di Amboina, Banda dan Maluku. Bnd Van Dijk, a.w., blz. 159</ref>. Judul buku itu dalam bahasa Melayu Ambon ialah: Adjaran dalam yang mana djadi caber adjar capallanja deri agama Christaon". Isinya terdiri dari suatu percakapan sederhana yang berlangsung antara seorang guru dan empat orang murid [24] tentang: penciptaan langit dan bumi, penciptaan manusia, maksud penciptaan manusia, Allah sebagai Pencipta, tempat di mana Allah bersemayam, pengakuan iman rasuli, dasafirman, Gereja, baptisan, perjamuan, dan lain-lain.
Suatu buku kecil lain, yang juga lama memainkan peranan penting dalam pelayanan Jemaat-jemaat di Indonesia pada waktu itu ialah Katekismus Heidelberg </ref>**Disusun oleh Caspar Olivianus dan Zachardias Ursinus atas perintah raja Frederik III dari Pfalz pada tahun 1542.</ref>, yaitu buku katekisasi yang sampai sekarang masih dipakai oleh banyak Gereja di Indonesia.
Theoretis pekerjaan katekisasi diatur dengan baik dan secara terperinci dalam tatagereja-tatagereja </ref>**Tatagereja tahun 1624, tahun 1643 dan tatagereja Ambon [25]</ref> dan dalam keputusan-keputusan gerejani yang lain </ref>**Bnd Van Boetzelaer II, blz. 35.</ref>, tetapi dalam praktik ia sukar dijalankan, terutama karena kekurangan tenaga pendeta. Di beberapa Jemaat Majelis Gereja berusaha mengatasi kesulitan itu dengan jalan mengangkat tenaga-tenaga pembantu </ref>**Di Betawi umpamanya diangkat seorang diakones dalam Jemaat berbahasa Belanda dengan tugas untuk memberikan pengajaran-agama dan seorang "guru katekisasi" yang kemudian menjadi pendeta, dengan tugas yang sama, dalam Jemaat berbahasa Melayu. Bnd Van Boetzelaer II, blz. 270.</ref>, tetapi pada umumnya usaha itu juga tidak banyak menolong: sama seperti guru-guru sekolah, demikian pula tenaga-tenaga pembantu ini tidak cukup diperlengkapi, sehingga mereka tidak dapat menunaikan tugas mereka dengan baik.
Catatan
- ↑ **Bnd R. Bijlsman, Kleine Catechetiek, 1969, blz. 75 v.
- ↑ 6-20 Agustus 1624
- ↑ **Van Boetzelaer II, blz. 35
- ↑ 1629
- ↑ 1638
- ↑ 1646
- ↑ direvisi
- ↑ diterjemahkan
- ↑ t.t
- ↑ 1648
- ↑ 1652
- ↑ 1668
- ↑ 1735
- ↑ 1602
- ↑ t.t
- ↑ 625
- ↑ t.t
- ↑ t.t
- ↑ 1756
- ↑ lih. catatan 133
- ↑ 1908
- ↑ dalam: De Heerbaan
- ↑ 1602
- ↑ = Abraham, Daud, Soleman dan Yakob
- ↑ 1673
Bibliografi | |
Artikel ini diambil dari: |